Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /home/slf/public_html/index.php:1) in /home/slf/public_html/wp-includes/feed-rss2.php on line 8
Artikel Hukum – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com Selaras Law Firm Sat, 18 Feb 2023 05:02:27 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.2 https://selaraslawfirm.com/wp-content/uploads/2021/11/cropped-icon-32x32.png Artikel Hukum – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com 32 32 Kompetensi Pengadilan dalam Menangani Perkara Perdata https://selaraslawfirm.com/kompetensi-pengadilan-dalam-menangani-perkara-perdata/ Mon, 13 Feb 2023 10:05:29 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1612 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Masing-masing lingkungan memiliki kewenangan mengadili tertentu (diversity jurisdiction)” 

–Anonim

Hal penting yang perlu diketahui jika ingin mengajukan gugatan maupun permohonan ke pengadilan yaitu kompetensi pengadilan dalam menangani perkara. Pengadilan memiliki batasan kewenangan dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Simak artikel berikut untuk lebih detailnya!

Kompetensi merupakan suatu kewenangan pengadilan dalam menangani suatu perkara. Pengadilan baru bisa memutus perkara jika sesuai dengan kompetensi atau kewenangannya. Apabila para pihak mengajukan ke Pengadilan yang tidak memiliki kompetensi untuk mengadili maka dapat dinyatakan “tidak dapat diterima”.

Baca Juga: Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee

Terdapat 2 (dua) jenis kompetensi pengadilan dalam mengadili perkara-perkara perdata, yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif.

Pengertian Kompetensi Absolut

Kompetensi Absolut merupakan kompetensi atau kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara yang didasarkan pada pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dengan melihat macam-macam pengadilan, dan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).

Ditinjau dari aspek kompetensi absolutnya, berdasar Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Pengertian Kompetensi Relatif

Kompetensi Relatif merupakan kewenangan pengadilan dalam mengadili suatu perkara didasarkan oleh tempat/lokasi/domisili maupun tempat tinggal para pihak (distributie van rechtsmacht) atau didasarkan pada letak objek sengketa berada, pada badan peradilan yang sama. Singkatnya, kewenangan pengadilan untuk menangani perkara sesuai dengan wilayah hukum (yurisdiksi) yang dimilikinya.

Landasan penentuan kompetensi relatif suatu peradilan merujuk kepada asas-asas berikut:

  • Actor Sequatur Forum Rei

Batas kewenangan relatif badan peradilan untuk memeriksa suatu sengketa perdata berdasar tempat tinggal tergugat, sehingga yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat.

Contohnya: A bersengketa dengan B dengan alasan B belum mengembalikan uang A. dikarenakan A berkeinginan menggugat B, maka A hanya dapat mengajukan gugatan di pengadilan tempat/lokasi/domisili dari si B sebagai Tergugat.

Baca Juga: Keabsahan dan Kepastian Hukum Perjanjian Pra-Nikah.

  • Actor sequatur Forum rei dengan hak opsi

Apabila pihak tergugat terdiri dari beberapa orang dan masing- masing bertempat tinggal di beberapa wilayah hukum Pengadilan Negeri yang berlainan maka hukum memberi hak kepada Penggugat untuk memilih salah satu diantara tempat tinggal para tergugat, dan penggugat dapat mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan (memudahkan baginya dalam pengajuan saksi).

  • Tempat Tinggal Penggugat

Pengecualian asas actor sequatur forum rei, yang mana gugatan boleh diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat dengan beberapa ketentuan:

  1. Tidak diketahui tempat tinggal tergugat,
  2. Tidak diketahui tempat tinggal (diam) sebenarnya.
  • Forum Rei Sitae

Dalam sengketa yang menyangkut barang tidak bergerak maka gugatan harus diajukan ke Pengadilan Negeri ditempat mana barang objek perkara diletakkan.

  • Forum Rei Sitae dengan Hak Opsi

Apabila objek sengketa terdiri dari beberapa barang tidak bergerak yang terletak di beberapa daerah hukum, maka Penggugat dapat melakukan pilihan dalam mengajukan gugatan kepada salah satu Pengadilan negeri yang dianggap paling menguntungkan.

  • Domisili Pilihan

Kesepakatan atas domisili pilihan yang dituangkan dalam suatu perjanjian bersifat alternatif yang artinya dapat diajukan ke pengadilan sesuai dengan domisili yang disepakati. Namun, tetap memberi hak bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan negeri tempat tinggal tergugat. Jadi singkatnya, domisili pilihan, tidak mutlak menyingkirkan patokan actor sequatur forum rei.

Contoh Penerapan Kompetensi

Contoh terhadap kewenangan absolut yaitu terjadi perceraian antara Ani dan Budi yang beragama Kristen, maka berdasar Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengurusan perceraian dalam perceraian pasangan non-muslim, melalui Pengadilan Negeri. Dalam hal ini Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili gugatan pada perceraian agama non-muslim. Jika Ani dan Budi merupakan seorang muslim maka pengadilan yang berwenang yaitu Pengadilan Agama.

Kewenangan pengadilan yang dianggap tidak sesuai maka Tergugat dapat menyampaikannya melalui eksepsi. Eksepsi mengenai kewenangan Pengadilan tersebut diajukan apabila pihak Tergugat merasa gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat bukan merupakan perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. apabila terdapat pengajuan eksepsi mengenai kewenangan absolut maka hakim akan memeriksa dan memutus terlebih dahulu mengenai eksepsi tersebut.

Contoh terhadap kewenangan relatif yaitu Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan diketahui bahwa Tergugat bertempat tinggal di daerah Jakarta Timur. Hal tersebut tidak sesuai dengan asas actor sequatur forum rei.

Pada kasus sengketa tanah, Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Jakarta Pusat karena lokasi tanah sengketa berada di wilayah hukum Jakarta Pusat.

Untuk menambah literasi hukum Sobat Selaras dapat mengakses artikel hukum lain di web Selaras Law Firm. Sobat Selaras juga dapat menghubungi tim Selaras Law Firm untuk konsultasi lebih detail terkait perkara perdata!

Dasar Hukum

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sumber:

Laila Rasyid, Herinawati, “Modul Pengantar Hukum Acara Perdata” Aceh: Unimal Press, 2015.

Sumber Gambar: pixabay.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Keakuratan Tes Poligraf sebagai Alat Bukti Di Persidangan https://selaraslawfirm.com/keakuratan-tes-poligraf-sebagai-alat-bukti-di-persidangan/ Mon, 13 Feb 2023 09:43:11 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1606 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Belakangan ini lie detector banyak dibahas setelah muncul dalam persidangan pada kasus kematian Brigadir J.

Untuk mengetahui lebih lanjut terkait kekuatan pembuktian lie detector di persidangan, yukk simak artikel berikut ini!

Pengertian Poligraf

Tes poligraf adalah tes untuk menguji kejujuran seseorang melalui reaksi tubuh. Poligraf juga dikenal sebagai psycho physiological deception detection atau deteksi kebohongan seseorang melalui gejala psikis yang membangkitkan reaksi fisiologis atau reaksi kebohongan.

Poligraf atau biasa dikenal sebagai pendeteksi kebohongan, bekerja dengan mengukur perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh, misalnya jumlah helaan nafas, detak jantung, tekanan darah dan reaksi mendadak pada kulit.

Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) digunakan dalam membantu pihak penyidik dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana perkosaan serta tindak pidana lain agar penyidikan dapat berjalan maksimal.

