Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /home/slf/public_html/index.php:1) in /home/slf/public_html/wp-includes/feed-rss2.php on line 8
bambang – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com Selaras Law Firm Thu, 09 Mar 2023 08:57:24 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.2 https://selaraslawfirm.com/wp-content/uploads/2021/11/cropped-icon-32x32.png bambang – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com 32 32 Dasar-Dasar Kontrak: Syarat Sah Hingga Berakhirnya Kontrak https://selaraslawfirm.com/dasar-dasar-kontrak-syarat-sah-hingga-berakhirnya-kontrak/ Thu, 09 Mar 2023 08:57:24 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1638 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

“Suatu kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.

– Subekti.

Menjadi seorang pebisnis merupakan impian banyak orang. Tentunya, diperlukan cara dan usaha untuk mengembangkan suatu bisnis. Akan tetapi, terdapat faktor-faktor yang menghambat kegiatan bisnis, salah satunya adalah tidak adanya suatu perjanjian yang mengatur. Faktor tersebut dapat diminimalisir jika memiliki kontrak yang jelas mengatur bisnis tersebut. Untuk mengetahui dasar-dasar kontrak, yuk simak artikel kali ini!

Pengertian Kontrak

Hukum kontrak menurut Lawrence M. Friedman adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu. Sedangkan Michael D Bayles mengartikan sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.

Baca Juga: Ultra Petita dalam Vonis Perkara Pidana.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur yang tercantum pada hukum kontrak, diantaranya sebagai berikut:

1. Adanya kaidah hukum

Terdiri dari dua jenis, yaitu kaidah tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis merupakan kaidah hukum yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis ialah kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam bermasyarakat.

2. Subjek hukum

Subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3. Adanya prestasi

Prestasi merupakan apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban oleh debitur.

4. Kata sepakat

Pada Pasal 1320 KUHPerdata tertuang empat syarat sahnya perjanjian. Salah satu diantaranya, yaitu kata “sepakat”.

5. Akibat hukum

Akibat hukum timbul pada setiap perjanjian yang telah dibuat para pihak. Akibat hukum adalah munculnya hak dan kewajiban.

Syarat Sah Kontrak

Buku III KUHPerdata mengatur tentang hukum kontrak. Buku ini terdiri atas 18 bab dan 631 pasal yang dimulai dari Pasal 1233 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata.

Syarat sahnya suatu perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KUHPerdata mengemukakan empat syarat sahnya perjanjian, diantaranya:

  1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
  2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
  3. Adanya objek atau suatu hal tertentu.
  4. Adanya kausa yang halal.

Mengenai cakap tidaknya seseorang, perlu diketahui siapa saja yang menurut hukum tidak cakap atau tidak punya kedudukan hukum untuk membuat perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:

Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah

  • Anak yang belum dewasa.
  • Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
  • Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dari keempat syarat sah perjanjian tersebut di atas, masing-masing terbagi menjadi 2 jenis syarat perjanjian. Yang merupakan syarat subjektif merupakan kesepakatan kedua belah pihak dan kecakapan para pihak. Kemudian, untuk syarat objektifnya yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.

Baca Juga: Pro-Kontra Tunjangan Kinerja bagi PNS Di Lingkungan DJP.

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan), akibatnya perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal), akibatnya perjanjian batal demi hukum.

Fungsi Kontrak

Kontrak memiliki fungsi yang dibedakan menjadi fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Adapun fungsi yuridis dalam kontrak adalah memberikan kepastian hukum bagi para pihak-pihak. Sedangkan fungsi ekonomis merupakan menggerakan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi lebih tinggi.

Berakhirnya Kontrak

Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya suatu kontrak yang disepakati oleh dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur. Disebut pihak kreditur karena merupakan pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi. Adapun debitur adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemenuhan prestasi.

Dalam pelaksanaannya diketahui cara berakhirnya kontrak, yaitu dengan:

  1. Jangka waktunya berakhir,
  2. Dilaksanakan objek perjanjian,
  3. Kesepakatan kedua belah pihak,
  4. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan
  5. Adanya putusan pengadilan.

Pada artikel diatas sudah dijelaskan mengenai dasar-dasar kontrak, dari syarat sah perjanjian hingga berakhirnya kontrak. Yuk simak artikel lain di Selaras Law Firm agar tidak ketinggalan artikel menarik lainnya!

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sumber:

Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

 

]]>
Ultra Petita dalam Vonis Perkara Pidana https://selaraslawfirm.com/ultra-petita-dalam-vonis-perkara-pidana/ Fri, 03 Mar 2023 09:07:10 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1634 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

“Vonis ultra petita itu menunjukkan hukum tak tumpul ke atas”.

– Idham Azis

Kabar vonis pidana mati yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada kasus pembunuhan berencana oleh Ferdy Sambo santer terdengar seantero nusantara. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Ferdy Sambo Pidana Seumur Hidup. Lalu, apakah Hakim berwenang memberikan vonis melampaui apa yang dituntut oleh Penuntut Umum? Simak Artikel berikut ini!

Pengertian Ultra Petita

Ultra petita dapat diartikan sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang diminta. Putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan dari jaksa secara normatif, tidak melanggar hukum acara pidana.

Putusan Ultra Petita boleh dilakukan, dengan syarat dalam petitum subsidair harus tercantum permohonan Ex aequo et bono atau “Jika Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (atau kalimat yang senada dengan itu)”.

Pada prinsipnya, majelis hakim bebas dan mandiri menentukan hukuman. Tetapi tetap ada batas-batas yang harus dipatuhi. Misalnya, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada ancaman maksimum dalam pasal yang didakwakan dan tidak boleh menjatuhkan jenis pidana yang acuannya tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau perundang-undangan lain.

Pengaturan Ultra Petita

Secara normatif tidak ada satu pasal pun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut.

Baca Juga: Keakuratan Tes Poligraf Sebagai Alat Bukti di Persidangan.

Ultra petita dapat ditemukan dalam Pasal 178 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) dan Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg). Pasal 178 HIR berbunyi, “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.” Sementara bunyi Pasal 189 Ayat 3 RBg, yakni “Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon.”

Analisis Hukum

Di dalam perkara pidana, dasar pemeriksaan sidang pengadilan adalah surat dakwaan. Pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang yang didasarkan pada surat dakwaan tersebut. Oleh karena itu, pengadilan tidak dibenarkan untuk memutus hal-hal yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan.

Dalam Pasal 182 Ayat 4 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), musyawarah terakhir hakim untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.

Hakim di depan persidangan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa berdasarkan surat dakwaan dari Penuntut Umum. Pada hakikatnya, hakim tidak boleh merubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984.

Hakim juga dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.

Baca Juga: Kompetensi Pengadilan Dalam Menangani Perkara Perdata.

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957 dan Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 ditegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada tuduhan (dakwaan).

