Oleh: Adib Gusti Arigoh
Halo Sobat Selaras!
Pembuktian dalam perkara perdata memiliki karakteristik tersendiri, terutama pada alat buktinya. Alat bukti tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), tepatnya pada buku keempat tentang pembuktian dan kedaluarsa.
Lalu, bagaimana pembuktian dalam perkara perdata? Yuk, mari kita bahas!
Baca juga: Delik Aduan Relatif Dan Delik Aduan Absolut.
1. Pembuktian
Dalam perkara perdata, KUHPer tidak memberikan pengertian tersurat terhadap pembuktian, namun hanya menjelaskan beban pembuktian dan alat bukti yang digunakan dalam pembuktian di persidangan.
Pembuktian adalah proses, cara, usaha yang menunjukan benar atau salahnya suatu hal. Menurut R.Subekti, pembuktian diartikan sebagai cara meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara.
Dalam hal beban pembuktian pada umumnya kedua belah pihak yang berperkara yakni tergugat dan penggugat berada dalam keadaan yang sama. Hal ini berarti penggugat mempunyai hak untuk mendalilkan sesuatu bahwa tergugat bersalah, dan tergugat juga mempunyai hak untuk membantah dalil tersebut. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 1865 KUHPer.
Dalam membuktikan sesuatu kepada hakim, para penggugat harus mendasarkan pada alat bukti. Lalu apa itu alat bukti?
2. Alat Bukti
Alat bukti diartikan sebagai hal atau suatu benda yang digunakan dalam pembuktian dalam suatu perkara. Dengan kata lain, alat bukti adalah alat yang digunakan dari hak-pihak yang berpekara untuk meyakinkan hakim di persidangan. Nah, alat bukti ini menjadi indikator yang digunakan hakim dalam memutus perkara.
DalamPasals 1866 KUHPer, pembuktian perkara perdata terdapat 5 alat yang ditetapkan sebagai alat bukti yakni.
a. Bukti Tertulis
Bukti tertulis atau surat secara keseluruhan pengaturannya terdapat dalam Pasal 1867-1894 KUHper merupakan alat bukti yang utama dalam perkara perdata, karena sarana yang paling memudahkan untuk membuktikan telah terjadinya perbuatan hukum keperdataan adalah melalui bukti secara tertulis.
Menurut Pasal 1867 KUHPer, dalam hal pembuktian perkara perdata, bukti tertulis yang dapat digunakan terbagi menjadi dua, yakni:
- Akta otentik
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan baku (undang-undang). Akta otentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang seperti Notaris, Pegawai Catatan Sipil, dan Pegawai Pencatat Nikah. Contoh dari Akta otentik adalah sertipikat tanah, akta kelahiran. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHper yang berbunyi:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejaat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu di dibuat.”
- Akta dibawah tangan
Sebaliknya, akta dibawah tangan adalah akta yang tidak dibuat berdasarkan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam pembuatannya hanya dihadapan para pihak terkait disertai tanda tangan tanpa perantara pejabat yang berwenang. Contoh akta dibawah tangan adalah kwitansi pembayaran.
Hal ini disebutkan dalam paragraf pertama Pasal 1874 KUHPer yang berbunyi:
“Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seeorang pejabat umum.”
b. Bukti Saksi
Bukti saksi adalah kesaksian. Kesaksian diartikan sebagai keterangan atau pernyataan yang diberikan oleh saksi, Pada umumnya, saksi terbagi menjadi dua, yakni:
- Saksi biasa
Yakni saksi yang memberi keterangan berdasarkan apa yang ia lihat, dengar dan alami sendiri.
- Saksi ahli
Yakni saksi yang memberi keterangan berdasarkan dengan keahlian yang ia miliki.
Dalam perkara perdata, terdapat ketentuan yang melarang saksi yang mempunyai hubungan keluarga, tidak cakap dan/atau lemah pikiran
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 145 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) angka 1- 4, Pasal 172 Reglement voor de Buitengewesten (“Rbg”) dan Pasal 1909 KUHPer.
c. Persangkaan
Persangkaan adalah dugaan, perkiraan, taksiran yang berujung kepada kesimpulan akan suatu hal. Berdasarkan Pasal 1915 KUHPer terdapat dua jenis persangkaan, yakni:
- Persangkaan yang berdasarkan undang-undang
Diatur dalam Pasal 1916 KUHPer. Pada intinya adalah persangkaan yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu berdasarkan peristiwa yang umum ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal sehingga mendapatkan suatu kesimpulan. Dengan kata lain, persangkaan tersebut disimpulkan oleh undang-undang.
- Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang
Diatur dalam Pasal 1922 KUHPer yang pada substansinya menyebutkan bahwa dalam persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim dengan berlandaskan kenyataan (feitelijk vermoeden).
d. Pengakuan
Pengakuan adalah perbuatan seseorang untuk mengakui kebenaran akan sesuatu hal. Berdasarkan Pasal 1923 KUHPer Pengakuan terbagi menjadi dua, yakni:
- Pengakuan di hadapan hakim
Pengakuan yang diberikan oleh para pihak yang terlibat dalam perkara atau orang yang diberi kewenangan khusus untuk itu. Menurut Pasal 1925 KUHPer, Kedudukan pengakuan di hadapan hakim adalah alat bukti kuat hakim karena bersifat sempurna.
- Pengakuan di luar persidangan
Sebenarnya pengakuan lisan yang diberikan diluar persidangan tidak dapat digunakan untuk pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1927 KUHPer, namun hal tersebut dapat dilakukan apabila dalam hal pembuktian dengan saksi-saksi yang diizinkan.
e. Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan bersaksi kepada Tuhan untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya. Dalam persidangan, sumpah harus diucapkan di hadapan hakim. Menurut Pasal 1929 KUHPer, ada dua macam sumpah di hadapan hakim, yakni:
- Sumpah pemutus
Adalah sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara
- Sumpah yang diperintahkan oleh hakim
Maksudnya adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim kepada seseorang yang mempunyai kedudukan terkait perkara. Contoh: Debitur dalam perkara utang-piutang.
Berikut adalah penjelasan singkat terkait pembuktian dalam perkara perdata. Untuk artikel hukum menarik lainnya, kalian bisa kunjungi Website kami di Selaras Law Firm. We do things professionally!
Sumber:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1847 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1848 Tentang Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui. (Herzien Inlandsch Reglement).
Undang-Undang Nomor 227 Tahun 1927 Tentang Hukum Daerah Di Luar Jawa dan Madura (Reglement voor de Buitengewesten).
Subekti, 1978, Hukum Pembuktian, Pradayna Paramitha, Jakarta.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.