Baca Juga: Obstruction of Justice dalam Proses Hukum di Indonesia.

Secara umum alat apapun termasuk lie detector tidak bisa digunakan untuk mencari kebenaran, termasuk mengetahui secara pasti apakah seseorang itu berbohong. Adapun yang dilakukan pihak tertentu menggunakan lie detector adalah untuk mencari indikasi yang biasanya muncul ketika seseorang berbohong. Indikasi itu antara lain detak jantung, pernafasan, serta aktivitas electrodermal seperti keringat di jari-jari.

Sejarah Poligraf

Alat pendeteksi kebohongan dibuat oleh seorang peneliti medis dan seorang polisi di Berkeley, California, Amerika Serikat. Kemudian disempurnakan oleh alumni Berkeley yaitu Leonarde Keeler yang pertama kali menerapkannya dalam pemecahan kejahatan.

Pada tanggal 2 Februari 1935, hasil tes poligraf Keeler digunakan dalam persidangan pidana, menandai pertama kalinya penemuan itu digunakan sebagai bukti yang dapat diterima. Dua pria di Wisconsin gagal lulus poligraf, yang akhirnya membuat mereka dihukum.

Presiden Asosiasi Poligraf Amerika, Walt Goodson yang pernah bertugas selama 25 tahun di kepolisian negara bagian Texas menekankan bahwa poligraf bermanfaat dalam membantu polisi melakukan investigasi.

Dengan poligraf sangat cepat dan mudah bagi polisi untuk menentukan tersangka sebuah kejahatan dan memutuskan apakah perlu bagi polisi untuk menggali informasi lebih dalam tentang seseorang, atau mencari calon tersangka lain.

Dasar Hukum Tes Poligraf di Indonesia

Poligraf diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Perkap) No.10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara RI.

Penggunaan lie detector dilakukan terhadap perkara yang termasuk kriteria perkara sulit seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 18 ayat (3) Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan.

Kekuatan Pembuktian Hasil Tes Poligraf

Mesin poligraf dinilai merupakan bentuk alat bukti petunjuk berdasarkan Pasal 188 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini dikarenakan hasil pemeriksaan tersebut dapat dikategorikan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan sehingga dapat dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara.

Baca Juga: Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Alat bukti yang sah diatur pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dan dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Tes Poligraf tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti dalam persidangan pidana. Tes Poligraf hanya berkedudukan sebagai instrumen bagi penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana serta dapat membantu efisiensi kinerja penyidik. Dengan demikian, hasil dari tes poligraf tidak diakui sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai sarana interogasi.

Kekuatan hasil tes poligraf dapat digunakan untuk membuktikan adanya kesesuaian antara alat bukti yang lain sebagaimana Pasal 184 (KUHAP). Hal ini disebabkan dalam perumusannya, hasil tes poligraf akan didukung oleh ahli dan dikeluarkan dalam bentuk surat sehingga alat ini bisa dijadikan alat bukti.

Keterangan atas analisa hasil alat uji kebohongan dari ahli psikologi forensik inilah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah yaitu berupa keterangan ahli. Kekuatan pembuktian keterangan ahli mempunyai nilai pembuktian bebas, di mana tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Dalam hal ini, hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.

Berdasar Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mesin poligraf yang digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian persidangan perkara pidana menganut sistem pembuktian negatif sebagai alat bukti petunjuk. 

Hal tersebut juga diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mana mesin poligraf ini dapat dijadikan alat bukti petunjuk dalam informasi atau dokumen elektronik. Proses perluasannya didasarkan pada Surat Perintah Nomor Pol: Sprin/295/II/1993 tentang Validasi Organisasi Kepolisian Republik Indonesia yaitu tentang Laboratorium Forensik Polri. 

Cara Kerja Poligraf

Penggunaan mesin poligraf dilakukan atas permintaan dari penyidik berdasarkan pada kebutuhan terhadap pemeriksaan suatu perkara pidana. Biasanya penyidik melakukan permintaan penggunaan mesin poligraf ketika mengalami kesulitan dalam memperoleh keterangan saksi dan tersangka.

Teknik pemeriksaan poligraf terdiri dari empat tahap, yaitu pre-interview, stimulasi, pertanyaan, dan hasil pemeriksaan poligraf berbentuk grafik yang diperoleh dari reaksi tubuh dan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan oleh pemeriksa poligraf.

Cara kerja pemeriksaan poligraf adalah dengan melihat detak jantung, denyut nadi, serta perubahan fisik. Apabila orang yang sedang diperiksa mengatakan sesuatu yang benar, detak jantung dan denyut nadi akan berjalan secara normal. Namun, apabila yang bersangkutan berbohong, maka akan ada perubahan fisik dari detak jantung atau denyut nadi.

Serangkaian variabel ini diukur saat pertanyaan diajukan kepada mereka. Nilai numerik diberikan pada setiap respons untuk menyimpulkan apakah orang tersebut mengatakan yang sebenarnya, menipu, atau tidak pasti.

Hasil pemeriksaan poligraf yang digunakan di dalam persidangan berasal dari interpretasi dan analisis dari pemeriksaan poligraf terhadap tersangka yang melakukan pemeriksaan poligraf. Untuk itu, harus dipastikan pemeriksaan sesuai prosedur dan memenuhi standar.

Sobat Selaras, bisa menambah literasi hukum dengan membaca artikel lain di Selaras Lawfirm lohh! Jika ingin bertanya lebih detail dan konsultasi terkait permasalahan hukum, sobat Selaras bisa langsung menghubungi tim kami!

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Perkap) No.10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara RI.

Surat Perintah Nomor Pol: Sprin/295/II/1993 tentang Validasi Organisasi Kepolisian Republik Indonesia yaitu tentang Laboratorium Forensik Polri.

Sumber:

Ruspian, 2019, “Kekuatan Alat Bukti Mesin Polygraph dalam Persidangan Perkara Pidana di Indonesia” dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Riau.

Tribratanews, 2022, “Uji Kebohongan Bantu Detektif Cepat Selesaikan Kasus Pidana di Dunia”, dapat diakses pada: https://polri.go.id/berita-polri/1541.

Sumber Gambar: depositphotos.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Regulasi dan Perlindungan Tenaga Outsourcing di Indonesia https://selaraslawfirm.com/regulasi-dan-perlindungan-tenaga-outsourcing-di-indonesia/ Mon, 30 Jan 2023 02:47:50 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1579 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Istilah outsourcing mungkin sudah tidak asing lagi terdengar. Outsourcing merupakan suatu istilah yang berhubungan dengan penggunaan tenaga kerja dari pihak lain dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. 

Dalam artikel ini akan membahas lebih detail terkait pengaturan dan perlindungan hukum sistem outsourcing, yukkk simak penjelasan berikut ini!

Pengertian Outsourcing

Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun aturan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Namun, dalam Pasal 64 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, dikenal dengan tenaga alih daya yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis.

Baca Juga: Keabsahan dan Kepastian Hukum Perjanjian Pra-Nikah.

Kesimpulannya, outsourcing dimaknai sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan (perusahaan user) melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja (perusahaan outsourcing). Ini berarti, ada perusahaan yang secara khusus melatih/mempersiapkan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain.

Pengaturan Outsourcing

Sistem outsourcing sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang kemudian dilakukan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). 

