Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /home/slf/public_html/index.php:1) in /home/slf/public_html/wp-includes/feed-rss2.php on line 8
sitifaridah – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com Selaras Law Firm Sat, 31 Dec 2022 11:37:43 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.2 https://selaraslawfirm.com/wp-content/uploads/2021/11/cropped-icon-32x32.png sitifaridah – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com 32 32 Pengakuan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia https://selaraslawfirm.com/pengakuan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia/ Sat, 31 Dec 2022 11:37:43 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1508 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Halo, Sobat Selaras!

Apakah Sobat Selaras pernah mendengar tentang Arbitrase? 

Lalu bagaimana dengan arbitrase internasional, apakah Sobat Selaras sudah mengetahui bagaimana pengakuan arbitrase internasional tersebut di Indonesia?

Pengertian Arbitrase

Pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Objek dari perjanjian arbitrase itu sendiri berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Arbitrase ialah:

  1. Sengketa di bidang perdagangan
  2. Mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Jadi, sengketa yang diperbolehkan untuk dapat diselesaikan dan diputus melalui cara penyelesaian sengketa arbitrase hanyalah sengketa dalam bidang kontrak yang memiliki sifat dan nilai komersial. Sengketa lainnya seperti sengketa pada bidang hukum orang, keluarga dan hak kebendaan tidak dapat diselesaikan dan diputus melalui arbitrase.

Baca juga: Asas-Asas dalam Hukum Waris Islam.

Putusan Arbitrase

Sebenarnya, putusan arbitrase memiliki fungsi yang sama dengan putusan pengadilan. Hal ini dikarenakan baik putusan pengadilan maupun putusan arbitrase merupakan sama-sama putusan yang diputus untuk melakukan penyelesaian terhadap suatu sengketa. Hanya saja, putusan arbitrase merupakan putusan yang diputus melalui proses yang pelaksanaannya berada pada jalur diluar pengadilan. 

Membahas mengenai putusan arbitrase dengan putusan pengadilan, sebenarnya terdapat hal yang dapat menjadi pembeda antara putusan arbitrase dengan pengadilan. Hal tersebut ialah terletak pada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak setelah putusan tersebut diputuskan.

Jika di dalam putusan pengadilan, setelah putusan pengadilan tersebut diputuskan maka masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan dengan diajukannya kembali ke tingkat banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. 

Sebaliknya, jika dalam putusan arbitrase maka putusan arbitrase tersebut memiliki sifat final dan mengikat sehingga setelah putusan arbitrase diputuskan maka sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat diajukan,

Karena adanya putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat tersebut, maka bagaimana sih pengakuan mengenai putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia?

Baca juga: Tips Agar Permohonan Pendaftaran Merek Diterima

Arbitrase Internasional

Pada proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional, para pihak dalam membuat kontrak komersial sebelumnya harus telah memiliki kesepekatan. Kesepakatan tersebut ialah kesepakatan mengenai pilihan yurisdiksi pengadilan (choice of forum) yang akan mereka gunakan.

Karena dalam hal ini penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase internasional, maka Choice of forum yang telah mereka sepakati tentunya ialah choice of forum yang menunjuk arbitrase internasional.

Selanjutnya, para pihak boleh menuliskan secara eksplisit klausula choice of forum yang menunjuk arbitrase internasional tersebut di dalam kontrak mereka. Hal ini diperbolehkan karena Indonesia sendiri telah meratifikasi Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York, 1958). 

Jika para pihak telah bersepakat dalam menentukan choice of forum arbitrase sebagai cara dalam menyelesaikan sengketa, maka para pihak memiliki kewajiban untuk menyelesaikan sengketa yang dialami hanya di muka arbitrase yang telah dipilih.

Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang dipilih sebagai penyelesaian sengketa oleh para pihak dalam sebuah kontrak tersebut merupakan wujud dari adanya kebebasan berkontrak (freedom of contract) bagi para pihak. Sehingga, dengan adanya hal tersebut putusan arbitrase yang dihasilkan atas penyelesaian sengketa harus diakui dan dilaksanakan oleh para pihak.

Sengketa yang mana telah disepakati oleh para pihak untuk dibawa di muka arbitrase internasional nantinya tidak lagi dapat diadili oleh pengadilan di Indonesia.

Kemudian sama dengan hal di atas, putusan yang sudah dibuat oleh arbitrase internasional atas sengketa tersebut juga tidak lagi dapat diadili secara ulang oleh pengadilan di Indonesia. 

Jadi, dengan sengketa dan putusan arbitrase internasional yang tidaklah lagi dapat diadili secara ulang oleh pengadilan di Indonesia, maka putusan arbitrase internasional di Indonesia telah dapat diakui.

Sekian penjelasan mengenai “Pengakuan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia” apabila Sobat Selaras ingin mengetahui lebih lanjut seputar permasalahan arbitrase, Sobat Selaras bisa menghubungi kami di Selaras Law Firm. Nantikan artikel menarik selanjutnya ya! 

Sumber:

Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York, 1958)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Ni Wayan Lisna Dewi, I Gusti Ketut Adnya Wibawa,  dan I. W. A. (2021). Pengaturan Pengakuan Dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Berdasarkan Konvensi New York 1958 di Indonesia. Majalah Ilmiah Untab, 18(1).

Sumber Gambar:

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H. 

]]>
Disgorgement Fund sebagai Sarana Memperkuat Perlindungan Investor di Pasar Modal https://selaraslawfirm.com/disgorgement-fund-sebagai-sarana-memperkuat-perlindungan-investor-di-pasar-modal/ Fri, 30 Dec 2022 11:41:49 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1504 Oleh : Anisa Fernanda

Tidak ada yang lebih berisiko daripada persepsi luas bahwa tidak ada risiko.” 

