Perlu kita ketahui bahwa permasalahan industri musik Indonesia sejak dulu tidak terlepas dari persoalan royalti. Seperti, maraknya pembajakan terhadap hasil karya cipta para musisi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Hal ini tentu berdampak pada laju dan kualitas produk musik yang mengalami penurunan hingga menyebabkan banyak musisi tanah air hengkang dari dunia industri musik.
Kondisi tersebut diperparah dengan adanya platform youtube yang memberikan peluang besar untuk melakukan pembajakan, seperti contohnya adalah meng-cover lagu yang akhir-akhir ini menjadi tren yang banyak digandrungi oleh kaum muda-mudi.
Pada dasarnya cover lagu bukan merupakan suatu tindakan kejahatan apabila mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditentukan. Akan tetapi, tidak sedikit bagi para oknum “peng-cover” hanya asal petik karya cipta orang lain dengan tidak bertanggung jawab, bahkan tidak ada itikad baik sebelumnya untuk meminta izin kepada si pencipta atau pemegang hak.
Permasalahan mengenai lisensi dan royalti ini titik pokoknya berdasar pada hak cipta para pencipta yang tidak diakui. Musik dan karya-karya mereka berlalu lalang dalam pendengaran kita tetapi pemilik hak tidak mendapatkan haknya untuk menikmati hasil dari karya mereka.
Dalam tulisan kali ini penulis akan membahas lebih dalam mengenai bentuk dari lisensi dan royalti dalam hak cipta. Ingin tahu lebih lanjut? here, check it out!
Menurut sifatnya Hak Cipta merupakan benda bergerak yang dapat dialihkan melalui pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dapat dibenarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”). Hak cipta dapat diberi lisensi selain dapat dialihkan dan dipindahtangankan.
Lisensi sendiri menurut Pasal 86 UU Hak Cipta didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada pihak lain oleh pemegang hak cipta untuk menerbitkan atau memproduksi suatu karya di bawah persyaratan tertentu.
Beberapa persyaratan tertentu dari perjanjian lisensi seperti jangka waktu lisensi dan jumlah royalty fee, harus dipenuhi di dalam perjanjian lisensi. Dalam hal ini perjanjian lisensi harus ditulis dan diumumkan oleh Menteri dalam daftar umum perjanjian lisensi hak cipta dengan dikenai biaya.
Unsur-unsur yang menjadi dasar penghitungan besaran royalti, seperti jumlah eksemplar yang disalin harus diperhitungkan dalam penghitungan dan pengenaan royalti. Perjanjian lisensi berlaku untuk jangka waktu tertentu, biasanya lebih kecil dari jangka waktu perlindungan hak cipta dan hak terkait.
Dalam UU Hak Cipta secara jelas mengatur posisi dan status Lembaga Manajemen Kolektif. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (22) UU Hak Cipta, bahwasanya Lembaga Manajemen Kolektif didefinisikan sebagai:
“Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.”
Posisi Lembaga Manajemen Kolektif ini sangat membantu para pencipta atau pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait dan negara mengakui keberadaan karya-karya pencipta.
Lembaga Manajemen Kolektif ini menjaga karya pencipta karena lembaga ini yang membantu mengumpulkan royalti dari penggunaan secara komersial atas karya cipta dari pencipta.
Posisi Lembaga Manajemen Kolektif sangat bermanfaat bagi pencipta atau pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait serta negara mengakui keberadaan karya pencipta.
Lembaga Manajemen Kolektif ini bertanggung jawab atas karya pencipta karena lembaga inilah yang membantu mengumpulkan royalti dari penggunaan komersial atas karya cipta.
Hubungan antara pencipta atau pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait, Lembaga Manajemen Kolektif, dan Pengguna diatur dalam Pasal 87 UU Hak Cipta yang disebutkan bahwa:
Dalam Pasal 95 sampai dengan 120 UU Hak Cipta mengatur tentang pelanggaran hak cipta dan penyelesaian sengketa Hak Cipta. Penyelesaian sengketa Hak Cipta menurut peraturan ini dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa arbitrase atau pengadilan.
Pengadilan Niaga bertanggung jawab atas litigasi perdata, sedangkan Pengadilan Negeri menangani tuntutan pidana.
Menurut Pasal 120 UU Hak Cipta, tindak pidana pelanggaran atas Hak Cipta adalah delik aduan, artinya pelanggaran hak cipta hanya dapat diadili atau diproses jika pihak yang merasa dirugikan mengajukan pengaduan atau laporan.
Sadar akan nasib musisi dan industri musik yang tidak sehat, Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Maret 2021 menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP No. 56/2021”).
PP No. 56/2021 mengatur tentang kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu dan/atau musik secara komersial ataupun layanan publik. Royalti didistribusikan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional , diserahkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
Dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 56/2021 disebutkan bahwa layanan publik yang bersifat komersial diantaranya adalah:
Demikian penjelasan mengenai lisensi dan royalti ini, diharapkan kedepannya industri musik Indonesia mengalami kemajuan dalam segala aspek dan memberi hak penuh kepada pencipta dan musisi.
Bagi sobat yang mempunyai pertanyaan dan ingin berkonsultasi lebih dalam dapat menghubungi kami di Selaras Law Firm.
Sumber:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Ni Ketut Supasti Dharmawan, dkk. 2016. “Buku Ajar Hak Kekayaan Intelektual”. Yogyakarta: Deepublish.
Sumber Gambar:
www.pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>