Oleh: Zainurohmah
Halo, Sobat Selaras!
Apakah Sobat Selaras masih ingat berita viral seorang ibu (Santi Warastuti) di Car Free Day (CFD) Jakarta yang membawa papan bertuliskan “Tolong anakku butuh ganja medis”?
Yaps, pada Juni 2022 lalu publik telah dihebohkan dengan berita tersebut. Ternyata Santi Warastuti bersama dengan Dwi Pertiwi, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) telah mengajukan uji materiil Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020.
Menarik nih, yuk kita bahas!
Baca juga: Seputar Pembebasan Bersyarat.
Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
Selanjutnya, dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dijelaskan bahwa narkotika dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
- Narkotika Golongan I, adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
- Narkotika Golongan II, adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
- Narkotika Golongan III, adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Tanaman ganja sendiri masuk ke dalam Narkotika Golongan I. Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa penggunaan ganja untuk kepentingan medis tidaklah sesuai ketentuan tersebut.
Baca juga: Jenis-Jenis Kekayaan Intelektual.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika juga dijelaskan bahwasanya Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Baca juga: Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum.
Sejalan dengan ketentuan di atas, dalam memutus perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal yang diujikan memiliki open legal policy.
Apakah Sobat Selaras pernah mendengar open legal policy?
Jadi, open legal policy dalam bahasa Indonesia bisa juga disebut dengan kebijakan hukum terbuka. Open legal policy merupakan pendapat hakim yang karena pertimbangannya menyatakan bahwa pengaturan tersebut dikembalikan kepada pembuat undang-undang, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya, dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat serta kewenangan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, maka upaya hukum telah tertutup untuk melakukan pengujian undang-undang.
Kalo seperti itu, berarti pemohon sudah tidak bisa melakukan upaya hukum ya?
Bisa kok!
Apabila pasal yang diuji materiil di Mahkamah Konstitusi termasuk pasal open legal policy maka upaya selanjutnya yang bisa dilakukan yaitu melakukan legislative review kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan demikian, permohonan ganja untuk keperluan medis masih terbuka meskipun Mahkamah Konstitusi telah menolak uji materiil atas legalisasi ganja terbatas untuk keperluan medis sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Upaya tersebut adalah dengan melakukan legislative review karena pasal yang diujikan termasuk pasal open legal policy sehingga keputusan selanjutnya dikembalikan kepada pembuat undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat.
Demikian pembahasan terkait “Open Legal Policy dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”.
Bagi Sobat Selaras yang ingin mengetahui informasi lebih lanjut, yuk segera hubungi kami di Selaras Law Firm. Jangan lupa nantikan artikel menarik selanjutnya ya!
Sumber:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Prassetyo, E. D. (2022). Legalisasi Ganja Medis (Analisis Putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020). Jurnal Analisis Hukum, 5(2), 147-162.
Anonim. (2022). Arsul Sani: Peluang Relaksasi Ganja Medis Masih Terbuka. Diakses melalui laman https://nasional.tempo.co/read/1614525/arsul-sani-peluang-relaksasi-ganja-medis-masih-terbuka pada tanggal 16 Oktober 2022.
Kamil, I. (2022). Dalam Sehari, MK Tolak Uji Materi UU Narkotika, UU IKN, dan UU ITE. Diakses melalui laman https://nasional.kompas.com/read/2022/07/21/10543171/dalam-sehari-mk-tolak-uji-materi-uu-narkotika-uu-ikn-dan-uu-ite pada tanggal 16 Oktober 2022.
Putri, D. L. (2022). Perjalanan Panjang Legalisasi Ganja Medis di Indonesia. Diakses melalui laman https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/27/153000465/perjalanan-panjang-legalisasi-ganja-medis-di-indonesia?page=all pada tanggal 16 Oktober 2022.
Sumber Gambar:
Indonesia.go.id
Editor: Siti Faridah, S.H.