Oleh: Bambang Sukoco, S.H.
Salah satu sumber terbesar penerimaan negara adalah dari perpajakan. Sumber ini kemudian digunakan untuk membiayai lebih dari 60% belanja negara serta kebutuhan fiskal dalam APBN.
Sebagai sumber penerimaan negara, perpajakan di Indonesia juga sering terjadi perubahan peraturan pajak. Hal ini tidak lepas adanya pengaruh organisasi dunia global yang mengkritisi regulasi pajak seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan Base erosion and profit shifting (BEPS).
Berdasarkan penelitian Hoppe et al (2020) kompleksitas pajak mengalami peningkatan pada 2 tahun terakhir ini, yang terjadi di 59 negara. Peningkatan ini terjadi disebabkan oleh perubahan sistem perpajakan.
Lalu bagaimana kompleksitas pajak di Indonesia. Untuk selengkapnya, yuk ikuti terus dan tambah wawasan kalian berikut ini!
Kompleksitas Pajak
Banyaknya peraturan dan seringnya perubahan peraturan membuat wajib pajak menjadi bingung, dalam kondisi seperti ini bagaimana mungkin kita mengharapkan kepatuhan wajib pajak jika wajib pajak tidak paham dan tidak mengerti.
Hak setiap wajib pajak adalah mendapat informasi yang terbaru tentang pajak, hal ini dikarenakan wajib pajak harus menghitung pajak, termasuk haknya dalam mengajukan keberatan hingga banding (self assessment system).
Menurut Tran-Nam dan Evans (2014) kompleksitas pajak adalah kesulitan, waktu, dan biaya dalam menginterpretasi dan memenuhi regulasi pajak. Terdapat tiga hal kompleksitas menurut Hoppe, Schanz, et al yaitu sebagai berikut:
- Pertama, perubahan regulasi pajak sering terjadi.
- Kedua, diperlukan adanya perhitungan yang cukup rumit untuk memenuhi kewajiban perpajakan.
- Ketiga, regulasi yang detail seperti terlalu banyak peraturan, pengecualian, dan keterkaitan dengan peraturan lain.
- Keempat, dokumentasi yang lengkap dan harus disiapkan serta di disimpan untuk memenuhi kewajiban perpajakan.
- Kelima, formulir pajak yang rumit dan panjang untuk diisi.
- Keenam, tidak komprehensifnya regulasi pajak sehingga menyebabkan regulasi tidak jelas dan tepat serta timbul keambiguan.
- Ketujuh, regulasi pajak tidak dapat diprediksi akan dijalankan secara tepat oleh pemerintah.
Baca Juga: Jurus Ditjen Pajak, Kejar Pajak Tukang Pamer Harta.
Kepatuhan Pajak Vs Kompleksitas Peraturan Perpajakan
Di Indonesia menurut laporan tahunan Direktorat Jenderal Pajak 2020 tercatat jumlah wajib pajak orang pribadi yang terdaftar mencapai 42,3 juta wajib pajak.
Sedangkan, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia per 2020 tercatat mencapai 270,2 juta jiwa. Dengan demikian, baru kurang lebih sekitar 15,6% penduduk Indonesia yang sudah terdaftar sebagai wajib pajak orang pribadi.
Dari 42,3 juta wajib pajak orang pribadi yang terdaftar tersebut, pada 2020 tercatat hanya 17,52 juta yang merupakan wajib pajak wajib SPT. Adapun jumlah wajib pajak orang pribadi yang akhirnya menyampaikan SPT Tahunan pada 2020 sebanyak 13,86 juta.
Dengan demikian, hanya 5,1% penduduk Indonesia yang terdaftar sebagai wajib pajak orang pribadi dan menyampaikan SPT Tahunan kepada otoritas pajak pada tahun 2020.
Apabila dilihat dari tax ratio Indonesia masih cukup rendah apabila dibandingkan dengan negara lain. Besaran angka tax ratio di Indonesia rata-rata 12%. Dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika 26,6%, Australia 28,9%, Belanda 38,8%, Jepang 28%, dan Malaysia 30%.
Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan sukarela masyarakat Indonesia masih belum terbentuk.
Dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Wiyarni, Hartini, dan Djuharni. Dengan menggunakan variabel kompleksitas peraturan perpajakan, kualitas pelayanan, sanksi perpajakan dan pemeriksaan berpengaruh terhadap kepatuhan pajak orang pribadi pada KPP Pratama Singosari Malang.
Hal ini menunjukkan bahwa kompleksitas peraturan perpajakan berdampak terhadap kepatuhan pajak orang pribadi sebesar 97,2%.
Baca Juga: Kenali UMKM Dan Perubahan Tarif Pajak Di Indonesia.
Solusi Bagi Wajib Pajak
Peraturan perpajakan yang kompleks menuntut wajib pajak untuk lebih berusaha dalam memahami regulasi perpajakan.
Untuk dapat memahami regulasi pajak, diperlukan kemampuan untuk menyerap informasi yang berkaitan dengan konteks pajak. Dengan adanya tingkat literasi yang tinggi, wajib pajak dapat lebih memahami regulasi perpajakan walaupun regulasi pajak.
Literasi merupakan kemampuan untuk menyerap informasi pada masyarakat suatu negara untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, membuat, mengkomunikasikan, memperhitungkan, menggunakan materi tertulis yang diasosiasikan dengan bermacam-macam konteks.
Menurut Martinez dan Silva bahwa tingkat literasi memberikan pengaruh dalam tingkat pemahaman masyarakat terhadap regulasi pajak. Hal ini digunakan untuk menjadi dorongan untuk meningkatkan kepatuhan pajak di tengah kompleksitas peraturan pajak.
Itulah penjelasan singkat mengenai “Pengaruh Kompleksitas Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia” untuk mengetahui lebih lanjut mengenai isu hukum terbaru, keep up to date di Selaras Law Firm ya! Kalian juga bisa mengkonsultasikan masalah hukum kalian dengan mengakses laman Selaras Law Firm.
Sumber:
Christian Alessandro Noreen, Ari Budi Kristanto. 2021. “Kepatuhan di Tengah Kompleksitas Pajak: Apakah Literasi Memiliki Peran?”. JRAP (Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan) Vol. 8, No. 02.
Wiyarni, Hartini, Darti Djuharni. 2018. “Pengaruh Kompleksitas Peraturan Perpajakan, Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan Dan Pemeriksaan Terhadap Kepatuhan Pajak”. Jurnal Akuntansi Kontemporer (Jako) – Vol 10 No 1.
DDTC. “Simak di Sini, Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di Berbagai Negara”. diakses pada laman. https://news.ddtc.co.id/simak-di-sini-jumlah-wajib-pajak-orang-pribadi-di-berbagai -negara-38024. Pada tanggal 6 April 2022.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.