Kemudian, aturan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga pada 30 Desember 2022 Presiden Joko Widodo menandatangani aturan pengganti UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu No. 2/2022).

Selain itu juga, terdapat aturan turunan dari UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP No. 35/2021). Peraturan Pemerintah tersebut mengatur bahwa hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan didasarkan pada PKWT atau PKWTT. 

Perlindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab dari perusahaan outsourcing.

Perlindungan Hukum Tenaga Outsourcing

Indonesia sendiri belum memiliki undang-undang tersendiri yang mengatur tentang outsourcing, meski demikian perlindungan bagi pekerja dengan sistem outsourcing dalam UU Cipta Kerja ini tetap ada dimana diatur dalam Pasal 66 ayat (5) Undang-Undang Cipta Kerja dimana terkait dengan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan outsourcing (Perusahaan PJP). 

Menurut Penulis, UU Cipta Kerja belum sepenuhnya memberi perlindungan hukum kepada pekerja outsourcing. Dalam aturan tersebut tidak dicantumkan mengenai batasan pekerjaan-pekerjaan yang dilarang dilaksanakan oleh pekerja dengan sistem outsourcing. Ketentuan ini juga memungkinkan tidak ada batas waktu bagi pekerja outsourcing bahkan bisa seumur hidup.

Baca Juga: Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee.

Ketentuan ini tentu saja dapat membuat perusahaan untuk dapat mempekerjakan pekerja dengan sistem outsourcing di semua lini pekerjaan. Hal ini akan berdampak pada penggunaan tenaga kerja outsourcing yang bebas jika tidak ada aturan atau regulasi turunan dari UU Cipta Kerja ini. Seharusnya, pemerintah menegaskan jenis dan jumlah pekerjaan yang boleh dialihdayakan dan yang tidak.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memastikan akan melindungi pekerja outsourcing dengan mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang bisa menggunakan tenaga alih daya. Hal ini seiring terbitnya Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja. Untuk selanjutnya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan ditetapkan lebih lanjut melalui revisi PP No. 35/2021.

Kemenaker menyatakan bahwa penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perpu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan pemerintah membatasi jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Pertama, untuk memberikan peluang atau kesempatan yang lebih luas bagi pekerja sebagai pekerja tetap/PKWTT guna melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap.

Nahhh, Sobat Selaras sudah jelas ya terkait regulasi outsourcing ini, yang mana masih ada beberapa aturan turunan yang sedang di revisi. Semoga Sobat Selaras menjadi pekerja yang cerdas dan paham tentang aturan ketenagakerjaan yaaa. 

Untuk mengetahui informasi hukum lainnya, sobat Selaras bisa loh langsung menghubungi tim Selaras Law Firm untuk berkonsultasi! Yukk baca artikel lain di Selaras Law Firm!

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja .

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Sumber:

Humas, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 6 Januari 2022, “Menaker: Perpu Cipta Kerja Lindungi Pekerja Hadapi Dinamika Ketenagakerjaan” diakses pada:  https://setkab.go.id/menaker-perpu-cipta-kerja-lindungi-pekerja-hadapi-dinamika-ketenagakerjaan/.

Muhammad Idris, 8 Januari 2023, “Kontroversi Outsourcing di Perppu Jokowi” diakses pada:  https://money.kompas.com/read/2023/01/08/064717126/kontroversi-outsourcing-di-perppu-jokowi?page=all

]]>
Mengenal Lebih Dekat Perbedaan Advokat dan Pengacara di Indonesia https://selaraslawfirm.com/mengenal-lebih-dekat-perbedaan-advokat-dan-pengacara-di-indonesia/ Mon, 30 Jan 2023 02:29:04 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1572 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Hallo, Sobat Selaras!

Tentu Sobat Selaras sudah familiar dengan yang namanya advokat, bukan?

Istilah advokat ini sering digunakan oleh masyarakat untuk menyebut seseorang yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum untuk dapat membela kliennya. Lantas, apakah advokat tersebut berbeda dengan pengacara?

Yuk, simak penjelasan berikut ini agar Sobat Selaras dapat menemukan jawabannya!

Definisi Advokat

Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (UU Advokat), sudah jelas tertulis mengenai definisi dari advokat itu sendiri. Pasal 1 Angka 1 UU Advokat tertulis bahwa:

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang advokat, seseorang harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan yang ada dalam UU Advokat.

Syarat Menjadi Advokat

Syarat pertama untuk dapat diangkat menjadi advokat sesuai Pasal 2 UU Advokat adalah seorang sarjana yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi hukum.

Selain hal itu, orang tersebut juga harus telah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. 

Untuk dapat diangkat menjadi advokat, seseorang juga harus memenuhi persyaratan yang tertulis di dalam Pasal 3 UU Advokat, seperti:

  1. Warga negara Republik Indonesia;
  2. Bertempat tinggal di Indonesia;
  3. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
  4. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
  5. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
  6. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
  7. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  8. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
  9. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan mempunyai integritas yang tinggi.

Setelah semua syarat telah terpenuhi, maka seorang dapat menjadi advokat dan selanjutnya siap menjalankan perannya sebagai advokat. 

Baca juga: Cara Membeli E-Meterai.

Peran Advokat

Mungkin Sobat Selaras pernah berpikir, apakah advokat akan membela klien yang sudah jelas bersalah? Jawabannya tentu saja adalah iya. 

Namun, membela di sini bukan berarti membela untuk membuat klien tersebut menjadi tidak bersalah di hadapan hukum, melainkan membela untuk dapat meringankan kerugian dan hukuman sesuai dengan peraturan yang nantinya akan diterima oleh klien tersebut.

Selain dalam proses peradilan, advokat juga memiliki peran pada jalur profesi di luar pengadilan. Beberapa peran tersebut diantaranya ialah seperti pemberian jasa konsultasi dan negosiasi dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang. 

Definisi Pengacara

Secara umum pengacara adalah orang yang berprofesi sebagai pemberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan izin praktek/beracara sesuai dengan surat izin praktek di wilayahnya yang diberikan oleh pengadilan setempat.

Perbedaan Advokat dan Pengacara

Sebelum adanya UU Advokat, advokat dan pengacara itu berbeda. Berikut adalah perbedaan dari keduanya:

1. Advokat mendampingi proses hukum sesuai dengan penunjukkan langsung yang telah diberi amanat oleh kementerian hukum dan HAM.

Sedangkan pengacara, pengacara memberikan bantuan hukum sesuai dengan surat izin praktik di wilayah yang telah diberikan oleh ketua pengadilan setempat.

2. Advokat memiliki cakupan wilayah dalam memberikan jasa hukum meliputi seluruh Indonesia, sedangkan pengacara memiliki cakupan wilayah dalam memberikan jasa hukum sesuai wilayah yang telah diterbitkan izinnya.

Sehingga dalam hal ini, jika pengacara hendak beracara di luar lingkup wilayah izin prakteknya, ia harus meminta izin terlebih dahulu ke pengadilan tempat ia akan beracara.

3. Advokat dapat mengawal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam memberikan bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu mengakses konsultan hukum di dalam pengadilan, sedangkan pengacara tidak.

Jadi, advokat dan pengacara sebelum adanya UU Advokat itu berbeda meskipun keduanya memiliki beberapa layanan yang sama dan perbedaan yang sangat tipis.

Baca juga: Asas-Asas dalam Hukum Waris Islam.

