Oleh: Zainurohmah
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. –
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Membahas terkait perkawinan adalah hal yang umum dibicarakan bagi banyak orang, tetapi bagaimana jika membahas tentang perjanjian perkawinan?
Istilah perjanjian perkawinan masih kurang familier bahkan sebagian dari masyarakat masih menganggapnya tabu. Membuat perjanjian perkawinan dianggap tidak etis karena dengan membuat perjanjian perkawinan sama saja mengharapkan perceraian.
Sebelum membahas lebih lanjut terkait perjanjian perkawinan, sebenernya apa sih perjanjian perkawinan itu?
Definisi Perjanjian Perkawinan
Sebenarnya, baik KUHPerdata maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mendefinisikan secara tegas dan jelas terkait definisi dari perjanjian perkawinan tetapi beberapa ahli mendefinisikan perjanjian perkawinan.
Menurut Subekti, perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpangi dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Sedangkan, menurut Wirjono Prodjodikoro perjanjian perkawinan dapat diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.
Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan
Dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dijelaskan bahwa:
- Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan
- Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Kemudian, dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa ada dua macam harta benda dalam perkawinan, yaitu harta bersama dan harta bawaan.
Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan adalah harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dalam Pasal 35 tersebut dijelaskan bahwa harta akan menjadi harta bersama apabila diperoleh setelah perkawinan. Akan tetapi, pasangan suami istri bisa menyimpangi pasal tersebut dengan membuat perjanjian perkawinan.
Selanjutnya, perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 139-154.
Apabila melihat Pasal 119 KUHPerdata, akan terjadi percampuran harta secara otomatis setelah terjadinya perkawinan. Hal tersebut sebagaimana Pasal 119 KUHPerdata yang berbunyi:
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain”.
Meskipun begitu, apabila pasangan suami istri tidak ingin harta yang diperoleh masing-masing bercampur (menjadi harta bersama) maka pasangan suami istri boleh menyimpangi Pasal 119 KUHPerdata dengan membuat perjanjian perkawinan, hal tersebut sebagaimana Pasal 139 KUHPerdata yang berbunyi:
“Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini menurut pasal berikutnya”.
Baca juga: Perjanjian Tanpa Meterai, Apakah Sah?
Objek Perjanjian Perkawinan
Banyak orang yang masih salah persepsi bahwa perjanjian perkawinan hanya mengatur terkait harta benda dalam perkawinan.
Padahal apabila merujuk pada Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan itu sifatnya bebas. Bebas disini maksudnya memang dalam peraturan perundang-undangan tidak membatasi apa saja yang dapat dijadikan objek dari perjanjian perkawinan, itu berarti para pihak boleh memperjanjikan apa saja selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Harta kekayaan atau apa saja yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik selama perkawinan atau setelah putusnya perkawinan bisa diatur dalam perjanjian perkawinan.
Beberapa hal yang bisa dimasukkan dalam perjanjian perkawinan seperti harta bawaan para pihak, pelunasan hutang dan piutang bawaan para pihak, sejauh mana kewenangan istri untuk mengelola hartanya sendiri, pembagian tugas dalam mengurus kebutuhan anak, dan lain sebagainya.
Sekian pembahasan terkait “Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam Perjanjian Perkawinan” apabila Sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih mendetail seputar perjanjian perkawinan bisa langsung hubungi kami di Selaras Law Firm sekarang juga!
Nantikan artikel menarik selanjutnya juga yaa Sobat!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.