Meskipun ada kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan. Batasan-batasan dimaksud antara lain:

  1. Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. Misalnya, Pasal 156a KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun. Maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. Tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun. Lihat misalnya putusan MA No. 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.
  2. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP, atau peraturan pidana di luar KUHP.
  3. Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Dalam banyak putusan, antara lain putusan MA No. 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993, Mahkamah Agung menyatakan putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan. Misalkan, pengadilan tinggi menambah hukum terdakwa lebih tinggi dari yang diputus hakim tingkat pertama tetapi kurang dipertimbangkan dan dijelaskan alasan menaikkan hukuman. Putusan yang demikian dapat dibatalkan.

Putusan ultra petita bahkan dapat menjadi alasan diajukannya permohonan peninjauan kembali. Alasan tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yakni apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut. Putusan ini tentu dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.

Tetapi hakim bukanlah sekadar corong undang-undang (la bouche de la loi). Hakim juga menjadi pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam menegakkan hukum, hakim harus berusaha membuat putusannya adil dan berkeadilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Contoh Kasus Penjatuhan Vonis Ultra Petita

Pada Perkara Pidana Pembunuhan Berencana oleh Ferdy Sambo Eks anggota Polri dengan pangkat terakhir jenderal bintang dua dinilai telah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP sesuai dengan dakwaan penuntut umum.

Ferdy Sambo juga terbukti terlibat obstruction of justice atau perintangan penyidikan terkait pengusutan kasus kematian Brigadir J. Ia terbukti melanggar Pasal 49 UU ITE juncto Pasal 55 KUHP.

Pasal 340 KUHP berbunyi “Barang Siapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun,” artinya Hakim dapat memberikan vonis pidana mati sesuai dengan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 340 tersebut.

Pada Senin, 13 Februari 2023 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan vonis hukuman mati yang mana lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa hanya mengajukan tuntutan hukuman seumur hidup kepada Ferdy Sambo.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai, Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.

Sekalipun jaksa tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang jaksa telah memasukkan pasal itu ke dalam surat dakwaan. Jika jaksa tidak memasukkan pasal tersebut dalam surat dakwaan, tak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa. Untuk itu apa yang dilakukan hakim merupakan ultra petita karena telah memberi vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa dan sesuai dengan ancaman pidana maksimal pada pasal yang didakwakan oleh jaksa.

Sobat Selaras, mari lebih banyak membaca artikel hukum untuk menambah pengetahuan hukum. Jika Sobat Selaras mengalami permasalahan hukum, bisa menghubungi tim Selaras Law Firm! yukkk simak artikel lain di Selaras Law Firm!

Dasar Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957

Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993.

Sumber

Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.

Sudharmawatiningsih (koordinator  peneliti), Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum: Laporan Penelitian, Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, 2015.

Sumber Gambar: pixabay.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

 

 

]]>
Pro-Kontra Tunjangan Kinerja bagi PNS di Lingkungan DJP https://selaraslawfirm.com/pro-kontra-tunjangan-kinerja-bagi-pns-di-lingkungan-djp/ Thu, 02 Mar 2023 05:58:10 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1631 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

“Meraih rupiah memang tidak mudah. Butuh kerja keras dan kerja cerdas untuk memperolehnya.”

– Anonim

Pada Desember 2022, Indonesia dikejutkan dengan berita Bonus Akhir Tahun pegawai Pajak atas tercapainya target penerimaan pajak. Bahkan bonus yang diberikan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, lalu apakah jika target tidak tercapai maka pegawai Pajak akan membayar dengan uang mereka?

Simak artikel berikut untuk lebih jelasnya!

Kabar cairnya bonus bagi para pegawai pajak dalam penerimaan pajak Desember 2022 mencapai Rp. 1.634,4 triliun alias 110,06% dari target yang ditetapkan. Penerimaan pajak juga terpantau tumbuh 41,93% dibandingkan dengan periode tahun sebelumnya.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak tersebut melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp. 1.485 triliun.  Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dipastikan akan mendapatkan bonus dalam bentuk imbalan prestasi kerja.

Peraturan Tunjangan Kinerja di Lingkungan DJP

Tunjangan atau bonus para pegawai DJP sendiri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 96 tahun 2017 (Perpres No. 96/2017) tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015 (Perpres No. 37/2015) tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Baca Juga: Regulasi dan Perlindungan Tenaga Outsourcing di Indonesia.

Terkait aturan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diketahui telah mengeluarkan peraturan tentang penyetaraan jabatan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yaitu Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 220/PMK.01/2021 (Permenkeu No. 220/PMK.01/2021) tentang Tata Cara Penyetaraan Jabatan Dalam Rangka Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. 

Tunjangan Kinerja di Lingkungan DJP

Bonus dalam bentuk imbalan prestasi kerja atau pemberian tunjangan kinerja yang didapat oleh para pegawai pajak mempertimbangkan capaian kinerja organisasi dan kinerja pegawai sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat 3b Perpres No. 96/2017.

Pembayaran tunjangan kerja tersebut dapat diberikan paling banyak 10% lebih rendah sampai dengan paling banyak 30% lebih tinggi dari besaran tunjangan kinerja yang tercantum dalam Lampiran Perpres No. 37/2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di DJP memperhatikan keadaan keuangan negara. Besaran pembayaran tunjangan kerja tersebut diatur dalam Pasal 4 Perpres No. 96/2017.

Perpres Nomor 37 Tahun 2015 sendiri telah menyebutkan tunjangan kinerja dibayarkan 100% pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam hal realisasi penerimaan pajak sebesar 95% atau lebih dari target penerimaan pajak.

Tercapainya realisasi penerimaan pajak kali ini, maka PNS DJP dipastikan akan menerima tukin penuh yakni 100% dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sehingga, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2015, tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, para pegawai pajak berhak mendapatkan bonus alias tunjangan kinerja/tukin.

Baca Juga: Obstruction of Justice dalam Proses Hukum di Indonesia.

Pemberian Tunjangan Kinerja untuk memberikan motivasi dan upaya peningkatan kinerja kepada pegawai dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Sesuai dengan Permenkeu No. 220/PMK.01/2021) tentang Tata Cara Penyetaraan Jabatan Dalam Rangka Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, maka dapat ditentukan tingkatan jabatan (Job Class) dan harga jabatan (Job Price) bagi setiap pegawai.

Sejalan dengan tantangan di bidang sumber daya manusia dalam kaitannya dengan pengaturan pembayaran kinerja pegawai menjadi pertanyaan apakah seseorang dengan low performance akan dibayar sesuai dengan harga jabatannya? Bukankah pemberian tunjangan kinerja besarannya akan ditentukan dari kinerjanya? Pertanyaan ini menjadi penting manakala tunjangan kinerja dikaitkan dengan kinerja yang dihasilkan, sehingga sangat fair pemberian tunjangan kinerja ini diberikan pada pegawai yang kinerjanya sesuai yang diharapkan organisasi.

Dengan mendasarkan pada penyusunan dan penilaian sasaran kerja pegawai yang telah dibangun oleh masing-masing instansi dan target setiap bulannya dapat ditetapkan, maka dalam kaitannya pembayaran tunjangan kinerja akan lebih mudah. Hal ini pada umumnya menjadi acuan dalam melakukan pembayaran tunjangan kinerja terhadap Pegawai Negeri Sipil, yang seharusnya kinerja riil yang diukur. Oleh karena itu diperlukan strategi yang harus dilakukan dalam pemberian tunjangan berbasis kinerja.