– Howard Marks

Berbincang mengenai risiko, apakah sobat Selaras Law Firm mengetahui adanya risiko dari suatu investasi? Tentunya sebelum terjun dalam dunia investasi kita sudah pasti yakin  akan mendapatkan keuntungan dongg. Salah satu investasi yang menjanjikan adalah di Pasar modal. 

Sayangnya, investasi di Pasar modal juga rentan terjadi pelanggaran. Otoritas Jasa Keuangan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2020 tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal memberikan perlindungan kepada investor atas setiap kerugian yang dialami dari adanya pelanggaran di bidang pasar modal yang lebih dikenal dengan disgorgement fund. 

Lalu bagaimana mekanismenya? 

Apakah semua investor berhak mendapat perlindungan dan bagaimana bentuknya?

Nah agar tidak menerka-nerka lagi, mari kita bahas!! 

Baca Juga: Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan

Pengertian Disgorgement Fund

Sebelum membahas pengertian secara mendalam perlu diketahui arti disgorgement itu sendiri, menurut The Black’s Law Dictionary mendefinisikan sebagai tindakan melepaskan sesuatu seperti keuntungan yang didapatkan secara tidak sah atau illegal (profits illegally obtained) didasarkan pada hukum (by legal compulsion) atau tuntutan (demand).

Sedangkan disgorgement fund merupakan suatu dana yang dihimpun dari pengenaan disgorgement dari pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan di pasar modal dan kemudian diadministrasikan serta didistribusikan kepada pihak yang dirugikan dengan tujuan agar pelaku tidak menikmati keuntungan yang diperoleh secara tidak sah.

Urgensi Pengaturan Disgorgement Fund

Sebenarnya kejahatan di pasar modal masih menjadi permasalahan yang krusial hingga saat ini sebab pembuktiannya yang masih sulit. Berimbas pada sanksi yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diterapkan.

Disgorgement fund juga menjadi jawaban atas keterbatasan perlindungan hukum yang belum termuat pada lembaga SIPF. Sebab lembaga tersebut hanya memberikan ganti kerugian pada tindak pelanggaran administratif saja. 

Ruang Lingkup Pemberlakuan Disgorgement

Pada Pasal 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2020 tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal menyebutkan : 

Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan Pengembalian Keuntungan Tidak Sah terhadap Pihak yang melakukan dan/atau Pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.”

Makna pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal mencakup 2 (dua) jenis bentuk perbuatan yakni pelanggaran dan kejahatan. 

Pelanggaran di pasar modal berkaitan dengan perbuatan teknis administratif, seperti perizinan, persetujuan, dan pendaftaran izin usaha. Sedangkan kejahatan di pasar modal berupa tindakan penyelewengan seperti penipuan (fraud), perdagangan semu, dan perdagangan orang dalam (insider trading).

Baca juga : Hukum Waris menurut Kompilasi Hukum Islam.

Mekanisme Pengenaan Disgorgement Fund

Perintah pembayaran disgorgement berbentuk tertulis dikeluarkan bersamaan dengan penetapan sanksi administratif dan harus dibayarkan dalam rentang waktu paling lama 30 hari. Sehingga tidak perlu adanya gugatan perdata kepada pengadilan dan menunggu putusan pengadilan.

Apabila tidak dapat melakukan pembayaran melalui rekening dana dapat menggunakan aset tetap berupa tanh, tanah dan bangunan, maupun kendaraan bermotor. Selanjutnya bilamana pihak yang dikenakan disgorgement tidak menolak untuk membayar maka OJK dapat memerintahkan memerintahkan pencairan aset dalam rekening Efek maupun rekening lain kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, lembaga jasa keuangan, 

Namun apabila tetap tidak dapat dilaksanakan maka dapat dilakukan beberapa tindakan, seperti gugatan perdata maupun pengajuan permohonan kepailitan setelah adanya upaya melalui surat peringatan.

Pendistribusian Disgorgement Fund

Disgorgement fund dilakukan dengan menunjuk Administrator dengan waktu paling lama 21 hari guna menyusun rencana distribusi yang didalamnya memuat latar belakang disgorgement fund, kriteria investor yang berhak mengajukan klaim, tata cara pengajuan klaim, periode pengajuan klaim paling cepat 21 hari dan paling lambat 90 hari, penghitungan jumlah kerugian riil, prosedur pendistribusian dana, biaya pengadministrasian dan pendistribusian dana.

Administrator mengumumkan rencana distribusi pada situs web disgorgement fund yang selanjutnya Otoritas Jasa Keuangan memberikan instruksi pada Penyedia Rekening Dana untuk membayar disgorgement fund melalui pemindahbukuan ke rekening dana tiap-tiap investor paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah diinstruksikan.

Jadi, apakah semua investor yang mengalami kerugian berhak mendapatkan perlindungan melalui disgorgement fund

Jawabannya adalah terbatas pada investor yang memenuhi kriteria dalam rencana distribusi.

Selain itu, dalam Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2020 tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal  disebutkan bahwa investor juga harus dinyatakan belum menerima kompensasi dari pihak yang dikenakan pengembalian keuntungan tidak sah atas.

Baca juga : Waris menurut Hukum Perdata.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2020 tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal menjadi jawaban atas permasalahan belum terakomodirnya beberapa perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. 

Disgorgement fund memiliki ruang lingkup terhadap tindak kejahatan dan pelanggaran administratif. Pengenaannya dilakukan dengan menunjuk Administrator yang memiliki tugas untuk membuat rencana pendistribusian pada website disgorgement fund  yang memuat berbagai ketentuan dan dijadikan pijakan investor untuk melakukan klaim.

Sekian pembahasan terkait “Disgorgement Fund sebagai Sarana Memperkuat Perlindungan Investor di Pasar Modal”. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Sobat Selaras Law Firm ya! 

