Oleh: Adib Gusti Arigoh
Halo Sobat Selaras!
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti melakukan hubungan hukum, seperti jual-beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Sebagai contoh dalam hal jual-beli, orang akan melakukan kesepakatan terlebih dahulu sebelum melakukan transaksi, terkait harga dan tempat melakukan transaksi tergantung keinginan dari kedua bela pihak.
Nah, berapa nominal harga, tempat transaksi diatas dibebaskan kepada pihak terkait untuk menentukannya, ini adalah contoh dari kebebasan berkontrak dalam hal transaksi. Namun, apakah dapat bebas sebebas-bebasnya? apakah ada batasan yang ditetapkan oleh undang-undang? Yuk, kita bahas!
Baca Juga: Status Anak Hasil Married By Accident.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak berarti setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perikatan atau perjanjian. Perikatan atau perjanjian yang dimaksud harus dibuat secara sah dan beritikad baik, serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Perikatan sendiri telah diatur dalam buku ketiga tentang Perikatan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang bersifat terbuka, sehingga selagi tidak bertentangan dengan aturan, setiap orang dibebaskan dalam melakukan perikatan atau perjanjian dengan siapapun, menentukan isi dan syaratnya, tata cara pelaksanaanya.
Asas Kebebasan Berkontrak dapat ditemukan dalam Pasal 1338 KUHPer yang berbunyi:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Jadi, dapat dilihat bahwa asas untuk bebas berkontrak ini tidak boleh diartikan bebas sebebas-bebasnya, dengan kata lain, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.
Oleh karena itu maka syarat sah dari perjanjian harus terpenuhi serta dalam pelaksanaannya wajib dilandaskan dengan itikad baik
Terkait syarat sah perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUHPer yang menyebutkan bahwa:
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;”
- Kesepakatan mereka yang mengikat yang mengikatkan dirinya
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- Suatu pokok persoalan tertentu
- Suatu sebab yang tidak dilarang
Syarat pada angka 1 dan 2 pada Pasal A quo disebut syarat subjektif, sedangkan pada angka 3 dan 4 disebut syarat objektif. Kedua syarat tersebut memiliki akibat hukum jika tidak terpenuhi.
Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Namun, apabila tidak memenuhi syarat objektif maka perjanjian batal demi hukum, dengan kata lain dianggap tidak pernah terjadi.
Lalu, terkait Itikad baik disini bermakna bahwa isi dari perjanjian tidaklah boleh merugikan salah satu pihak, serta tidak ada cacat kehendak (Wilsgebreken). Cacat kehendak adalah keadaan dimana terjadi ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan pihak yang terkait dari perjanjian. Contoh dari cacat kehendak adalah paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), dan penipuan (bedrog).
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 1321 KUHPer yang berbunyi:
“Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”
Paksaan (dwang) adalah keadaan dimana seseorang memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan hukum, dengan cara yang melawan hukum. Dalam hal terkait perjanjian, contohnya dapat berupa mengancam salah satu pihak untuk menandatangani kontrak dengan menodongkan senjata tajam.
Kekeliruan (dwaling) adalah keadaan dimana salah satu atau kedua bela pihak menduga telah terdapat kesesuaian (agar kehendak dan pernyataan ), namun sebenarnya kehendak tersebut adalah keliru (berbeda dari yang dikehendaki dan dinyatakan).
Penipuan (bedrog) adalah keadaan dimana salah satu pihak sengaja memalsukan atau menipu pihak lainnya, dengan tujuan menyesatkan pihak lain agar menyepakati isi perjanjian. Hal demikian dapat terjadi apabila suatu fakta dengan sengaja disembunyikan atau informasi diberikan secara keliru, atau dengan tipu daya lainnya.
Nah, sampai disini dapat disimpulkan bahwa terdapat batasan dalam Asas kebebasan Berkontrak. Kebebasan disini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya, tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada. Hal demikian bertujuan agar tidak ada pihak yang dirugikan diantara para pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian atau kontrak.
Tertarik untuk membaca artikel hukum akurat dan kredibel lainnya? kamu bisa mendapatkanya di website Selaras Law Firm. We do things professionally!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Harianto, Dedi. Asas Kebebasan Berkontrak: Problematika Penerapannya Dalam Kontrak Baku Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha. Vol.11 No.2.(2016).Hlm.145-156.
Sumriyah. Cacat Kehendak (Wilsgebreken) Sebagai Upaya Pembatalan Perjanjian Dalam Perspektif Hukum Perdata.Simposium Hukum Indonesia. Vol. 1 No.1 (2019).Hlm.663-670.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.