Dalam hal mengukur kinerja pegawai, belum ada formula yang tepat, kecuali setiap pegawai diwajibkan untuk menyusun rencana kerja (performance plan) dalam bentuk sasaran kerja pegawai dengan target tertentu, apakah itu bulanan, triwulan, semester atau tahunan yang dapat dievaluasi sesuai dengan capaian kinerjanya, sehingga pembayaran tunjangan disesuaikan dengan tingkat capaian kinerja bagi setiap Pegawai Negeri Sipil.

Sobat Selaras bisa mengakses artikel hukum lainnya di web Selaras Law Firm untuk menambah literasi hukum dan untuk konsultasi permasalahan hukum Sobat Selaras bisa menghubungi langsung Tim Selaras Law Firm!

Dasar Hukum

Peraturan Presiden Nomor 96 tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015 (Perpres No. 37/2015) tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 220/PMK.01/2021 tentang Tata Cara Penyetaraan Jabatan Dalam Rangka Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. 

Sumber:

Purwanto, “Fenomena Tunjangan Berbasis Kinerja Dalam Perspektif Kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil” Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Vol. 5, No.1, Juni 2011.

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

 

 

]]>
Menjadi Justice Collaborator, Dapatkah Terbebas dari Pidana https://selaraslawfirm.com/menjadi-justice-collaborator-dapatkah-terbebas-dari-pidana/ Thu, 02 Mar 2023 05:27:11 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1628 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Kamu tidak butuh uang untuk membantu orang lain, kamu hanya butuh hati untuk membantu mereka.”

– Anonim

Dalam penanganan perkara tindak pidana tertentu pastinya Sobat Selaras sudah tahu bahwasanya terdapat istilah justice collaborator, bukan?

Tindak pidana tertentu yang dimaksud di atas tersebut adalah diantaranya seperti korupsi, narkotika, pencucian uang dan pembunuhan berencana.

Pengertian Justice Collaborator

Justice collaborator merupakan sebutan bagi pelaku tindak pidana yang bersedia untuk bekerja sama dengan penegak hukum dalam memberikan keterangan guna membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius. 

Istilah Justice collaborator juga dapat ditemukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pemberlakuan Bagi Saksi Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice collaborator) Dalam Tindak Pidana Tertentu (“SEMA No. 4/2011”).

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Bharada E

Pada tanggal 18 Januari 2023 tepatnya Hari Rabu, terdakwa Bharada E yang menjadi justice collaborator dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua Hutabarat telah diberikan tuntutan dengan Pasal 340 jo Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang masih akan berlaku sampai pada tahun 2025. Tuntutan tersebut ialah tuntutan dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun. 

Pasal 340 KUHP tertulis bahwa:

Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Sedangkan Pasal 55 KUHP tertulis bahwa:

“(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:

Ke-1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

 (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pemberian tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupa pidana selama 12 tahun untuk terdakwa Bharada E tersebut kini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Banyak masyarakat menganggap bahwasanya tuntutan dari JPU tersebut telah mencederai hukum yang mana hal tersebut seolah tidaklah menghargai dan memberikan keuntungan kepada Bharada E atas apa yang telah dilakukannya sebagai justice collaborator.

Baca juga: Mengenal Justice collaborator dalam Hukum Pidana.

Penghargaan dan Keuntungan Justice Collaborator 

Keberadaan justice collaborator telah diatur dalam SEMA No. 4/2011 yang hanyalah aturan internal di lingkungan pengadilan. Hal tersebut membuat tidak dimilikinya otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus

Saksi pelaku (dalam hal ini Bharada E) dalam menjalankan perannya akan mendapatkan perlindungan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dicabut Sebagian Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU Perlindungan Saksi dan Korban”).

Pasal 10 Ayat 1 UU tersebut tertulis bahwa:

Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.” 

Sementara Ayat 2 tertulis bahwa:

Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” 

Atas perannya sebagai justice collaborator, saksi pelaku akan diberikan suatu penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan.

Berdasarkan Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban, penanganan secara khusus tersebut berupa: 

  1. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; 
  2. Pemisahan pemberkasan dalam proses penyidikan/penuntutan antara saksi pelaku dengan tersangka/terdakwa yang diungkapkannya; 
  3. Memberikan kesaksian di persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. 

Selain diberikan penanganan khusus, saksi pelaku juga akan diberikan penghargaan atas kesaksiannya yang mana berupa:

1. Keringanan penjatuhan pidana

Untuk dapat memperoleh penghargaan ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) haruslah memberikan rekomendasi secara tertulis terlebih dahulu kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.

2. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.

Penghargaan ini dapat diperoleh dengan cara LPSK haruslah memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

Dalam hal pemberian penghargaan peringanan penjatuhan pidana, hakim diwajibkan untuk tetap dapat mempertimbangkan dari segi rasa keadilan masyarakat.

Apakah Terdakwa Bharada E sebagai Justice Collaborator akan Mendapatkan Keuntungan/Penghargaan tersebut?

Menjadi seorang justice collaborator memanglah sebuah keputusan yang sangat berat karena pengajuannya yang bersifat inisiatif. Oleh karena itu jika dilihat dari segi normatif, Bharada E bisa memperoleh penghargaan dan keuntungan atas partisipasinya sebagai justice collaborator

Kemudian apabila Sobat Selaras lihat dengan beberapa pertimbangan lainnya seperti salah satunya ialah tujuan pemidanaan, tentu saja Bharada E selaku terdakwa nantinya memiliki kemungkinan untuk dapat memperoleh penghargaan berupa keringanan hukuman, penanganan secara khusus, pembebasan bersyarat dan lainnya.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP No. 32/99”), syarat diberikannya pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana khusus adalah berkelakuan baik, telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan dan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya/justice collaborator.

Yuuppss, itu dia pembahasan mengenai “Menjadi Justice Collaborator, Dapatkah Bharada E Terbebas dari Pidana?”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui hal-hal seputar hukum lainnya, Sobat Selaras dapat menghubungi kami atau baca artikel-artikel menarik kami lainnya di Selaras Law Firm ya!

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mencabut sebagian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pemberlakuan Bagi Saksi Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama/Justice collaborator Dalam Tindak Pidana Tertentu

Sumber:

Abdul Haris Semendawai, “Penetapan Status Justice Collaborator bagi Tersangka atau Terdakwa dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”,  Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 3, 2016. Diakses pada laman: http://journal.unpad.ac.id/pjih/article/view/10354/5423 

Muhamad Romdoni and Aldestianah Putri Abu Bakar, “The Role of the Justice Collaborator in A Premeditated Murder Crime”, Legal Brief, Volume 12, Nomor 5, 2022. Diakses pada laman: http://legal.isha.or.id/index.php/legal/article/view/589/479 

Issha Harruma, “Keuntungan Menjadi Justice Collaborator dan Syaratnya”. Kompas.com, 5 maret 2022. Diakses pada laman: https://nasional.kompas.com/read/2022/03/05/00450061/keuntungan-menjadi-justice-collaborator-dan-syaratnya

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

 

]]>
Restorative Justice Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak https://selaraslawfirm.com/restorative-justice-kasus-kekerasan-seksual-pada-anak/ Sat, 18 Feb 2023 05:43:44 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1618 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

“Kamu dapat hidup tanpa kebaikan, tetapi kamu tidak dapat hidup tanpa keadilan.”