Apabila Sobat Selaras Law Firm ingin bertanya seputar disgorgement fund atau berkonsultasi hukum bisa segera menghubungi kami di Selaras Law Firm ya!

Yuk jangan lupa baca juga artikel menarik lainnya hanya di Selaras Law Firm!

Sumber:

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 65/POJK.04/2020 tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal.

Vidi Shah, Determining Disgorgement in Securities Law, The Law Review, Government Law College, 2019, 10, 138-172.

Wijaya, Vania R. A. & Gumadi, Ariawan, Disgorgement: Pemulihan Kerugian Investor Pasar Modal (Studi Komparasi Amerika Serikat Dan Indonesia), Al’adl Jurnal Hukum, 4(1), 2022, 133-152.

Sumber Gambar:

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee https://selaraslawfirm.com/kekuatan-hukum-perjanjian-nominee/ Thu, 29 Dec 2022 11:23:15 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1499 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras

Kalian tau nggak sih kalo Indonesia ini memiliki banyak potensi di bidang budaya, pariwisata, maupun kekayaan alam. Mayoritas penduduknya pun bergantung pada sektor pertanian, pengolahan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam, so lahan atau tanah menjadi sangat penting dalam kacamata hukum. 

Tapi, kalian tau nggak sih kalau tanah kita ada yang dikuasai oleh pihak asing? 

Kok bisa ya? Padahal kan sudah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hanya warga negara Indonesia yang memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia. Untuk lebih lanjutnya, yuk simak tentang Perjanjian Nominee!

Pengertian Perjanjian Nominee

Perjanjian Nominee adalah Perjanjian antara pihak dimana salah satu pihak menggunakan nama pihak lainnya digunakan untuk pembelian suatu benda seperti saham, tanah dan bangunan, dan lainnya. Secara Materiil pemilik asli dari benda tersebut bukan orang yang ada dalam bukti, tetapi orang yang meminjam nama.

Kata Nominee berasal dari bahasa Latin “by name of or under the name of designation of ….” yang berarti dengan nama atau di bawah nama penunjukan. Jadi Nominee berarti bahwa seseorang yang telah ditunjuk atau diajukan untuk bertindak menggantikan seseorang lainnya. 

Baca Juga: Pendaftaran Sertipikat Tanah Elektronik

Dalam perjanjian Nominee terdapat pihak yang menunjuk Nominee yang dikenal sebagai beneficiary. Nominee mewakili kepentingan-kepentingan dari beneficiary dan karenanya Nominee dalam melakukan tindakannya harus sesuai dengan yang diperjanjikan dan tentunya harus sesuai dengan perintah yang diberikan oleh pihak beneficiary.

Perjanjian Nominee merupakan salah satu dari jenis perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang tidak dikenal dalam KUHPerdata. Namun timbul, tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan KUHPerdata, perjanjian Nominee harus tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan.

Salah satu contoh perjanjian pinjam nama atau Nominee yaitu kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing (WNA). WNA menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia. 

WNA membeli sebidang tanah hak milik dengan menggunakan nama Warga Negara Indonesia (WNI), yaitu tanah hak milik yang nyatanya dibeli (dibayar) oleh WNA tersebut namun didaftarkan dengan atas nama WNI (de jure). 

Guna kepastian hukum atas hak atas tanah yang dibelinya tersebut antara WNA dengan WNI dibuatkan dalam suatu perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik (sertifikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah WNA (de facto).

Perjanjian Nominee biasanya dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris untuk para pihak terutamanya oleh WNA dibuat dengan tujuan untuk mendapat kepastian hukum.

Akta tersebut dijadikan alat bukti yang kuat tentang hak atas kepemilikan tanah tersebut. Sehingga dalam bukti kepemilikan tanah dan atau bangunan atas nama WNI, namun secara kekuasaan dan kepemilikan atas nama WNA.

Keabsahan dan Kepastian Hukum Perjanjian Nominee

Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2020 disebutkan mengenai Perjanjian Pinjam Nama dalam rumusan kamar Perdata. Kaidah hukumnya yaitu “Penggunaan Pinjam Nama (Nominee) pemilik sebidang tanah adalah Pihak yang namanya tercantum dalam Sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang/harta/aset milik WNA / pihak lain”.

Baca Juga: Asas-Asas Dalam Hukum Waris Islam

Dihubungkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata tentang 4 Syarat Sahnya Perjanjian yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu; dan

4) Suatu sebab yang halal.

Dalam Perjanjian Nominee tidak memenuhi syarat “suatu sebab yang halal” karena Perjanjian Nominee merupakan perjanjian penyelundupan hukum. Dikatakan sebagai penyelundupan hukum karena dalam hukum perjanjian Indonesia tidak ada pengaturan secara tegas mengenai perjanjian tersebut sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian atau keadaan kekosongan norma. 

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPA hanya Warga Negara Indonesia yang memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia, namun dalam perjanjian Nominee terdapat unsur melanggar aturan tersebut. Dalam Pasal 42 UUPA menyatakan bahwa WNA hanya boleh mempunyai tanah dan/atau bangunan yang berstatus hak pakai, dengan syarat WNA tersebut haruslah berkedudukan di Indonesia.

Walaupun dalam perjanjian memiliki asas bebas berkontrak namun perjanjian yang dilakukan oleh kedua pihak tidak boleh menyimpangi atau melawan hukum yang berlaku.

Akibat Hukum Perjanjian Nominee

Sebab dibuatnya perjanjian ini adalah untuk melakukan hal yang dilarang oleh undang-undang, yaitu WNA menguasai dan mempunyai tanah hak milik. Dengan demikian, karena perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum (menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat) dan kemudian tanah dan/atau bangunan yang diperjanjikan akan jatuh kepada negara.