Setelah UU Advokat diundangkan, maka istilah pengacara praktik kini sudahlah tidak lagi dikenal. Hal tersebut dikarenakan dalam Pasal 32 UU Advokat tertulis bahwa:

Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

Sehingga, setelah UU Advokat diundangkan maka yang dinyatakan sebagai advokat itu sendiri meliputi advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku.

Karena dalam ketentuan peralihan sudah ditegaskan sebagaimana disebutkan di atas, maka pengacara praktik yang telah diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku dapat dinyatakan sebagai advokat dan dapat memberikan jasa hukum di seluruh wilayah Indonesia.

Sekian penjelasan mengenai “Mengenal Lebih Dekat Perbedaan Advokat dan Pengacara di Indonesia”. Apabila Sobat Selaras membutuhkan jasa advokat atau hal lainnya di bidang hukum, Sobat Selaras bisa menghubungi kami di Selaras Law Firm. Jangan lupa juga untuk nantikan artikel-artikel menarik selanjutnya ya!

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Sumber:

Parera, Theodorus Yosep. (2017). “Advokat dan Penegakan Hukum”. Yogyakarta: Genta Publishing.

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Kepastian Hukum bagi PKWT pada Perpu Cipta Kerja https://selaraslawfirm.com/kepastian-hukum-bagi-pkwt-pada-perpu-cipta-kerja/ Mon, 30 Jan 2023 01:54:44 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1557 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Pada dasarnya, dalam hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja dibuktikan dengan adanya suatu perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut harus dapat memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan regulasi perlindungan bagi kedua belah pihak. 

Bagaimana sih kepastian hukum bagi karyawan pada Perpu Cipta Kerja? Untuk lebih jelasnya, yukk simak artikel berikut ini!

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerjanya sering disebut sebagai pekerja kontrak diatur dalam: 

  1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu No. 2/2022).
  2. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP No. 35/2021).

Baca Juga: Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee.

Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pengertian PKWT menurut Pasal 1 Angka 10 PP No. 35/2021 adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan Hubungan Kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.

Dengan kata lain, karyawan yang memiliki perjanjian kerja berstatus PKWT dapat disebut sebagai karyawan kontrak atau hanya sementara. Meski dalam praktiknya perjanjian kerja tersebut dapat diperpanjang atau diperbaharui.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, yaitu pekerjaan yang berdasarkan pada jangka waktu tertentu, atau pekerjaan yang berdasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tersebut.

Jangka Waktu PKWT

Pasal 81 Angka 15 Ayat (1) UU Cipta Kerja dan pada Pasal 5-9 PP No. 35/2021 menjelaskan bahwa PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama serta perpanjangannya tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

PKWT yang berdasarkan jangka waktu berlaku selama maksimal 5 tahun, PKWT dapat diperpanjang beberapa kali apabila pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT serta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun.

PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu didasarkan atas kesepakatan para pihak. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan hingga selesainya pekerjaan, dan tidak ada diatur batas waktu maksimalnya.

Kompensasi Jika PKWT Berakhir

Jika perjanjian kerja berakhir, maka buruh/pekerja mendapatkan uang kompensasi menurut ketentuan Pasal 15 dan Pasal 17 PP No.35/2021 yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh pekerja/buruh. Uang kompensasi diberikan kepada pekerja/buruh yang masa kerjanya paling sedikit adalah 1 bulan secara berturut-turut.

PKWT yang diperpanjang, maka uang kompensasi akan diberikan saat masa perpanjangan berakhir. Pemberian uang kompensasi tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan berdasarkan PKWT.

Berdasarkan PP No. 35/2021 Pasal 17, Apabila salah satu pihak dalam hal ini pekerja maupun perusahaan mengakhiri hubungan kerja yang mana masa kontrak belum berakhir, maka pengusaha wajib memberikan uang kompensasi yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh pekerja. 

Akibat Hukum PKWT dibuat Secara Tidak Tertulis

Pasal 81 Angka 13 Ayat (1) UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Pada dasarnya, perjanjian kerja yang dibuat dalam bentuk tertulis lebih menjamin kepastian hak dan kewajiban dari pekerja dan pengusaha, sehingga apabila di kemudian hari terjadi perselisihan maka akan sangat membantu proses pembuktian.

Baca Juga: Keabsahan dan Kepastian Hukum Perjanjian Pra-Nikah.

Konsekuensi atas PKWT yang dibuat dalam bentuk tidak tertulis, tidak dikenal dalam UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja tetap mensyaratkan agar perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bentuk tertulis, akan tetapi konsekuensi hukum atas tidak dipenuhinya syarat tersebut adalah tidak ada.

Ketidakpastian Hukum Perlindungan PKWT Dalam UU Cipta Kerja 

PKWT untuk Jangka waktu berdasarkan PP No. 35/2021 perjanjian kerja paling lama 5 (lima) tahun dapat dilakukan perpanjangan PKWT berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja dengan jangka waktu tidak lebih dari 5 Tahun. PP No. 35/2021 tidak mengatur akibat hukum apabila kontrak lebih dari 5 Tahun. Sementara PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu dapat dilakukan perpanjangan hingga pekerjaan tersebut selesai (tanpa batas waktu).

Merujuk pada karakteristik dari PKWT, terdapat potensi untuk terjadinya pengakhiran terlebih dahulu terhadap PKWT tersebut sebelum masa berlakunya habis, baik yang diinisiasi oleh Pemberi Kerja, maupun diinisiasi oleh Pekerja.

Untuk mengurangi potensi pengakhiran dini terhadap PKWT tersebut, di dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan diatur bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya masa berlaku PKWT, diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja tersebut hingga batas waktu berakhirnya PKWT.

Namun demikian, ketentuan tersebut diubah di dalam Pasal 17 PP No. 35/2021, bahwa Pemberi Kerja diwajibkan untuk memberikan uang kompensasi kepada Pekerja yang hubungan kerjanya berakhir berdasarkan PKWT, tanpa melihat pihak mana yang menginisiasi pengakhiran dini atas hubungan kerja tersebut.

Ketentuan di dalam Pasal 17 PP No. 35/2021 menyebutkan ‘Dalam hal salah satu pihak mengakhiri Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan di dalam PKWT…’, sehingga inisiator pengakhiran hubungan kerja sebelum berakhirnya PKWT tersebut dapat berasal dari Pemberi Kerja maupun Pekerja itu sendiri.

Lebih lanjut, di dalam frasa ‘Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1)…’ kewajiban pembayaran kompensasi berada pada pihak Pemberi Kerja saja, tanpa memandang siapa pihak yang menginisiasi pengakhiran hubungan kerja tersebut. Padahal di dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan, kewajiban pembayaran kompensasi berada pada pihak yang menginisiasi pengakhiran hubungan kerja sehingga menciptakan suatu keseimbangan dalam hubungan hukum di antara para pihak.

Dalam Pasal 15 Ayat (1) jo. 17 PP No. 35/2021 tersebut bersifat kontradiktif dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Ketenagakerjaan. Hal tersebut mengingat bahwa ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, bukan termasuk ketentuan yang dicabut berdasarkan UU Cipta Kerja.

Sehingga, dari perspektif yuridis, seharusnya ketentuan di dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya masa berlaku PKWT diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja hingga batas waktu berakhirnya PKWT, masih berlaku.