  Merna Arini

Pada awal tahun 2023 ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita kasus pemerkosaan gadis 15 Tahun oleh 6 pemuda di Brebes yang berakhir dengan damai. Kasus tersebut tidak dibawa ke jalur hukum setelah dimediasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan diberi uang kompensasi dengan perjanjian tertulis bahwa tidak akan membawa kasus pemerkosaan ini ke jalur hukum.

Perdamaian ini biasa disebut juga dengan restorative justice. Lalu, apakah kasus kekerasan seksual anak di bawah umur dapat diselesaikan di luar pengadilan dengan restorative justice? Simak artikel berikut untuk lebih jelasnya!

Pengertian Restorative Justice

Prinsip restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara dengan instrumen pemulihan dan alternatif penyelesaian hukum melalui proses dialog dan mediasi. Dalam hal ini merupakan suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Baca Juga: Restorative Justice Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.

Dialog dan mediasi dalam keadilan restorative melibatkan beberapa pihak diantaranya pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait. Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.

Batas Umur Anak di Bawah Umur Berdasar Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU No. 35/2014) menerangkan yang dimaksud Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menerangkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 

Sedangkan, anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Kronologi Kasus

Gadis berusia 15 tahun di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah menjadi korban pemerkosaan oleh 6 pemuda tetangganya sendiri memilih berdamai. Peristiwa itu terjadi sekitar akhir Desember 2022.

Awalnya korban dijemput dua orang menggunakan sepeda motor. Kemudian remaja ini dibawa ke sebuah rumah kosong dan dicekoki minuman keras. Selanjutnya, perempuan ini diperkosa secara bergiliran oleh enam orang pelaku yang merupakan tetangganya.

Para pelaku merupakan warga Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes. Lima di antaranya masih berusia anak di bawah umur berstatus pelajar dan satu orang dewasa berinisial AI (19) dengan status pekerjaan wiraswasta. Sedangkan, Korban ini masih di bawah umur yaitu usianya baru 15 tahun dan masih usia SMP.

Tak lama setelah kejadian pada Desember 2022 lalu, pihak keluarga korban dan keluarga para pelaku dimediasi oleh sekelompok anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mediasi digelar di rumah seorang kepala desa di Kecamatan Tanjung. Dalam surat kesepakatan itu, pihak korban dan pelaku memilih berdamai. Pihak keluarga korban pun menerima uang kompensasi dari para pelaku dan keluarga pelaku bersedia bertanggung jawab jika akhirnya korban hamil.

Uang tersebut sebagai kompensasi kepada keluarga korban untuk biaya sekolah korban. Namun korban menerima uang tersebut separuh dari yang telah disepakati oleh sekelompok LSM dan keluarga korban. Keluarga korban akhirnya tidak melanjutkan kasus itu ke ranah kepolisian setelah adanya perjanjian damai tertulis. Dalam surat kesepakatan itu juga, keluarga korban bersedia dituntut jika melanjutkan kasus ini ke jalur hukum.

Kasus perkosaan ini membuat sekelompok warga di Brebes akhirnya melapor ke polisi. Polisi telah menangkap enam pelaku pemerkosaan tersebut. Polres Brebes juga telah berjanji akan menyelidiki kasus pemerkosaan anak ini meski kedua belah pihak sepakat damai. Polisi menyebut kasus ini bukan delik aduan.

Analisa Hukum

Kasus kekerasan seksual dianggap sebuah aib oleh kebanyakan masyarakat. Dalam hal ini terkadang korban dipojokkan dengan alasan memakai pakaian yang terbuka dan memperlihatkan bagian tubuhnya sehingga mengundang nafsu kaum adam. Dari pandangan tersebut, kekerasan seksual dianggap masalah personal yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Baca Juga: Mengenal Justice Collaborator dalam Hukum Pidana Di Indonesia.

Kasus kekerasan seksual membawa dampak lebih besar bagi korban seperti hamil lalu melahirkan. Hal ini yang seringkali dianggap sebagai aib. Sehingga sebisa mungkin keluarga akan berusaha menutupi kasusnya dengan cara berdamai, atau mengawinkan korban dengan pelaku.  

Penerapan penyelesaian perkara menggunakan pendekatan metode restorative justice pada kasus kekerasan seksual hanya menambah trauma korban. Restorative justice dapat dilakukan untuk kasus kekerasan seksual namun dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 (UU TPKS) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur terkait perkara kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan. Dalam pasal 23 menyatakan “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Implementasi UU TPKS tidak hanya sekedar memberi jaminan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual, lebih dari itu berfungsi dalam hal pencegahan, perlindungan, dan pemulihan untuk korban. Hadirnya UU TPKS harus dihormati, bahwa penyelesaian perkara pidana kekerasan seksual harus dilakukan dengan jalur pengadilan.

Dalam kasus yang terjadi pada pelaku anak pun, penerapan diversi hanya dilakukan pada tindak pidana yang ancamannya di bawah 7 tahun dan bukan pengulangan, sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Sedangkan tindak pidana dalam kasus ini adalah perkosaan dengan ancaman pidana 12 tahun.

Sobat Selaras, jika sedang mengalami suatu peristiwa pidana, silahkan menghubungi tim Selaras Law Firm untuk berkonsultasi. Untuk menambah literasi hukum, yuk simak artikel lain di Selaras Law Firm!

Dasar Hukum:

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 (UU No. 12/2022) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Sumber:

Aryo Putranto Saptohutomo, “Restorative Justice: Pengertian dan Penerapannya Dalam Hukum di Indonesia”, diakses pada https://nasional.kompas.com/read/2022/02/15/12443411/restorative-justice-pengertian-dan-penerapannya-dalam-hukum-di-indonesia.

Khairina, “Fakta Kasus Pemerkosaan Gadis 15 Tahun di Brebes Berakhir Damai, Keluarga Takut Lapor Polisi”, diakses pada: https://regional.kompas.com/read/2023/01/17/121503278/fakta-kasus-pemerkosaan-gadis-15-tahun-di-brebes-berakhir-damai-keluarga?page=all (pukul 20.12 pada 09/02/2023).

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Urgensi dan Kedudukan Lie Detector sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana https://selaraslawfirm.com/urgensi-dan-kedudukan-lie-detector-sebagai-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/ Sat, 18 Feb 2023 05:20:38 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1615 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Hallo, Sobat Selaras!