Jadi, dapat dipahami dari penjelasan diatas bahwa yang mendasari Perjanjian Nominee dalam perkara ini adalah penyelundupan hukum. Secara tidak langsung perjanjian tersebut bertujuan untuk memindahkan hak milik atas tanah tersebut kepada warga negara asing. 

Sehingga, menghindari ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan Pasal 21 Ayat (1) UUPA yang secara jelas telah menyatakan bahwa Warga Negara Asing tidak dapat menguasai tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan hak milik, karena hanya warga negara Indonesia yang dapat menguasai tanah dengan status hak milik.

Perjanjian Nominee yang digunakan oleh warga negara asing untuk memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia dinyatakan batal demi hukum. 

Berakibat batal demi hukum disebabkan karena tujuan dari perjanjian ini untuk menyelundupkan hukum, sehingga bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu pada unsur “suatu sebab yang halal”.

Sobat Selaras yang membaca artikel ini semoga bukan salah satu pihak yang ikut serta dalam Perjanjian Nominee ini yahhh, untuk penjelasan lebih detail sobat Selaras bisa loh mengakses artikel lain maupun menghubungi tim kami untuk konsultasi lebih detailnya!

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2020.

Diskusi Hukum. 2022, 1 Februari. Perjanjian Pinjam Nama dalam Kepemilikan Tanah. Youtube.https://www.youtube.com/watch?v=2mnpYXMdO3A&t=70s&ab_channel=DiskusiHukum.

Sumber Gambar: 

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H. 

]]>
Pendaftaran Sertipikat Tanah Elektronik https://selaraslawfirm.com/pendaftaran-sertipikat-tanah-elektronik/ Wed, 28 Dec 2022 09:44:23 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1494 Oleh: M Ilham Akbar Lemmy, S.H.

Hallo Sobat Selaras Law Firm

Sekarang ini memang merupakan dunianya era digital 4.0.Semua hal yang berhubungan dengan bisnis beralih ke dunia digital. Semua bukti transaksi yang biasanya berbentuk fisik yang tertuang di atas kertas kini berubah menjadi file digital yang bisa dibawa kemana saja dan di mana saja.

Kepraktisan dalam menyimpan dokumen adalah hal yang paling utama di era digital ini.Sehingga anda tidak perlu lagi membeli brankas khusus untuk menyimpan tumpukan dokumen-dokumen penting atau menyewa sebuah Safe Deposit Box (SDB) untuk mengamankan dokumen-dokumen penting milik anda.

Baca Juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Tidak Harus Ke Pengadilan, Ada Cara Lain!

Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (“Kementerian ATR/BPN”) membuat sebuah kebijakan baru sebuah Peraturan Menteri (PerMen) Nomor 1 Tahun 2021 yang mengatur tentang Sertipikat Tanah Elektronik.

Yukk kita simak lebih lanjut dibawah ini mengenai sertipikat tanah elektronik!!

Mekanisme Pendaftaran Sertipikat Tanah Elektronik

Permen ATR/BPN 1/2021 mengatur bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah yang meliputi pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah dapat dilakukan secara elektronik yang nantinya akan digabungkan ke dalam sebuah sistem atau markah.

Sama seperti sertifikat fisik, sertifikat elektronik memiliki ciri-ciri tersendiri, seperti:

  1. Pada bagian sudut kiri atas, terdapat logo Kementerian ATR/BPN.
  2. Pada bagian tengah atas, terdapat lambang negara berupa Burung Garuda.
  3. Pada bagian kanan atas, terdapat QR Code atau Barcode untuk mengidentifikasi Nomor Identifikasi Bidang (NIB) dan kode unik atau hash code sertifikat properti elektronik.
  4. Terdapat nama pemilik tanah dan properti.
  5. Terdapat gambar bidang tanah atau properti yang dimiliki. 
  6. Terdapat tanda tangan elektronik dari pejabat berwenang sebagai tanda pengesahan sertifikat tanah elektronik.
  7. Pola dasar sertifikat elektronik yang bergaris halus bergelombang.
  8. Terdapat logo ATR/BPN sebagai background dari sertifikat properti elektronik.
  9. Lambang BSrE sebagai penyedia Tanda Tangan Elektronik pada kanan bawah sertifikat elektronik.

Dalam pasal 6 Permen ATR/BPN No.1 Tahun 2021 dijelaskan bahwa Penerbitan Sertifikat Elektronik untuk pertama kali dilakukan melalui pendaftaran tanah pertama kali untuk tanah yang belum terdaftar pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau penggantian sertipikat menjadi Sertifikat Elektronik untuk tanah yang sudah terdaftar.

Kegiatan ini dilaksanakan melalui sistem elektronik yang meliputi:

1. Pengumpulan dan Pengolahan Data Fisik

Hasil dari pengumpulan dan pengolahan data fisik ini terdiri atas:

  • Gambar ukur;
  • Peta bidang tanah atau peta ruang;
  • Surat ukur, gambar denah satuan rumah susun atau surat ukur ruang; dan/atau
  • Dokumen lainnya, yang merupakan hasil pengumpulan dan pengolahan data fisik. Hal tersebut sesuai ketentuan pasal 8 Permen ATR/BPN No.1 Tahun 2021.

Setiap bidang tanah yang sudah ditetapkan batas-batasnya baik apakah dalam pendaftaran tanah secara sistematik lengkap maupun pendaftaran tanah secara sendiri oleh pemilik tanah. 

Maka diberikan nomor identifikasi bidang tanah, yang merupakan nomor referensi yang digunakan dalam setiap tahap kegiatan pendaftaran tanah. 