Sobat Selaras, yang baru lulus dan pencari kerja artikel ini bisa untuk referensi dan pengayaan informasi sebagai bekal pada saat menerima serta membaca perjanjian kerja. Untuk mengetahui informasi hukum lainnya, sobat Selaras bisa loh langsung menghubungi tim Selaras Law Firm untuk berkonsultasi!

Semoga kita semua menjadi pekerja yang cerdas dan paham tentang aturan ketenagakerjaan. yukk baca artikel lain di Selaras Law Firm!

Dasar Hukum

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Sumber:

Nurul Listiyani, dkk. 2022, “Kajian Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Kontrak

Waktu Tertentu (Pkwt) Dalam Undang-Undang Cipta Kerja”, Jurnal Terapung, Vol.4, No. 2, ISSN: 2656-2928, diakses pada: https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/terapung/article/view/8230/4593.

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Mengenal Lebih Dekat Dispensasi Perkawinan Anak di Bawah Umur https://selaraslawfirm.com/mengenal-lebih-dekat-dispensasi-perkawinan-anak-di-bawah-umur/ Thu, 26 Jan 2023 11:52:39 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1565 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Hallo, Sobat Selaras!

Beberapa hari belakangan ini sedang ramai diperbincangkan mengenai adanya ratusan anak di Ponorogo Jawa Timur yang mengajukan dispensasi kawin atau menikah usia dini ke Pengadilan Agama setempat.

Tercatat ada 198 (seratus sembilan puluh delapan) permohonan dispensasi kawin yang diajukan ke Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo sepanjang tahun 2022.

Alasan dari anak tersebut mengajukan dispensasi kawin selain enggan meneruskan sekolah ialah karena kebanyakan dari mereka telah hamil di luar perkawinan yang sah.

Berbicara mengenai dispensasi kawin pada kasus di atas, memangnya apa sih yang dimaksud dengan dispensasi kawin dan apa yang menjadi alasan untuk dapat diberikannya dispensasi kawin?

Yuk, simak penjelasan berikut ini agar Sobat Selaras dapat mengetahui jawabannya!

Definisi Perkawinan

Sebelum membahas mengenai dispensasi kawin, Sobat Selaras harus tahu terlebih dahulu mengenai perkawinan.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), tertulis bahwa:

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.

Baca juga: Perbedaan Pengadilan Dan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa.

Batas Usia Minimal Perkawinan

Dalam UU Perkawinan, terdapat syarat-syarat perkawinan yang mana salah satu syaratnya ialah syarat usia perkawinan.

Dalam syarat usia perkawinan, batas usia minimal perkawinan sebelum adanya perubahan berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yaitu 19 (sembilan belas) tahun untuk pihak pria dan 16 (enam belas) tahun untuk pihak wanita.

Kemudian, setelah diubahnya UU Perkawinan tersebut maka terdapat pula perubahan mengenai batas usia minimal perkawinan.

Batas usia minimal perkawinan berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU Perkawinan setelah adanya perubahan ialah menjadi 19 (sembilan belas) tahun untuk kedua belah pihak, baik itu pihak wanita maupun pihak pria.

Apabila pihak wanita dan pihak pria telah memenuhi syarat usia perkawinan tersebut diatas, maka perkawinan sudah dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. 

Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah pihak yang belum memenuhi syarat usia perkawinan dapat melaksanakan perkawinan?

Dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, kita dapat melihat bahwasanya apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, maka orang tua baik itu orang tua pihak pria maupun orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kawin ke pengadilan.

Berdasarkan penjelasan dari pasal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan tetap dapat dilaksanakan bagi mereka yang belum memenuhi syarat usia perkawinan apabila pengadilan telah memberikan dispensasi kawin sesuai peraturan perundang-undangan kepada mereka.

Lantas, apa sih dispensasi kawin itu?

Baca juga: Pengakuan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.

Dispensasi Kawin

Secara singkat, yang dimaksud dengan dispensasi kawin ialah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau calon isteri yang belum berusia 19 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan.

Di dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Perkawinan telah tertuliskan bahwasanya dispensasi kawin dapat diberikan atas alasan mendesak. 

Maksud dari alasan mendesak dalam UU tersebut ialah keadaan dimana tidak ada pilihan lain dan keadaan yang mana dengan sangat terpaksa perkawinan tersebut harus dilangsungkan.

Alasan mendesak tidak bisa hanya sekadar klaim, alasan mendesak juga haruslah dibuktikan dengan adanya bukti-bukti pendukung yang cukup.

Dalam UU Perkawinan, bukti-bukti pendukung yang cukup ialah surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan.

Selanjutnya, dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Perkawinan juga tertuliskan bahwasanya permohonan dispensasi kawin dapat diajukan oleh orang tua dari pihak pria dan/atau orang tua dari pihak wanita. 

Selain itu, kemungkinan dispensasi kawin juga dapat diajukan oleh:

  1. Jika orang tua bercerai, maka dispensasi kawin dapat tetap diajukan oleh kedua orang tua atau salah satu orang tua yang memiliki kuasa asuh terhadap anak berdasar putusan pengadilan;
  2. Jika salah satu orang tua meninggal dunia atau tidak diketahui alamatnya, dispensasi kawin dapat diajukan oleh salah satu orang tua;
  3. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau dicabut kekuasaannya atau tidak diketahui keberadaannya, maka dispensasi kawin dapat diajukan oleh wali anak; atau
  4. Jika orang tua/wali berhalangan, maka dispensasi kawin dapat diajukan oleh kuasa orang tua/wali.

Sekian penjelasan mengenai “Mengenal Lebih Dekat Dispensasi Perkawinan Anak di Bawah Umur”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang hukum, maka Sobat Selaras bisa menghubungi kami di Selaras Law Firm. Jangan lupa juga untuk nantikan artikel-artikel menarik selanjutnya ya!

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Sumber:

Kompas TV Jember, 2023, “Hamil Duluan, Ratusan Anak Ajukan Nikah Dini ke PA Ponorogo”, diakses di https://www.kompas.tv/article/366720/hamil-duluan-ratusan-anak-ajukan-nikah-dini-ke-pa-ponorogo pada 12 Januari 2023 pukul 11.31 WIB.

Hamidi, 2019, “Dispensasi Kawin Menurut Perma Nomor 5 Tahun 2019”, diakses di https://pa-palangkaraya.go.id/dispensasi-kawin-menurut-perma-nomor-5-tahun-2019/ pada 12 Januari 2023 pukul 12.06 WIB.

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Hukum dapat Mengancam Keberadaan Karen’s Dinner di Indonesia https://selaraslawfirm.com/hukum-dapat-mengancam-keberadaan-karens-dinner-di-indonesia/ Thu, 26 Jan 2023 11:39:33 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1559 Oleh: Anisa Fernanda

Halo sobat Selaras Law Firm!

Bagaimana nih kabarnya? Semoga sobat Selaras Law Firm yang sedang membaca artikel ini dalam keadaan sehat dan harus selalu bersemangat ya!

Pernah mendengar slogan, “Pembeli adalah raja” tidak? Tentunya sudah sangat familier bukan? 

Slogan tersebut mengisyaratkan bahwasanya pembeli harus diperlakukan sebaik mungkin layaknya seorang raja. Namun apakah semua penjual harus menjalankan bisnis sesuai dengan slogan tersebut?

Penerapan slogan tersebut sebenarnya dimaksudkan agar setiap pembeli yang mendapatkan pelayan dengan baik merasa puas, nyaman, dan ada hasrat untuk kembali untuk membeli.

