Oleh : Adib Gusti Arigoh
“Anak diluar perkawinan yang sah memiliki hubungan keperdataan dengan kedua orang tuanya. Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak terpaku dengan adanya ikatan perkawinan saja, akan tetapi dapat didasarkan pada pembuktian hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapaknya, sehingga terlepas dari persyaratan yang bersifat administratif – prosedural, negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada anak yang bersangkutan.” – Putusan MK No.46/PUU-VII/2010
Halo sobat Selaras!
Kalian pasti sudah tidak asing mendengar istilah “Married by accident”.
Yep, Married by Accident (“MBA”) adalah perkawinan yang disebabkan oleh adanya kecelakaan berupa kehamilan diluar nikah. Faktanya, terdapat 340 ribu pasangan usia anak menikah setiap tahunnya.
Bercermin dari data kasus diatas, tidak menutup kemungkinan MBA alias hamil diluar nikah adalah salah satu penyebab dari perkawinan pasangan usia anak. Hal ini menimbulkan permasalahan, terutama pada status hukum dari anak hasil dari MBA. Muncul juga pertanyaan seperti; “Bagaimana status hubungan keperdataan dengan orang tua nya?”
Pertanyaan ini akan terjawab apabila kita membedah Putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) Nomor 46/PUU-VII/2010, Pasti penasaran, kan? Yuk kita bahas!
Pada awalnya, anak yang lahir diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya. Hal ini tertuang didalam Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : “(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan Perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
Namun pada di era sekarang, anak diluar perkawinan yang sah juga memiliki hubungan keperdataan dengan bapaknya, sehingga pihak laki-laki selaku bapak memiliki tanggung jawab untuk mengurus anak yang bersangkutan.
Berdasarkan regulasi positif Indonesia, Pasal 43 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat pasca Mahkamah Konstitusi (“MK”) mengeluarkan Putusan Nomor 46/PUU-VII/2010 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Putusan MK diatas menjadikan Pasal 43 ayat (1) UU a quo dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat membuktikan bahwa dia mempunyai hubungan darah sebagai bapaknya. Hal ini tentu memiliki beberapa pertimbangan dan dasar, salah satunya mengenai pembuktian.
Frasa “Pembuktian” disini bermakna pihak laki-laki dapat dibuktikan bahwa dia adalah bapak dari anak yang bersangkutan. Pembuktian dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti; menggunakan pengetahuan dan teknologi ( memanfaatkan Tes Deoxyribo Nucleic Acid (“DNA”), atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat dibuktikan kebenarannya.
Majelis hakim pada putusan a quo juga mempertimbangan perspektif non-hukum, salah satunya adalah asal-muasal anak. Karena secara alamiah, pihak perempuan dapat mengalami kehamilan disebabkan oleh pertemuan antara ovum dan spermatozoa. Oleh karena itu, tidaklah dirasa adil jika hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan diluar perkawinan yang sah tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya.
Selain kepastian dan kemanfaatan, tujuan hukum adalah tercapainya rasa keadilan bagi setiap subjek hukum. Karena pada substansinya, hubungan keperdataan melahirkan hak dan kewajiban, maka pihak laki-laki haruslah turut bertanggungjawab terhadap anak yang bersangkutan.
Anak diluar perkawinan yang sah tetap memiliki hubungan keperdataan dengan bapaknya karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak terpaku dengan adanya ikatan perkawinan saja, akan tetapi dapat didasarkan pada pembuktian hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapaknya, sehingga terlepas dari persyaratan yang bersifat administratif – prosedural, negara wajib memberikan perlindungan hukum kepada anak yang bersangkutan.
Selain menilik dari sudut pandang pihak perempuan sebagai ibu dan pihak laki-laki sebagai bapak, majelis hakim pada putusan a quo juga meninjau dari sisi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah menurut hukum negara.
Terdapat hak konstitusional anak yang dirugikan akibat keberlakuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. Salah satu hak yang dilanggar adalah perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Hal ini termaktub dalam pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi; “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Telah jelas bahwasanya anak diluar perkawinan yang sah cenderung untuk didiskriminasi dengan pemberian stigma negatif dari lingkungannya.
Selain itu, hak konstitusional anak yang dirugikan adalah perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UU a quo, menyatakan secara tegas bahwa; “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Oleh karena itu, tidaklah adil manakala hukum meniadakan hak subjek hukum hanya karena persyaratan administrasi – prosedural yang mana dapat dilakukan pembuktian secara otentik melalui cara-cara yang menurut ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dapat dipertanggungjawabkan.
Nah, sekarang kita telah memahami bahwasanya anak hasil dari Married by Accident alias menikah diakibatkan kecelakaan (kehamilan diluar perkawinan yang sah) memiliki hubungan keperdataan juga dengan pihak laki-laki selaku bapaknya, Untuk mendapatkan informasi hukum yang menarik dan akurat lainnya, teman-teman bisa mengunjungi Website Selaras Law Firm. We Do Things Professionally!
Sumber:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Nancy, Maria Noan; Gaharpung, Maria Megaloma H.; dan Yuji, Maria Himelta Astri. (2020). Kepuasan Perkawinan Pada Pasangan Married by Accident. 13 (2) : 59-67. link; https://journal.ubm.ac.id/index.php/psibernetika > diakases pada: 20 September 2022, Pukul 20:57.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.