Dalam Pasal 9 ayat (2) Permen ATR/BPN NO.1 Tahun 2021 menjelaskan  bahwa nomor identifikasi bidang tanah terdiri dari 14 digit, yaitu:

  • 2 digit pertama merupakan kode Provinsi;
  • 2 digit berikutnya merupakan kode Kabupaten/Kota;
  • 9 digit berikutnya merupakan nomor bidang tanah; dan
  • 1 digit terakhir merupakan kode bidang tanah di permukaan, di ruang atas tanah, di ruang bawah tanah, satuan rumah susun atau hak di atas hak bidang permukaan, hak di atas ruang atas tanah dan hak di atas ruang bawah tanah.
2. Pembuktian Hak Dan Pembukuannya

Pada Pasal 10 ayat (1) Permen ATR/BPN No.1 Tahun 2021 dikatakan bahwa pembuktian hak dilakukan berdasarkan alat bukti tertulis mengenai kepemilikan tanah berupa alat bukti untuk pendaftaran hak baru dan pendaftaran hak-hak lama.

Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah.Kemudian pada ayat (2) dijelaskan Alat bukti tertulis sebagaimana dimaksud diatas dapat berupa:

  • Dokumen elektronik yang diterbitkan melalui sistem elektronik; dan/atau
  • Dokumen yang dilakukan alih media dari dokumen analog (kertas) menjadi dokumen elektronik.
3. Penyajian Data Fisik Dan Data Yuridis

Hasil kegiatan pengumpulan dan penelitian data yuridis berupa dokumen elektronik seperti yang dijelaskan dalam pasal 11 Permen ATR/BPN No.1 Tahun 2021 terdiri atas:

  • risalah penelitian data yuridis dan penetapan batas, Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah A, Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah B, Risalah Pemeriksaan Tanah Tim Peneliti, Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Rapport);
  • pengumuman daftar data yuridis dan data fisik bidang tanah;
  • berita acara pengesahan data fisik dan data yuridis;
  • keputusan penetapan hak; dan/atau dokumen lainnya, yang merupakan hasil pengumpulan dan penelitian data yuridis.
4. Penerbitan Sertipikat

Pasal 12 Permen ATR/BPN No.1 tahun 2021 menjelaskan bahwa:

“Tanah yang sudah ditetapkan haknya menjadi hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan atau tanah wakaf, didaftar melalui sistem elektronik dan diterbitkan sertipikat elektronik. Sertipikat elektronik tersebut dan akses atas sertipikat elektronik pada sistem elektronik diberikan kepada pemegang hak/nazhir sebagai tanda bukti kepemilikan hak”.

Patut diperhatikan, pada pasal 13 ayat (1) Permen ATR/BPN No.1 Tahun 2021 dijelaskan sertipikat Elektronik dan akses sebagaimana dimaksud di atas tidak diberikan kepada pemegang hak/nazhir apabila data fisik atau data yuridis tidak lengkap atau masih disengketakan dalam mencegah atau meminimalisir konflik di kemudian hari.

5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen

Setelah status tanah si pendaftar tanah sudah terdaftar secara elektronik maka sertipikat elektronik akan disimpan pada Pangkalan Data Sistem Elektronik yang merupakan kumpulan data yang disusun secara sistematis dan terintegrasi.

Baca Juga: Jenis-Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Demikian pembahasan terkait “Pendaftaran Sertipikat Tanah Elektronik” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi atau membutuhkan pendampingan hukum bisa langsung saja hubungi kami. 

Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!

Sumber: 

Peraturan Menteri Atr/Bpn Tahun 2021 Tentang Sertipikat Elektronik.

Sumber Gambar:

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
Restorative Justice Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan https://selaraslawfirm.com/restorative-justice-dalam-menyelesaikan-tindak-pidana-ringan/ Mon, 26 Dec 2022 11:31:33 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1478 Oleh: M Ilham Akbar Lemmy, S.H.

Hallo Sobat Selaras Law Firm

Dalam dinamika perkembangan hukum pidana saat ini, pemerintah melakukan berbagai pendekatan dalam menyelesaikan suatu masalah/perkara dengan tujuan terciptanya suatu keadilan bagi para pihak melalui Restorative Justice. 

Baca Juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Tidak Harus Ke Pengadilan, Ada Cara Lain!

Pendekatan tersebut masuk kedalam bagian tindakan preventif/ pencegahan dalam menekan  jumlah tindak pidana.

Agar Sobat Selaras lebih paham, yuk kita simak pembahasan dibawah ini mengenai restorative justice!

Definisi Restorative Justice

Menurut pendapat Umbreit menjelaskan bahwa restorative justice adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan pada korban yang mengijinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan menggunakan restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berperkara.

Sedangkan menurut kriminolog Adrianus Meliala, model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. 

Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).

Baca Juga: Jenis-Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata.

Prinsip dasar keadilan restorative (restorative justice) adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. 

Restorative justice dapat digunakan terhadap anak atau perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahgunaan narkotika.

Syarat-Syarat Melakukan Restorative Justice

Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, syarat dalam melakukan restorative justice, yaitu:

  1. Tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan
  2. Kerugian dibawah Rp 2,5 juta
  3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban
  4. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau dianca, dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun
  5. Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban
  6. Tersangka mengganti kerugian korban
  7. Tersangka mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana

Tetapi terdapat pengecualian dalam penerapan restorative justice pada keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Dasar Hukum Pelaksanaan Restorative Justice 

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 205;
  3. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
  4. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP06/E/EJP/10/2013, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice);
  5. Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301/DJU/HK01/3/2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan; dan
  6. SK Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.

Pada pokoknya dapat diterapkan untuk pengenaan Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), yang bukan merupakan tindak pidana pengulangan

Demikian pembahasan terkait “Restorative Justice Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi atau membutuhkan pendampingan hukum bisa langsung saja hubungi kami. 

Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!