Facta Sunt Potentiora Verbis (perbuatan atau fakta jauh lebih kuat dari kata-kata)”

Adagium Hukum

Lie detector merupakan alat yang menerapkan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti psikologi, kedokteran, biologi, fisika, komputer dan lainnya.

Alat ini sangat berguna di kalangan penegak hukum karena penggunaannya yang sebagai pengungkap dari berbagai fakta.

Lantas apakah penggunaan lie detector tersebut dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana pembunuhan berencana?

Pengertian Lie Detector

Secara umum, Lie detector adalah sebuah alat yang merupakan gabungan dari beberapa alat kesehatan yang digunakan untuk mendeteksi seseorang, apakah berkata bohong atau jujur dengan menggunakan mesin polygraph.

Syarat Formal dan Teknis Pemeriksaan Polygraph

Dalam melakukan pemeriksaan lie detector terdapat syarat formal dan teknis yang perlu dipenuhi.

 Persyaratan formal antara lain:

  1. Permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi;
  2. Laporan polisi;
  3. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan
  4. Surat persetujuan untuk diperiksa dari saksi/tersangka, bila saksi/tersangka didampingi oleh penasihat hukum maka surat persetujuan diketahui oleh penasihat hukumnya.

Sedangkan persyaratan teknis antara lain:

  1. Tersedianya ruang pemeriksaan yang bebas dari kebisingan;
  2. Tersedianya tenaga listrik untuk penerangan dan 3 buah stop kontak untuk peralatan;
  3. Tersedianya meja dan kursi yang stabil;
  4. Kondisi terperiksa harus:
    • Sudah dewasa menurut ketentuan undang-undang;
    • Sehat jasmani dan rohani;
    • Apabila terperiksa perempuan, tidak dalam kondisi hamil atau menstruasi; dan
    • Kondisi terperiksa tidak dalam keadaan tertekan;
  5. Untuk memastikan kondisi kesehatan terperiksa, dapat dilengkapi dengan:
    • Riwayat kesehatan saksi/tersangka; dan
    • Laporan hasil pemeriksaan psikologi;
  6. Untuk pendalaman kasus:
    • Penyidik harus selalu berkoordinasi dengan pemeriksa; dan
    • Apabila diperlukan dalam rangka pemeriksaan, pemeriksa polygraph dapat mendatangi TKP.

Ketentuan yang tertera di atas memberikan perluasan dari tempat pelaksanaan pemeriksaan lie detector yakni dapat mendatangi TKP, sehingga tidak terbatas dilaksanakan pada Labfor Polri dan/atau satuan kewilayahan saja. 

Baca juga: Pengakuan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.

Metode Pendeteksi Kebohongan

Pada prinsipnya, metode pendeteksi kebohongan bekerja dengan berdasar pada perubahan respon fisiologis tubuh manusia yang diakibatkan oleh usahanya untuk menutupi kebohongannya.

Akan tetapi, mendeteksi kebohongan juga dapat dilakukan dengan beberapa metode lainnya. Beberapa dari metode pendeteksi kebohongan tersebut ialah berdasarkan:

  1.     Konduktivitas kulit;
  2.     Isi tulisan;
  3.     Bentuk tulisan tangan;
  4.     Analisa suara;
  5.     Image infrared (termograpy); dan
  6.     Gesture/bahasa tubuh.

Metode pengujian kebohongan adalah sebuah pendekatan yang dilakukan dengan mengamati respon tubuh yang dijadikan dasar analisa untuk menilai seseorang apakah sedang berbohong atau tidak.

Secara umum, orang yang sedang berbohong akan mengalami tekanan (stress) dan manifestasi stress bisa ditanggap dalam banyak bentuk seperti produksi keringat, perubahan bentuk tulisan tangan, panas pada kulit, perubahan suara, gesture dan lainnya.

Setiap metode uji kebohongan memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Secara umum, kelemahan metode deteksi kebohongan adalah pada saat proses penilaian terutama proses yang evaluasinya dilakukan secara manual.

Uji kebohongan ini dapat memberikan hasil yang lebih optimal dan sangat baik apabila pengujiannya dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode.

Urgensi Penggunaan Lie Detector

Penggunaan lie detector dalam kasus tindak pidana khususnya pembunuhan berencana memiliki urgensi yang mana diantaranya yaitu:

  1. Lie detector sebagai instrumen pendukung dalam pemeriksaan tersangka dan saksi yang diminta penyidik melalui Pusat Laboratorium Forensik untuk memudahkan penyidik dalam melakukan penyelidikan kasus pembunuhan berencana.
  2. Lie detector digunakan sebagai alat bantu untuk menemukan fakta sebenarnya dari pemeriksaan dalam kasus yang sulit untuk dipecahkan.
  3. Hasil dari lie detector dapat menjadi bukti penunjang dari pertimbangan penyidik dalam mengaitkan bukti dan fakta yang ada dengan keterangan dari saksi atau tersangka terhadap kasus pembunuhan berencana yang berubah-ubah.
  4. Lie detector digunakan untuk membuat terang suatu perkara pidana pembunuhan berencana dengan cara mendeteksi dan mengetahui kebenaran dari keterangan yang diungkapkan saksi atau tersangka.
  5. Lie detector sebagai instrumen untuk menggali keterangan saksi atau tersangka guna untuk mendapatkan persesuaian dengan alat bukti sehingga menghasilkan sebuah fakta yang sebenarnya.

Jadi penggunaan lie detector sebagai alat pendukung proses pemeriksaan dalam tahap penyidikan memiliki urgensi dalam mengungkap kasus tindak pidana pembunuhan berencana yang mana hasil lie detector ini akan dikaitkan dengan alat bukti yang telah ada sebelumnya guna mendapatkan suatu persesuaian fakta yang sebenarnya.

Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), alat bukti sah adalah:

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa..

Kedudukan Lie Detector sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) telah mengakomodir pengaturan mengenai alat bukti digital/elektronik yang mana termasuk di dalamnya ialah hasil dari lie detector.

Dalam Pasal 5 UU ITE, yang dimaksud dengan alat bukti untuk tindak pidana terkait UU ITE adalah alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 184 ayat (1) KUHAP) dan alat bukti lain termasuk informasi elektronik maupun dokumen elektronik. Jika dilihat dari bentuknya, lie detector termasuk dalam alat bukti dokumen elektronik. 

Berkenaan dengan penggunaan lie detector sebagai alat bukti, kita dapat mengacu kepada UU ITE yang merupakan dasar hukum dalam penggunaan sistem elektronik/informasi sebagai alat bukti di pengadilan. 

Lie detector dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil pemeriksaan atas keabsahan dari tes lie detector diberikan oleh seorang ahli/keterangan ahli laboratorium forensik komputer.

Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 KUHAP, telah jelas bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.

Namun untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenaan dengan penggunaan lie detector sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif (dalam hal ini alat bukti petunjuk diperluas sehingga lie detector dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana). 

Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya sebatas pada peraturan-peraturan yang ada di dalam KUHAP melainkan dapat juga mengacu kepada UU ITE yang merupakan dasar hukum dalam penggunaan sistem elektronik.