Faktanya, perkembangan zaman mendorong adanya perubahan dalam dunia bisnis dan slogan tersebut agaknya sudah tidak lagi relevan sebagai sarana untuk menarik pembeli.

Karen’s Dinner adalah salah satu restoran dengan konsep pelayanan yang berbanding terbalik dengan slogan tersebut. Keunikannya membuat Karen’s Dinner semakin viral dan sukses diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika.

Sobat Selaras Law Firm pasti tahu dong kalau Karen’s Dinner sudah ada di Indonesia.

Sayangnya, dengan hadirnya restoran ini justru menuai kritik dari masyarakat sebab adanya dugaan penerapan konsep yang berlebihan. 

Lantas, apakah Karen’s Dinner cocok diterapkan di Indonesia atau justru berisiko? Bagaimanakah implikasinya terhadap ketentuan hukum di Indonesia? 

Nah agar tidak menerka-nerka lagi, mari kita bahas!

Baca Juga: Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.

Awal Mula Hadirnya Karen’s Diner di Indonesia

Umumnya sebuah restoran menyuguhkan pelayanan terbaik tetapi berbeda dengan restoran satu ini. Karen’s Diner merupakan sebuah restoran yang pertama kali didirikan pada tahun 2021 di Sydney, Australia oleh Aden Levin dan James Farrell.

Awalnya direncanakan sebagai restoran pop-up dengan jangka pendek selama 6 (enam) bulan. Namun, berkat konsep unik yang menjadi andalan membawa restoran ini semakin popular di kalangan masyarakat Australia.

Bahkan, saat ini Karen’s Diner memiliki cabang di berbagai tempat seperti Melbourne, Inggris, New Zealand, dan Indonesia.

Penggunaan nama restoran ini diambil dari nama “Karen” yang merepresentasikan wanita paruh baya dengan stereotip kasar dan merasa berhak akan segalanya. 

Karen’s Diner menggunakan konsep pelayanan yang tidak ramah dengan memaki, memperlakukan pelanggan secara kasar. Pelanggan juga diharapkan melakukan hal yang sama kepada pelayan.

Meskipun memiliki konsep yang cukup riskan tetapi Karen’s Diner memiliki aturan yang tidak dapat dilanggar oleh pelayan maupun pengunjung. Berikut aturan yang harus dilaksanakan:

  1. Tidak diperbolehkan untuk berkomentar rasis, seksi, homofobik, dan SARA;
  2. Tidak melakukan body-shaming dan pelecehan seksual;
  3. Tidak diperbolehkan merusak properti;
  4. Tidak boleh membuang-buang makanan;

Sayangnya, baru-baru ini Karen’s Diner mendapatkan respons negatif dari masyarakat Indonesia sebab melakukan pelayanan berlebihan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pelanggan merasa kalimat yang dilontarkan oleh pelayan justru mengarah kepada body-shaming. 

Konsep Karen’s Diner sebenarnya berbanding terbalik dengan budaya bangsa Indonesia yang mengedepankan sopan santun dan tidak menjadi permasalahan bilamana diterapkan berdasarkan ketentuan.

Namun dengan adanya perbedaan culture yang sangat signifikan mengakibatkan keberadaan Karen’s Diner berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan.

Karen’s Dinner Berpotensi Melanggar Hukum 

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasanya dengan konsep unik yang dimiliki Karen’s Diner berpotensi besar melanggar peraturan di Indonesia. 

Salah satu Pasal yang dapat dikenakan bilamana tidak sesuai dengan ketentuan Karen’s Diner adalah pencemaran nama baik sebab baru-baru ini diketahui pelayanan yang dilakukan justru berlebihan dan menjurus pada body-shaming.

Dalam Pasal 310 KUHP disebutkan bahwasanya:

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta;[3]

Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta

Sedangkan dalam KUHP terbaru yang baru berlaku 3 tahun mendatang juga mengaturnya tepatnya di Pasal 433 dengan sanksi yang lebih berat yakni pencemaran lisan berupa penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak kategori II yakni Rp10 juta serta pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak kategori III yakni Rp50 juta.

Perbuatan yang termasuk pencemaran nama baik adalah penistaan, fitnah, dan penghinaan ringan.

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pelanggan adalah dengan melakukan laporan ke pihak kepolisian sebab pasal-pasal diatas termasuk delik aduan yang baru diproses ketika adanya aduan dari korban. 

Bahkan dengan hadirnya KUHP terbaru membuat keberadaan Karen’s Diner semakin terancam karena adanya pengaturan mengenai penghinaan terhadap pejabat negara sebagaimana yang termuat dalam Pasal 240.

Baca juga: Pengakuan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Karen’s Diner sebagai restoran yang diadopsi dari Negara Australia memiliki perbedaan budaya yang sangat signifikan berakibat pada terancamnya keberadaannya di Indonesia. Perkembangan menunjukkan adanya dugaan perbuatan pelayan Karen’s Diner yang berlebihan dari ketentuan dan menjurus kepada body-shaming. Pencemaran nama baik termasuk pernistaan, fitnah, dan penghinaan ringan. Bahkan penghinaan terhadap terhadap pejabat negara dapat dikenakan sepanjang dapat dibuktikan dan diadukan kepada kepolisian karena termasuk delik aduan.

Sekian pembahasan terkait “Hukum dapat Mengancam Keberadaan Karen’s Dinner di Indonesia”. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Sobat Selaras Law Firm ya! 

Apabila Sobat Selaras Law Firm ingin bertanya atau berkonsultasi hukum bisa segera menghubungi kami di Selaras Law Firm ya!

Yuk jangan lupa baca juga artikel menarik lainnya hanya  di Selaras Law Firm! So, jangan lupa juga untuk menantikan artikel-artikel menarik lainnya ya Sobat!

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber:

Alinda Hardiantoro, 2022, Ramai soal Restoran Karen’s Diner Bakal Buka di Jakarta, Apa Keunikannya?, https://www.kompas.com/tren/read/2022/11/14/130000665/ramai-soal-restoran-karen-s-diner-bakal-buka-di-jakarta-apa-keunikannya-?page=all.

Kompasiana, 2022, Kontroversi Karen’s Diner Jakarta yang Ingin Laris tapi Malah Jadi Cringe Abis, https://www.kompasiana.com/bobby18864/639c8cf0f4fbe449997e85f2/kontroversi-karen-s-diner-jakarta-yang-ingin-laris-tapi-malah-jadi-cringe-abis

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

 

 

]]>
Pengenaan Pidana atas Kasus Perselingkuhan antara Suami dan Ibu Mertua https://selaraslawfirm.com/pengenaan-pidana-atas-kasus-perselingkuhan-antara-suami-dan-ibu-mertua/ Wed, 18 Jan 2023 03:52:31 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1545 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Halo, Sobat Selaras!

Akhir-akhir ini, media sedang dihebohkan dengan berita mengenai kasus perselingkuhan.

Tentu Sobat Selaras sudah tahu kasus tersebut, bukan?

Kasus perselingkuhan yang sedang viral ini berbeda dengan kasus perselingkuhan lainnya.

Pada kasus ini, perselingkuhan terjadi antara seorang suami dengan ibu mertuanya.

Tentu tidak terbayang betapa sakitnya menjadi istri yang mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh dengan ibu kandungnya sendiri.

Melihat dari kasus diatas, apakah suami dan ibu kandung dari seorang istri tersebut dapat dijerat dengan pidana? 