Sumber: 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP06/E/EJP/10/2013, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif.

Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301/DJU/HK01/3/2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan.

SK Dirjen Badilum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.

Sumber Gambar:

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
Asas-Asas Dalam Hukum Waris Islam https://selaraslawfirm.com/asas-asas-dalam-hukum-waris-islam/ Wed, 21 Dec 2022 11:36:58 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1475 Oleh: M Ilham Akbar Lemmy, S.H.

Hallo Sobat Selaras Law Firm

Asas menjadi nilai asbtrak yang terkandung didalam sebuah aturan hukum, misalnya di dalam Undang-Undang selalu terkandung asas di dalamnya.

Posisi asas hukum sebagai meta norma hukum pada dasarnya memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental bagi keberadaan suatu norma hukum. Bahkan banyak ahli menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantung atau hatinya norma hukum (peraturan hukum).

Agar Sobat Selaras lebih paham, yuk kita simak pembahasan dibawah ini mengenai asas-asas dalam hukum waris Islam.

Baca Juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Tidak Harus Ke Pengadilan, Ada Cara Lain!

Definisi Asas Dan Asas Hukum

Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan berpikir yang sangat mendasar, Menurut A.W. Munawir menyatakan asas berarti permulaan bangunan, “muftadau kullu saiin” (setiap permulaan sesuatu), al-qaaid dan diartikan sebagai pangkal, dasar, fundamen, pondasi.

Jika kata asas dihubungkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakkan dan pelaksanaan hukum.

Paul Scholten dalam J.J.H. Bruggink, menguraikan asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan, perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang sesuai dengan ketentuan dan keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.

Asas-Asas Dalam Hukum Waris Islam

Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang berkaitan dengan peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima kadar jumlah harta dan waktu terjadinya peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu:

1. Asas Ijbari

Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya. dan asas ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:

  • Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya dibatasi oleh ketentuan yang ditetapkan oleh Allah.
  • Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-sapa kecuali oleh Allah.
  • Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat dari kata “mafrudan” secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan.
  • Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta, dan mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti.

2. Asas Bilateral

Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. 

Untuk lebih jelasnya asas bilateral ini dapat dilihat dalam surah an-Nisa ayat 7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan dikemukakan bahwa seorang laki-laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya.

3. Asas Individual

Asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagiannya. 

4. Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan.

5. Kewarisan Akibat Kematian

Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan demikian, waris tidak dapat beralih apabila belum terjadinya kematian. 

Baca Juga: Jenis-Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata.

Kelima asas diatas merupakan asas yang terkandung dan juga berlaku terhadap penerapan hukum kewarisan Islam.

Demikian pembahasan terkait “Asas-Asas Dalam Hukum Waris Islam” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi atau membutuhkan pendampingan hukum bisa langsung saja hubungi kami. 

Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!

Sumber: 

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Sumber Gambar:

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
Hukum Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam https://selaraslawfirm.com/hukum-waris-menurut-kompilasi-hukum-islam/ https://selaraslawfirm.com/hukum-waris-menurut-kompilasi-hukum-islam/#respond Tue, 20 Dec 2022 11:07:35 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1465 Oleh: M Ilham Akbar Lemmy, S.H.

Hallo Sobat Selaras Law Firm

Sebelumnya kita sudah membahas mengenai hukum waris menurut hukum perdata yang umumnya digunakan oleh yang bukan beragama Islam, nah sekarang ini kita akan membahas mengenai hukum waris Islam berdasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

Penasaran yaaa? Yuk langsung simak pembahasan dibawah!

Definisi Waris Islam

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) kata waris berarti Orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. 

Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya dan juga berbagai perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Adapun definisi hukum kewarisan menurut KHI dimana sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).

Baca Juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Tidak Harus Ke Pengadilan, Ada Cara Lain!

Syarat-Syarat Waris Islam

Syarat-syarat waris haruslah terpenuhi pada saat pembagian harta warisan, tidak jauh berbeda dengan syarat waris dalam perspektif hukum perdata, ada tiga syarat yaitu: 

1. Mawaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah mawaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian seorang mawaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:

  • Mati Haqiqy, adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
  • Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis), adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis mawaris dinyatakan sudah meninggal.
  • Mati Taqdiry (mati menurut dugaan), adalah sebuah kematian (mawaris) berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.

2. Waris (Ahli Waris), Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. 

Syaratnya adalah pada saat meninggalnya mawaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup, bahkan bayi yang masih di dalam kandungan.

Menurut pasal 172 KHI yang disebut ahli waris “ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu identitas, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,agamanya menurut ayahnya atau lingkungannya.

Kemudian menurut Pasal 173 Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

  • Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris.
  • Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

3. Al –Mauruts, Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan. Baik berupa harta atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.

Baca Juga: Jenis-Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Golongan Dan Besarnya Bagian Ahli Waris

Dalam waris islam terdapat beberapa golongan yang perlu sobat ketahui, yaitu:

1. Pada lak-laki terdapat sepuluh kalangan, yaitu:

  • Anak laki-laki
  • Cucu laki-laki dari anak laki-laki
  • Ayah
  • Kakek dan terus ke atas
  • Saudara laki-laki sekandung
  • Saudara laki-laki dari ayah
  • Paman
  • Anak laki-laki
  • Suami
  • Tuan laki-laki yang memerdekakan budak.

2. Pada perempua terdapat tujuh kalangan, yaitu:

  • Anak perempuan
  • Anak perempuan dari anak laki-laki
  • Ibu
  • Nenek
  • Saudara perempuan
  • Istri
  • Tuan wanita yang memerdekakan budak

3. Terdapat lima ahli waris yang yang tidak pernah gugur mendapatkan mendapatkan hak waris, yaitu:

  • Suami
  • Istri
  • Ibu
  • Ayah
  • Anak yang langsung dari pewaris

Mengenai besarnya bagian dalam Pasal 176 KHI dijelaskan bahwa:

“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”

Pada Pasal 177 KHI mengenai bagian yang didapat ayah yaitu:

“Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.”