UU ITE ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu UU ITE juga mengakui hasil penggunaan sistem elektronik, khususnya mengenai hasil tes pengujian lie detector sebagai alat bukti yang sah, yaitu sebagai alat bukti petunjuk.

Nahh itu dia pembahasan mengenai “Urgensi dan Kedudukan Lie Detector sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui hal-hal seputar hukum lainnya, Sobat Selaras dapat menghubungi kami atau baca artikel-artikel menarik kami lainnya di Selaras Law Firm ya!

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009

Sumber:

I Gede Aris Gunadi, Agus Harjoko. “Telaah Metode-metode Pendeteksi Kebohongan”. IJCCS, Volume 6, Nomor 2, 2012.

Vinca Fransisca Yusefin dan Sri Mulyati Chalil, “Penggunaan Lie Detector (Alat Pendeteksi Kebohongan) dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 17, Nomor 2, 2018.

Yahya harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Sumber Gambar: hellosehat.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Kompetensi Pengadilan dalam Menangani Perkara Perdata https://selaraslawfirm.com/kompetensi-pengadilan-dalam-menangani-perkara-perdata/ Mon, 13 Feb 2023 10:05:29 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1612 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu (diversity jurisdiction)” 

–Anonim

Hal penting yang perlu diketahui jika ingin mengajukan gugatan maupun permohonan ke pengadilan yaitu kompetensi pengadilan dalam menangani perkara. Pengadilan memiliki batasan kewenangan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Simak artikel berikut untuk lebih detailnya!

Kompetensi merupakan suatu kewenangan pengadilan dalam menangani suatu perkara. Pengadilan baru bisa memutus perkara jika sesuai dengan kompetensi atau kewenangannya. Apabila para pihak mengajukan ke Pengadilan yang tidak memiliki kompetensi untuk mengadili maka dapat dinyatakan “tidak dapat diterima”.

Baca Juga: Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee

Terdapat 2 (dua) jenis kompetensi pengadilan dalam mengadili perkara-perkara perdata, yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Pengertian Kompetensi Absolut

Kompetensi Absolut merupakan kompetensi atau kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara yang didasarkan pada pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dengan melihat macam-macam pengadilan, dan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).

Ditinjau dari aspek kompetensi absolutnya, berdasar Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Pengertian Kompetensi Relatif

Kompetensi Relatif merupakan kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara didasarkan oleh tempat/lokasi/domisili maupun tempat tinggal para pihak (distributie van rechtsmacht) atau didasarkan pada letak objek sengketa berada, pada badan peradilan yang sama. Singkatnya, kewenangan pengadilan untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum (yurisdiksi) yang dimilikinya.

Landasan penentuan kompetensi relatif suatu peradilan merujuk kepada asas-asas berikut:

  • Actor Sequatur Forum Rei

Batas kewenangan relatif badan peradilan untuk memeriksa suatu sengketa perdata berdasar tempat tinggal tergugat, sehingga yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.

Contohnya: A bersengketa dengan B dengan alasan B belum mengembalikan uang A. dikarenakan A berkeinginan menggugat B, maka A hanya dapat mengajukan gugatan di pengadilan tempat/lokasi/domisili dari si B sebagai Tergugat.

Baca Juga: Keabsahan dan Kepastian Hukum Perjanjian Pra-Nikah.

  • Actor sequatur Forum rei dengan hak opsi

Apabila pihak tergugat terdiri dari beberapa orang dan masing- masing bertempat tinggal di beberapa wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka hukum memberi hak kepada Penggugat untuk memilih salah satu diantara tempat tinggal para tergugat, dan penggugat dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan (memudahkan baginya dalam pengajuan saksi).

  • Tempat Tinggal Penggugat

Pengecualian asas actor sequatur forum rei, yang mana gugatan boleh diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat dengan beberapa ketentuan:

  1. Tidak diketahui tempat tinggal tergugat,
  2. Tidak diketahui tempat tinggal (diam) sebenarnya.
  • Forum Rei Sitae

Dalam sengketa yang menyangkut barang tidak bergerak maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri ditempat mana barang objek perkara diletakkan.

  • Forum Rei Sitae dengan Hak Opsi

Apabila objek sengketa terdiri dari beberapa barang tidak bergerak yang terletak di beberapa daerah hukum, maka Penggugat dapat melakukan pilihan dalam mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan.

  • Domisili Pilihan

Kesepakatan atas domisili pilihan yang dituangkan dalam suatu perjanjian bersifat alternatif yang artinya dapat diajukan ke pengadilan sesuai dengan domisili yang disepakati. Namun, tetap memberi hak bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan negeri tempat tinggal tergugat. Jadi singkatnya, domisili pilihan, tidak mutlak menyingkirkan patokan actor sequatur forum rei.

Contoh Penerapan Kompetensi

Contoh terhadap kewenangan absolut yaitu terjadi perceraian antara Ani dan Budi yang beragama Kristen, maka berdasar Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengurusan perceraian dalam perceraian pasangan non-muslim, melalui Pengadilan Negeri. Dalam hal ini Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili gugatan pada perceraian agama non-muslim. Jika Ani dan Budi merupakan seorang muslim maka pengadilan yang berwenang yaitu Pengadilan Agama.

Kewenangan pengadilan yang dianggap tidak sesuai maka Tergugat dapat menyampaikannya melalui eksepsi. Eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan tersebut diajukan apabila pihak Tergugat merasa gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat bukan merupakan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. apabila terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut maka hakim akan memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi tersebut.

Contoh terhadap kewenangan relatif yaitu Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan diketahui bahwa Tergugat bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Hal tersebut tidak sesuai dengan asas actor sequatur forum rei.

Pada kasus sengketa tanah, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat karena lokasi tanah sengketa berada di wilayah hukum Jakarta Pusat.

Untuk menambah literasi hukum Sobat Selaras dapat mengakses artikel hukum lain di web Selaras Law Firm. Sobat Selaras juga dapat menghubungi tim Selaras Law Firm untuk konsultasi lebih detail terkait perkara perdata!

Dasar Hukum

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sumber:

Laila Rasyid, Herinawati, “Modul Pengantar Hukum Acara Perdata” Aceh: Unimal Press, 2015.

Sumber Gambar: pixabay.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Keakuratan Tes Poligraf sebagai Alat Bukti Di Persidangan https://selaraslawfirm.com/keakuratan-tes-poligraf-sebagai-alat-bukti-di-persidangan/ Mon, 13 Feb 2023 09:43:11 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1606 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Belakangan ini lie detector banyak dibahas setelah muncul dalam persidangan pada kasus kematian Brigadir J.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait kekuatan pembuktian lie detector di persidangan, yukk simak artikel berikut ini!

Pengertian Poligraf

Tes poligraf adalah tes untuk menguji kejujuran seseorang melalui reaksi tubuh. Poligraf juga dikenal sebagai psycho physiological deception detection atau deteksi kebohongan seseorang melalui gejala psikis yang membangkitkan reaksi fisiologis atau reaksi kebohongan.