Agar Sobat Selaras tahu jawabannya, yuk simak penjelasan berikut ini!

Baca juga: Perbedaan Pengadilan Dan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa.

Pengertian Perkawinan

Di Indonesia, hukum perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut, yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pengertian tersebut, terlihat adanya tujuan dari perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Akan tetapi, tidak semua perkawinan yang dilakukan dapat mencapai apa yang menjadi tujuan tersebut. 

Salah satu faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan tersebut ialah adanya perselingkuhan yang dilakukan baik oleh suami, istri maupun oleh keduanya.

Berbicara mengenai perselingkuhan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah, apakah orang tersebut dapat dijerat pidana?

Agar Sobat Selaras tahu jawabannya, yuk simak penjelasan di bawah ini!

Pengenaan Pidana pada Pelaku Perselingkuhan

Membahas mengenai pengenaan pidana terhadap pelaku perselingkuhan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri telah mengatur hal tersebut.

Dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwasanya dapat diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan, bagi:

1. Laki-laki yang sudah beristeri kemudian berbuat zina sedangkan diketahuinya bahwa Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) berlaku padanya. Pasal 27 KUHPer tertuliskan bahwa:

Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja”.

2. Perempuan yang telah menikah kemudian berbuat zina.

Kemudian, dalam Pasal (2) KUHP dijelaskan bahwasanya proses penuntutan atau pelaporan tindak pidana zina seperti dalam Pasal 284 ayat (1) tersebut hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri yang diselingkuhi.

Hal tersebut dikarenakan tindak pidana dalam Pasal 284 KUHP tersebut termasuk dalam delik aduan (klacht delict) yang bersifat absolut.

Itu artinya, penuntutan tidak dapat dilakukan apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau pihak istri yang dirugikan dan atau yang dipermalukan. 

Baca juga: Pengakuan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.

Kemudian, terkhusus untuk kasus perzinaan ini sendiri hanya akan diproses oleh pihak kepolisian jika terdapat bukti yang cukup bahwa perselingkuhan tersebut telah terjadi.

Selain adanya bukti yang cukup, kasus perzinaan tersebut dapat diproses jika kasus tersebut disertai dengan adanya gugatan perceraian dari pihak suami atau isteri yang dirugikan dan atau yang dipermalukan pada saat itu juga.

Artinya, tanpa adanya gugatan cerai, maka kasus perzinaan tidaklah dapat dilanjutkan ke pengadilan walaupun peristiwa perzinaan tersebut bisa dibuktikan benar-benar terjadi.

Selain itu, perlu juga diingat bahwasannya laporan pidana zina tidak akan dapat diproses lebih lanjut oleh kepolisian apabila yang melaporkan kasus tersebut bukanlah pasangan resmi atau pihak pasangan yang dirugikan dan atau yang dipermalukan.

Bahkan, untuk kasus perzinaan mengenai pelaporannya pun oleh hukum dibatasi hanya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut diketahui atau dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan jika pengadu berada di luar negeri. 

Baca juga: Perbedaan Perlindungan Hukum Antara Tanaman Dengan Tanaman Baru, Yuk Simak Penjelasan Lengkapnya!

Sekian penjelasan mengenai “Pengenaan Pidana atas Kasus Perselingkuhan antara Suami dan Ibu mertua”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui lebih lanjut mengenai pelaporan dan pemidanaan atas tindak pidana perzinaan yang terjadi atas perselingkuhan, Sobat Selaras bisa menghubungi kami di Selaras Law Firm. Jangan lupa untuk nantikan artikel menarik selanjutnya ya!

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Rintan Puspitasari, 2022, “Viral Kisah Suami Selingkuh dengan Ibu Mertua, Ini Kronologinya”, diakses di (https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/hype/read/2022/12/29/121812766/viral-kisah-suami-selingkuh-dengan-ibu-mertua-ini-kronologinya).

Sumber Gambar: istockphoto.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata https://selaraslawfirm.com/perbedaan-hukum-pidana-dan-hukum-perdata/ Wed, 18 Jan 2023 02:49:08 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1522 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Halo, Sobat Selaras!

Sobat Selaras tentu sudah mengetahui bahwasanya Indonesia merupakan negara hukum, bukan?

Berbicara mengenai hukum, pastinya sudah tidaklah asing lagi dengan yang namanya hukum pidana dan hukum perdata.

Apakah Sobat Selaras sudah mengetahui perbedaan dari kedua hukum tersebut?

Jika belum, yuk simak penjelasan dari perbedaan keduanya berikut ini!

Baca juga: Kasus Pelanggaran Administratif Di Pasar Modal.

Pengertian Hukum Pidana

Menurut C.S.T. Kansil, yang dimaksud dengan hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang segala pelanggaran dan kejahatan yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan umum. 

Selain itu, dijelaskan pula bahwa hukum pidana selain mengatur hal yang telah disebutkan diatas juga mengatur tentang perbuatan mana atau perbuatan apa yang dapat dikenakan ancaman dengan bentuk hukuman berupa penderitaan atau penyiksaan.

Jadi mudahnya, hukum pidana adalah ketentuan yang isinya mengatur tentang tindakan yang tidak boleh dilakukan terhadap kepentingan umum dan apabila tindakan yang tidak boleh dilakukan tersebut dilakukan, maka pelakunya akan mendapatkan sanksi.

Pengertian Hukum Perdata

Menurut C.S.T. Kansil, yang dimaksud dengan hukum perdata adalah rangkaian beberapa peraturan hukum yang mengatur hubungan antar orang yang satu dengan yang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Selain C.S.T. Kansil, terdapat juga ahli hukum dalam bidang perdata yaitu Subekti yang menyatakan bahwa hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil.

Hukum privat materiil yaitu hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.

Selanjutnya, terkait dengan pembagian hukum perdata, Subekti telah membaginya menjadi empat bagian, yaitu:

  1. Hukum tentang diri seseorang, dimana hukum perdata disini memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
  2. Hukum keluarga, dimana hukum perdata disini mengatur tentang hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan seperti perkawinan beserta hubungannya dalam lingkup hukum kekayaan antara suami dan istri, hubungan antara orang tua dan anak, serta perwalian dan curatele.
  3. Hukum kekayaan, dimana hukum perdata disini mengatur tentang hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. 
  4. Hukum waris, dimana hukum perdata disini mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang ketika ia sudah meninggal nantinya.

Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa hukum waris ini mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.

Jadi mudahnya, hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang kepentingan orang perseorangan serta hubungan hukum orang perseorangan tersebut dengan orang lain.

Baca juga: Perbedaan Perlindungan Hukum Antara Tanaman Dengan Tanaman Baru, Yuk Simak Penjelasan Lengkapnya!

Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata

Setelah mengetahui pengertian dari hukum pidana dan hukum perdata itu sendiri, selanjutnya kita akan mengetahui apa yang menjadi perbedaan antara keduanya.

Perbedaan dari hukum pidana dan perdata ialah:

1. Berdasarkan tujuannya

Hukum pidana memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan umum yang mana hukum pidana ini tentunya memiliki dampak secara langsung kepada masyarakat umum.

Dalam hal tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila suatu tindak pidana dilakukan, maka akan memberikan dampak buruk terhadap keamanan, ketenteraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum di masyarakat.