Pada Pasal 178 KHI menyebutkan:

  1. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih.  Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. 
  2. Ibu  mendapat  sepertiga  bagian  dari  sisa  sesudah  diambil  oleh  janda  atau  duda  bila  bersama-sama dengan ayah.

Sehingga antara hukum waris Islam dengan hukum waris umum mengalami perbedaan, mulai dari perbedaan sumber hukum nya yang mana waris perdata bersumber dari HKI sementara waris umum bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tentu saja menyebabkan perdedaan bagian yang didapat.

Kita ambil contoh jika dalam waris Islam yang mana ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan terdapat perbedaan status dan kewajiban, sedangkan hukum waris menurut KUHPerdata memiliki nilai keadilan yang lebih menekankan persamaan secara absolut antara sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Demikian pembahasan terkait “Hukum Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi atau membutuhkan pendampingan hukum bisa langsung saja hubungi kami. 

Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!

Sumber: 

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Sumber Gambar: 

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/hukum-waris-menurut-kompilasi-hukum-islam/feed/ 0
Hukum Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam https://selaraslawfirm.com/hukum-waris-menurut-kompilasi-hukum-islam-2/ https://selaraslawfirm.com/hukum-waris-menurut-kompilasi-hukum-islam-2/#comments Tue, 20 Dec 2022 11:02:40 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1463 https://selaraslawfirm.com/hukum-waris-menurut-kompilasi-hukum-islam-2/feed/ 1 Waris Menurut Hukum Perdata https://selaraslawfirm.com/waris-menurut-hukum-perdata/ https://selaraslawfirm.com/waris-menurut-hukum-perdata/#respond Mon, 19 Dec 2022 10:17:40 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1460 Oleh: M Ilham Akbar Lemmy, S.H.

Hallo Sobat Selaras Law Firm

Kembali lagi dengan kami yang akan selalu memberikan informasi edukasi hukum, kali ini kita akan membahas mengenai waris menurut hukum perdata. 

Di Indonesia sendiri terdapat tiga jenis waris yang digunakan dalam pembagian harta warisan, yaitu: 

  1. Hukum Waris Perdata yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) dan umumnya digunakan oleh orang yang beragama non muslim.
  2. Hukum Waris Islam yang bersumber dari Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang digunakan oleh orang beragama islam.
  3. Hukum Waris Adat yang bersumber dari hukum adat dimana biasanya berlaku.

Penasaran yaaa? Yuk simak pembahasan dibawah!

Definisi Waris

Tentu kita tidak asing dengan kata “Waris”, menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Hukum Warisan di Indonesia menerangkan bahwa warisan adalah perihal apakah dan bagaimana hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Sementara hukum waris di definisikan sebagai sekumpulan aturan yang mengatur tentang bagaimana hak dan kewajiban orang yang meninggal dunia dan kemudian akan beralih kepada ahli waris yang masih hidup.

Baca Juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Tidak Harus Ke Pengadilan, Ada Cara Lain!

 KUHPerdata di pasal manapun tidak menjelaskan definisi tentang waris, namun di pasal 830 KUHPerdata menyatakan bahwa “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”, jadi dapat diartikan bahwa harta warisan belum dapat diwarisi apabila pewaris belum meninggal dan ahli waris harus masih hidup saat harta warisan tersebut sudah terbuka/dapat diwarisi (Pasal 836 KUHPerdata).

Unsur-Unsur Waris Menurut KUHPerdata

Di dalam hukum kewarisan KUHPerdata memiliki 3 unsur yaitu:

1. Pewaris (eflater)

Merujuk Pasal 830 KUHPerdata banyak kalangan menyebutkan bahwa pewaris yaitu setiap orang yang sudah meninggal dunia. Karena hukum waris tidak akan dipersoalkan kalau orang yang telah meninggal dunia tidak meninggalkan harta benda.

Maka unsur-unsur yang mutlak harus dipenuhi untuk layak disebut pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.

2. Ahli Waris (erfgenaam

Ahli waris (erfgenaam) adalah semua orang yang berhak menerima warisan, ahli waris dibagi menjadi dua yaitu: 

  • Ahli waris yang ditentukan oleh Undang-Undang

Ahli waris ini diatur didalam (Pasal 832 KUHPerdata) menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar nikah, suami atau isteri yang hidup terlama.

  • Ahli waris yang ditentukan oleh wasiat

Ahli waris menurut wasiat adalah ahli waris yang menerima warisan karena adanya wasiat (testamen) dari pewaris kepada ahli waris yang dituangkannya dalan surat wasiat.

Dalam (Pasal 875 KUHPerdata) dijelaskan surat wasiat (testamen) adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dicabut kembali

3. Warisan (Nalatenschap)

yang dimaksud warisan adalah harta kekayaan (vermogen) berupa aktiva atau passive atau hak-hak dan kewajiban yang bernilai uang yang akan beralih dari pewaris yang telah wafat kepada para waris pria atau wanita.

Baca Juga: Jenis-Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Golongan Ahli Waris

Didalam KUHPerdata mengenal 4 golongan ahli waris yang berhak atas harta warisan, dengan pengertian bahwa apabila ada golongan-golongan yang lain tidak berhak mendapatankan harta warisan.