Poligraf atau biasa dikenal sebagai pendeteksi kebohongan, bekerja dengan mengukur perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh, misalnya jumlah helaan nafas, detak jantung, tekanan darah dan reaksi mendadak pada kulit.

Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) digunakan dalam membantu pihak penyidik dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana perkosaan serta tindak pidana lain agar penyidikan dapat berjalan maksimal.

Baca Juga: Obstruction of Justice dalam Proses Hukum di Indonesia.

Secara umum alat apapun termasuk lie detector tidak bisa digunakan untuk mencari kebenaran, termasuk mengetahui secara pasti apakah seseorang itu berbohong. Adapun yang dilakukan pihak tertentu menggunakan lie detector adalah untuk mencari indikasi yang biasanya muncul ketika seseorang berbohong. Indikasi itu antara lain detak jantung, pernafasan, serta aktivitas electrodermal seperti keringat di jari-jari.

Sejarah Poligraf

Alat pendeteksi kebohongan dibuat oleh seorang peneliti medis dan seorang polisi di Berkeley, California, Amerika Serikat. Kemudian disempurnakan oleh alumni Berkeley yaitu Leonarde Keeler yang pertama kali menerapkannya dalam pemecahan kejahatan.

Pada tanggal 2 Februari 1935, hasil tes poligraf Keeler digunakan dalam persidangan pidana, menandai pertama kalinya penemuan itu digunakan sebagai bukti yang dapat diterima. Dua pria di Wisconsin gagal lulus poligraf, yang akhirnya membuat mereka dihukum.

Presiden Asosiasi Poligraf Amerika, Walt Goodson yang pernah bertugas selama 25 tahun di kepolisian negara bagian Texas menekankan bahwa poligraf bermanfaat dalam membantu polisi melakukan investigasi.

Dengan poligraf sangat cepat dan mudah bagi polisi untuk menentukan tersangka sebuah kejahatan dan memutuskan apakah perlu bagi polisi untuk menggali informasi lebih dalam tentang seseorang, atau mencari calon tersangka lain.

Dasar Hukum Tes Poligraf di Indonesia

Poligraf diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Perkap) No.10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara RI.

Penggunaan lie detector dilakukan terhadap perkara yang termasuk kriteria perkara sulit seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 18 ayat (3) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan.

Kekuatan Pembuktian Hasil Tes Poligraf

Mesin poligraf dinilai merupakan bentuk alat bukti petunjuk berdasarkan Pasal 188 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini dikarenakan hasil pemeriksaan tersebut dapat dikategorikan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan sehingga dapat dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara.

Baca Juga: Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Alat bukti yang sah diatur pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Tes Poligraf tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti dalam persidangan pidana. Tes Poligraf hanya berkedudukan sebagai instrumen bagi penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana serta dapat membantu efisiensi kinerja penyidik. Dengan demikian, hasil dari tes poligraf tidak diakui sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai sarana interogasi.

Kekuatan hasil tes poligraf dapat digunakan untuk membuktikan adanya kesesuaian antara alat bukti yang lain sebagaimana Pasal 184 (KUHAP). Hal ini disebabkan dalam perumusannya, hasil tes poligraf akan didukung oleh ahli dan dikeluarkan dalam bentuk surat sehingga alat ini bisa dijadikan alat bukti.

Keterangan atas analisa hasil alat uji kebohongan dari ahli psikologi forensik inilah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah yaitu berupa keterangan ahli. Kekuatan pembuktian keterangan ahli mempunyai nilai pembuktian bebas, di mana tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Dalam hal ini, hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.

Berdasar Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mesin poligraf yang digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian persidangan perkara pidana menganut sistem pembuktian negatif sebagai alat bukti petunjuk. 

Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mana mesin poligraf ini dapat dijadikan alat bukti petunjuk dalam informasi atau dokumen elektronik. Proses perluasannya didasarkan pada Surat Perintah Nomor Pol: Sprin/295/II/1993 tentang Validasi Organisasi Kepolisian Republik Indonesia yaitu tentang Laboratorium Forensik Polri. 

Cara Kerja Poligraf

Penggunaan mesin poligraf dilakukan atas permintaan dari penyidik berdasarkan pada kebutuhan terhadap pemeriksaan suatu perkara pidana. Biasanya penyidik melakukan permintaan penggunaan mesin poligraf ketika mengalami kesulitan dalam memperoleh keterangan saksi dan tersangka.

Teknik pemeriksaan poligraf terdiri dari empat tahap, yaitu pre-interview, stimulasi, pertanyaan, dan hasil pemeriksaan poligraf berbentuk grafik yang diperoleh dari reaksi tubuh dan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan oleh pemeriksa poligraf.

Cara kerja pemeriksaan poligraf adalah dengan melihat detak jantung, denyut nadi, serta perubahan fisik. Apabila orang yang sedang diperiksa mengatakan sesuatu yang benar, detak jantung dan denyut nadi akan berjalan secara normal. Namun, apabila yang bersangkutan berbohong, maka akan ada perubahan fisik dari detak jantung atau denyut nadi.

Serangkaian variabel ini diukur saat pertanyaan diajukan kepada mereka. Nilai numerik diberikan pada setiap respons untuk menyimpulkan apakah orang tersebut mengatakan yang sebenarnya, menipu, atau tidak pasti.

Hasil pemeriksaan poligraf yang digunakan di dalam persidangan berasal dari interpretasi dan analisis dari pemeriksaan poligraf terhadap tersangka yang melakukan pemeriksaan poligraf. Untuk itu, harus dipastikan pemeriksaan sesuai prosedur dan memenuhi standar.

Sobat Selaras, bisa menambah literasi hukum dengan membaca artikel lain di Selaras Lawfirm lohh! Jika ingin bertanya lebih detail dan konsultasi terkait permasalahan hukum, sobat Selaras bisa langsung menghubungi tim kami!

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Perkap) No.10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara RI.

Surat Perintah Nomor Pol: Sprin/295/II/1993 tentang Validasi Organisasi Kepolisian Republik Indonesia yaitu tentang Laboratorium Forensik Polri.

Sumber:

Ruspian, 2019, “Kekuatan Alat Bukti Mesin Polygraph dalam Persidangan Perkara Pidana di Indonesia” dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Riau.

Tribratanews, 2022, “Uji Kebohongan Bantu Detektif Cepat Selesaikan Kasus Pidana di Dunia”, dapat diakses pada: https://polri.go.id/berita-polri/1541.

Sumber Gambar: depositphotos.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Analisis Hukum “Turut Melakukan” dan “Membantu Melakukan” dalam KUHP https://selaraslawfirm.com/analisis-hukum-turut-melakukan-dan-membantu-melakukan-dalam-kuhp/ Wed, 08 Feb 2023 06:27:24 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1589 Oleh: Anies Mahanani, S.H.

Halo Sobat Selaras!