Berbeda dengan hukum perdata yang tujuannya yaitu untuk melindungi kepentingan pribadi dari orang perseorangan dengan orang lain yang memiliki keterkaitan saja.

2. Berdasarkan sifatnya

Hukum pidana bersifat sebagai ultimum remedium atau sebagai upaya terakhir yang dilakukan dalam menyelesaikan suatu perkara.

Kemudian, untuk hukum perdata memiliki sifat yang berbeda dengan hukum pidana.  Hukum perdata sendiri memiliki sifat yang privat, yang mana menitikberatkan dalam pengaturan mengenai hubungan antara orang perorangan atau kepentingan perseorangan.

3. Berdasarkan sanksinya

Pada hukum pidana, sanksi dapat berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.

Sedangkan, berbeda dengan hukum pidana, sanksi pada hukum perdata yaitu berupa ganti rugi atau permintaan lain sesuai tuntutan yang diminta oleh penggugat.

Berdasarkan perbedaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana memiliki perbedaan yang sangat berbanding terbalik dengan hukum perdata. Perbedaan tersebut telah jelas terlihat dari sifat, tujuan dan sanksi yang dapat dikenakan.

Baca juga: Perbedaan Perlindungan Hukum Antara Tanaman Dengan Tanaman Baru, Yuk Simak Penjelasan Lengkapnya!

Sekian penjelasan mengenai “Perbedaan Hukum Pidana dan Hukum Perdata”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui lebih lanjut mengenai perkara apa yang termasuk dalam ranah hukum pidana dan hukum perdata, Sobat Selaras bisa menghubungi kami di Selaras Law Firm. Jangan lupa untuk nantikan artikel menarik selanjutnya ya!

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

C.S.T. Kansil. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

P.A.F. Lamintang. (2013). Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Subekti. (2003). Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Penerbit PT Intermasa.

Sumber Gambar:

www.pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Keabsahan dan Kepastian Hukum Perjanjian Pra-Nikah https://selaraslawfirm.com/keabsahan-dan-kepastian-hukum-perjanjian-pra-nikah/ Tue, 03 Jan 2023 18:39:46 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1512 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Cinta itu laksana lembah yang dalam nan misteri, begitulah pernikahan” – Imelda Rahma

Perkawinan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia, dalam masyarakat. Ketika dua orang sudah memantapkan untuk melangkah ke jenjang pernikahan, keduanya berarti sudah yakin satu dengan yang lainnya. Menjalani pernikahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

Dalam sebuah perkawinan masyarakat kita mengenal adanya percampuran harta perkawinan. Calon pasangan suami istri tidak pernah meributkan masalah itu karena mereka saling percaya dan memahami satu sama lain. Terhadap percampuran harta bersama tersebut terkadang menjadi sebuah masalah tersendiri karena tidak jarang dapat menimbulkan perselisihan.

Untuk mengantisipasi masalah tersebut, yuk simak tentang Perjanjian Pra-nikah!

Pengertian Perjanjian Pra-nikah

Dengan adanya era globalisasi seperti sekarang ini, turut mempengaruhi secara cepat banyak pasangan muda yang membuat Surat Perjanjian Pra-nikah. Hal ini jelas sedikit mengurangi rasa saling percaya dan memahami pasangan mereka masing-masing. 

Seiring perkembangan zaman, dengan perkembangan ekonomi yang ada maka Perjanjian Pra-nikah dapat dijadikan alternatif atau pegangan bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan untuk memecahkan masalah-masalah harta kekayaan dalam perkawinan jika timbul sengketa maupun perselisihan antara suami dan istri. Dalam hukum positif Indonesia perkawinan sendiri diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca Juga: Waris Menurut Hukum Perdata

Perjanjian Pra-nikah sendiri merupakan perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Istilah Perjanjian Pra-nikah ini juga terdapat di dalam KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan  Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat Perjanjian Pra-nikah yaitu perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 

Sehingga, Isi Perjanjian Pra-nikah itu bebas asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian pernikahan tidak boleh dibuat karena sebab (causa) palsu dan terlarang.

Perjanjian pernikahan akan mulai berlaku sebelum pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu. Dalam KUHPerdata Pasal 147 menyatakan bahwa perjanjian pernikahan harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Pengesahan pengadilan diperlukan apabila ada pihak ketiga yang tercantum dalam perjanjian tersebut (hal ini berdasarkan pada KUHPerdata Pasal 152.

Keabsahan dan Kekuatan Hukum Perjanjian Pra-Nikah

Perjanjian Pra-nikah dapat mengantisipasi adanya sengketa yang timbul apabila di kemudian hari perkawinan berakhir. Terkait sahnya suatu Perjanjian Pernikahan, maka pendaftaran/ pengesahan/ pencatatan Perjanjian Pra-nikah tidak lagi dilakukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, tetapi dilakukan di KUA untuk pasangan Muslim dan di Catatan Sipil untuk Non-Muslim dengan cara dicatatkan pada buku nikah/akta nikah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca Juga: Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam Beberapa Agama dan Contoh Kasus Beserta Penjelasannya.

Perjanjian Pra-nikah harus didaftarkan, supaya unsur publisitas dari perjanjian yang telah dibuat terpenuhi. Pendaftaran atau pencatatan prenuptial agreement dilakukan agar pihak ketiga (diluar pasangan suami istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan yang dibuat di dalam perjanjian pisah harta yang dituangkan dalam akta pisah harta. Apabila tidak didaftarkan, maka perjanjian pisah harta hanya berlaku/mengikat bagi para pihak yang ada di dalam akta, atau pembuat akta perjanjian pisah harta, atau suami istri yang bersangkutan.

Perjanjian Pra-nikah telah dilakukan uji materiil atas ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Pada tanggal 21 Maret 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu Pasal 29 serta Pasal 35. 

Dengan putusan itu, perjanjian tak lagi bermakna perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung. Kini, pembuatan perjanjian perkawinan disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan.

Akibat Hukum Perjanjian Pra-nikah

Merujuk pada pembahasan di atas, Perjanjian Pra-nikah dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris. Perjanjian Pra-nikah ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini tersangkut. Akibat hukum Perjanjian Pra-nikah adalah terikatnya para pihak selama mereka berada dalam suatu ikatan perkawinan.

Urgensi dilakukannya Perjanjian Pra-nikah adalah membantu untuk kedepannya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya perceraian. Dengan adanya Prenup tersebut, maka akan menjadi jelas dan mudah tanpa harus berkecimpung dalam masalah terutama harta gono gini dan masalah lainnya, karena sudah adanya kesepakatan yang jelas dan mempunyai kekuatan hukum. 

Perjanjian Pra-nikah sesungguhnya adalah melindungi kedua belah pihak setelah terlaksananya pernikahan, sehingga masing-masing yang melaksanakan perjanjian tidak mudah untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran.

Demikian beberapa hal yang perlu diperhatikan agar Perjanjian Pra-nikah memiliki kekuatan hukum. Jika masih bingung dan ingin mengetahui lebih detailnya, sobat Selaras dapat mengakses artikel lain atau konsultasi dengan tim kami. Konsultasikan masalah hukum anda dengan menghubungi tim Selaras!

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.  

Diva Lufiana, 2022, “Apa Itu Perjanjian Pranikah?”, diakses di (https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/30/203000065/apa-itu-perjanjian-pranikah-?page=all).

Sumber Gambar:

Pexels.com

Editor:

Bambang Sukoco, SH.

]]>