Perlu diketahui apabila golongan ke-I tidak ada maka golongan ke-2 saja yang berhak mendapatkan harta warisan begitu seterusnya. Berikut 4 golongan ahli waris menurut KUHPerdata, yaitu:

  1. Golongan I, adapun ahli waris yang termasuk pada golongan pertama adalah suami atau istri serta anak-anak dan keturunannya
  2. Golongan II, adapun yang termasuk pada golongan kedua ini adalah orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan saudara-saudaranya, Pembagian antara ahli waris golongan kedua ini diatur dalam Pasal 854, 855, 856, 857 dan 859 KUHPerdata
  3. Golongan III, adapun ahli waris yang termasuk dalam golongan III adalah keluarga sedarah dalam garis lurus keatas sesudah orang tua dari pihak ayah maupun ibu (Pasal 853 KUHPerdata)
  4. Golongan IV, adapun ahli waris yang termasuk dalam golongan IV adalah keluarga garis kesamping sampai derajat keenam

Demikian pembahasan terkait “Waris Menurut Hukum Perdata” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi atau membutuhkan pendampingan hukum bisa langsung saja hubungi kami. 

Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!

Sumber: 

Undang-Undang Nomor 23 tahun 184Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Sumber Gambar: 

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H. 

]]>
https://selaraslawfirm.com/waris-menurut-hukum-perdata/feed/ 0
Screen Capture sebagai Alat Bukti Elektronik https://selaraslawfirm.com/screen-capture-sebagai-alat-bukti-elektronik/ https://selaraslawfirm.com/screen-capture-sebagai-alat-bukti-elektronik/#comments Sat, 17 Dec 2022 10:16:55 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1457 Oleh: Adib Gusti Arigoh

Halo sobat Selaras!

Di era digitalisasi seperti sekarang perlahan semuanya akan menggunakan teknologi berbasis elektronik untuk menjalankan aktivitasnya. Begitupun di bidang hukum. Telah banyak muncul berbagai inovasi seperti persidangan dalam jaringan (Daring) yang tak mengharuskan para pihak hadir di satu tempat. 

Lantas apakah sistem peradilan di Indonesia juga menginovasi ketentuan-ketentuan yang berkaitan persidangan lainnya? 

Bagaimana kedudukan alat bukti berbasis elektronik seperti Screen Capture dalam proses pembuktian di zaman sekarang? 

Yuk mari kita bahas!

Pengertian Alat Bukti

Alat bukti diartikan sebagai hal atau suatu benda yang digunakan dalam pembuktian dalam suatu perkara. Dengan kata lain, alat bukti adalah alat yang digunakan dari hak-pihak yang berpekara untuk meyakinkan hakim di persidangan. Nah, alat bukti ini menjadi indikator yang digunakan hakim dalam memutus perkara.

Berbicara soal Screen Capture termasuk kedalam alat bukti elektronik. Lalu mengapa Screen Capture dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik?

Pengertian Screen Capture  

Secara sederhana Screen Capture atau tangkapan layar merupakan hasil tangkapan pada layar media elektronik seperti gawai, komputer ataupun telivisi. Hasil tangkapan layar tersebut berupa gambar yang tersimpan dalam dokumen media elektronik. 

Dari sudut pandang hukum, Screen Capture dikategorikan sebagai informasi elektronik karena ia termasuk gambar yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.  

Hal tersebut telah memasuki rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Elektronik  (“UU ITE Perubahan Pertama”) yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah:

“1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Hasil dari Screen Capture yang berupa gambar tersebut disimpan dalam media elektronik dalam bentuk dokumen elektronik. 

Hal ini bermakna bahwa hasil informasi elektronik (Screen capture) akan otomatis tersimpan dalam dokumen elektronik sebagaimana yang dijelaskan dalam Ditinjau dari rumusan Pasal 1 angka 4 UU ITE Perubahan Pertama mengartikan dokumen elektronik sebagai berikut:

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau SIstem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, perta, rancangan, foto atau sejenisnya, hurf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Screen Capture sebagai Alat Bukti Elektronik

Telah diketahui bahwasanya Screen Capture termasuk ke dalam informasi elektronik yang disimpan kedalam dokumen elektronik. Maka dari itu, Screen Capture dikategorikan sebagai alat bukti elektronik yang sah.

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang berbunyi:

“(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.”

Namun perlu digaris bawahi, selain tergolong informasi dan/atau dokumen elektronik,  bahwasanya terdapat beberapa ketentuan yang wajib dipenuhi agar Screen Capture dapat dijadikan alat bukti elektronik yang sah, apa saja itu?

Ketentuan Alat Bukti Elektronik Yang Aah

> Berasal Sistem Elektronik yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan

Hal ini bermakna bahwa bukti elektronik diperoleh dengan cara yang sah sesuai dengan hukum (Lihat Pasal 5 ayat (3) UU ITE).

Seperti halnya tidak dengan cara yang melanggar melawan hukum, sebagai contoh adalah intersepsi atau penyadapan (Kecuali dipinta oleh aparat penegak hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 31 UU ITE).

> Kecuali Undang-Undang Menentukan lain.

Suatu informasi elektronik dan.atau dokumen elektronik tidak dapat digunakan sebagai alat bukti elektronik yang sah apabila:

  • Dalam bentuk surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis (Lihat Pasal 5 ayat (4) huruf a UU ITE).
  • Dokumen berserta surat yang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau pejabat pembuat akta seperti surat tanah dan akta diatas tangan lainnya. (Lihat Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE). 
  • Dapat diakses, ditampilkan, dijamin keaslian serta keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan (Lihat Pasal 6 UU ITE).

Berikut penjelasan mengenai Screen Capture sebagai alat bukti elektronik. Artikel hukum menarik lainya dapat kalian kunjungi website kami di Selaras Law Firm. We do things professionally!

Sumber:

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Elektronik.

Subekti, 1978,  Hukum Pembuktian, Pradayna Paramitha, Jakarta.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H. 

]]>
https://selaraslawfirm.com/screen-capture-sebagai-alat-bukti-elektronik/feed/ 1