“Tidak semua orang yang berada di dalam satu tempat kejadian perkara kejahatan itu berarti turut serta, harus ada meeting of mind” 

– Ahli Pidana Muhammad Arif Setiawan (Universitas Islam Indonesia).

Tidak semua terdakwa dalam kasus pidana merupakan pelaku utama dalam peristiwa tindak pidana. Yukkk simak artikel berikut untuk mengetahui peran-peran yang terdapat dalam sebuah peristiwa tindak pidana!

Turut Melakukan

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

  1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
    1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
    2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
  2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Baca Juga: Obstruction of Justice dalam Proses Hukum di Indonesia.

Menurut R. Soesilo, turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. 

Jadi, kedua orang tersebut harus melakukan perbuatan pelaksanaannya (melaksanakan elemen dari tindak pidana) dan adanya kerjasama yang erat antara mereka yang dilandasi niat untuk mewujudkan terjadinya tindak pidana, tidak boleh hanya melakukan persiapan maupun setelah kejadiannya (bukan bersifat menolong).

Membantu Melakukan

Pasal 56 KUHP:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

  1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
  2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Menurut R. Soesilo, bahwa orang yang membantu melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (bukan sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Dalam perbuatan membantu melakukan ini sifatnya menolong, sehingga bukan orang yang melaksanakan elemen dari tindak pidana.

Perbedaan Turut Melakukan dan Membantu Melakukan

Turut serta dalam tindak pidana yaitu terjadi kerjasama antara pelaku dengan tujuan untuk melakukan tindak pidana. Sedangkan membantu melakukan berarti orang yang membantu tersebut hanya membantu pelaku agar bisa mencapai tujuan pelaku tanpa ada tujuan sendiri.

Terdapat 2 (dua) syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: 

  1. Kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; 
  2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.

Artinya, adanya kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana dan pelaku memiliki kepentingan atau tujuan sendiri untuk terjadinya tindak pidana tersebut. Jadi, turut serta dalam tindak pidana dengan orang yang membantu melakukan tindak pidana sama-sama menjadi pelaku dari tindak pidana tersebut.

Sedangkan, bagi yang membantu melakukan tersebut harus memiliki unsur kesengajaan. Baik yang dilakukan pada saat kejadian atau sebelum kejadian tersebut. Sedangkan jika dilakukan dalam waktu setelah kejadian pidana, maka bisa dinyatakan sebagai sekongkol.

Baca Juga: Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam penjelasan pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen sengaja harus ada. Niat untuk melakukan kejahatan harus muncul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya, atau keterangan itu. Orang yang membantu melakukan hanyalah untuk membantu pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah karena berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).

Sehingga untuk seseorang yang tidak sengaja membantu tindak pidana karena tidak mengetahui adanya kejahatan tersebut, maka tidak dihukum atau tidak termasuk seseorang yang turut serta dalam tindak pidana.

Pengaturan pada RKUHP

Turut melakukan dan membantu melakukan yang juga diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

Pasal 20 Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika:

  1. Melakukan sendiri tindak pidana;
  2. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
  3. Turut serta melakukan tindak pidana; atau
  4. Menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Penjelasan Pasal 20 huruf d Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana juga termasuk membujuk, menganjurkan, memancing, atau memikat orang lain dengan cara tertentu.

Pasal 21

1. Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja:

  1. Memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau
  2. Memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.

3. Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

4. Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

5. Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Sobat Selaras, untuk menghindari keikutsertaan dalam sebuah peristiwa pidana bisa berkonsultasi dengan tim kami di Selaras Law Firm

Dasar Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan).

Sumber:

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika Aditama.

Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar – Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Hukum Memberikan Keterangan dan Sumpah Palsu di Persidangan https://selaraslawfirm.com/hukum-memberikan-keterangan-dan-sumpah-palsu-di-persidangan/ Wed, 08 Feb 2023 06:03:56 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1586 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Hallo, Sobat Selaras!

Tentu Sobat Selaras sudah tahu bahwasanya dalam persidangan perkara pidana terdapat saksi yang mana saksi tersebut nantinya akan memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan dari suatu perkara pidana, bukan?

Dalam Pasal 1 Angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tertulis bahwa:

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat penting dalam proses pembuktian pada tahap pemeriksaan. Oleh karena itu, dalam Pasal 160 Angka 3 KUHAP dijelaskan bahwa seorang saksi wajib disumpah atau berjanji terlebih dahulu sebelum atau setelah memberikan keterangannya di persidangan.

Lantas bagaimana apabila keterangan dan sumpah yang diberikan oleh seorang saksi tersebut palsu? Apakah saksi tersebut dapat di pidana? Yukkk simak penjelasan dalam artikel berikut ini untuk menemukan jawabannya!

Pasal Keterangan Palsu

Memberikan keterangan palsu saat menjadi saksi di persidangan dapat diancam dengan sanksi pidana keterangan palsu sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang masih berlaku saat ini dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (“UU KUHP”) yang berlaku 3 tahun sejak diundangkan.

Dalam Pasal 242 Ayat (1) KUHP tertulis bahwa:

Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Apabila keterangan palsu berdasar pasal tersebut diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah maka dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Sedangkan pengaturan mengenai keterangan palsu dalam Pasal 291 Ayat (1) UU KUHP tertulis bahwa:

Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut dapat merugikan tersangka, terdakwa atau pihak lawan, maka pidananya ditambah 1/3.

Unsur-Unsur Pasal Keterangan Palsu

Menurut R Soesilo, berikut adalah unsur-unsur yang harus terpenuhi terlebih dahulu agar seorang saksi yang memberikan keterangan dapat dihukum:

  1. Keterangan itu harus di atas sumpah;
  2. Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu;
  3. Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan;
  4. Supaya dapat dihukum, pembuat harus mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah;
  5. Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran akan tetapi akhirnya keterangan tersebut tidak benar atau dengan kata lain ia tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum. 
  6. Sebelum saksi dituntut melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu, hakim terlebih dahulu memperingatkan saksi dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu sesuai dengan Pasal 174 KUHAP. 
  7. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan dan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. 

Baca juga: Pengenaan Pidana Atas Kasus Perselingkuhan Antara Suami dan Ibu Mertua.

Dalam praktik, hakim berhak menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Akan tetapi secara teknis saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi berbohong, maka hakim ketua akan menangguhkan sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota. Jika musyawarah mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.

Dengan kata lain tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu. Tentunya dengan ketentuan, hakim sebelumnya harus memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana.

Jadi ketegasan hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu namun tetap diproses maka soal bersalah atau tidak bersalahnya itu adalah bergantung dari proses pembuktian perkara di pengadilan sesuai dengan asas praduga tak bersalah.

Nahh itu dia pembahasan mengenai “Hukum Memberikan Keterangan dan Sumpah Palsu di Persidangan”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui hal-hal seputar hukum lainnya, Sobat Selaras dapat menghubungi kami atau baca artikel-artikel menarik kami lainnya di Selaras Law Firm ya!

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber:

Soesilo. 1991. “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”. Bogor: Politeia.

Sumber Gambar: istockphoto.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>