Halo Sobat Selaras!
“Suatu kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
– Subekti.
Menjadi seorang pebisnis merupakan impian banyak orang. Tentunya, diperlukan cara dan usaha untuk mengembangkan suatu bisnis. Akan tetapi, terdapat faktor-faktor yang menghambat kegiatan bisnis, salah satunya adalah tidak adanya suatu perjanjian yang mengatur. Faktor tersebut dapat diminimalisir jika memiliki kontrak yang jelas mengatur bisnis tersebut. Untuk mengetahui dasar-dasar kontrak, yuk simak artikel kali ini!
Hukum kontrak menurut Lawrence M. Friedman adalah perangkat hukum yang hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu. Sedangkan Michael D Bayles mengartikan sebagai aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Baca Juga: Ultra Petita dalam Vonis Perkara Pidana.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur yang tercantum pada hukum kontrak, diantaranya sebagai berikut:
1. Adanya kaidah hukum
Terdiri dari dua jenis, yaitu kaidah tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis merupakan kaidah hukum yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis ialah kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam bermasyarakat.
2. Subjek hukum
Subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3. Adanya prestasi
Prestasi merupakan apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban oleh debitur.
4. Kata sepakat
Pada Pasal 1320 KUHPerdata tertuang empat syarat sahnya perjanjian. Salah satu diantaranya, yaitu kata “sepakat”.
5. Akibat hukum
Akibat hukum timbul pada setiap perjanjian yang telah dibuat para pihak. Akibat hukum adalah munculnya hak dan kewajiban.
Buku III KUHPerdata mengatur tentang hukum kontrak. Buku ini terdiri atas 18 bab dan 631 pasal yang dimulai dari Pasal 1233 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata.
Syarat sahnya suatu perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 KUHPerdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KUHPerdata mengemukakan empat syarat sahnya perjanjian, diantaranya:
Mengenai cakap tidaknya seseorang, perlu diketahui siapa saja yang menurut hukum tidak cakap atau tidak punya kedudukan hukum untuk membuat perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu:
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah
Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 jo. Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari keempat syarat sah perjanjian tersebut di atas, masing-masing terbagi menjadi 2 jenis syarat perjanjian. Yang merupakan syarat subjektif merupakan kesepakatan kedua belah pihak dan kecakapan para pihak. Kemudian, untuk syarat objektifnya yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.
Baca Juga: Pro-Kontra Tunjangan Kinerja bagi PNS Di Lingkungan DJP.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan), akibatnya perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal), akibatnya perjanjian batal demi hukum.
Kontrak memiliki fungsi yang dibedakan menjadi fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Adapun fungsi yuridis dalam kontrak adalah memberikan kepastian hukum bagi para pihak-pihak. Sedangkan fungsi ekonomis merupakan menggerakan (hak milik) sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi lebih tinggi.
Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya suatu kontrak yang disepakati oleh dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur. Disebut pihak kreditur karena merupakan pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi. Adapun debitur adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemenuhan prestasi.
Dalam pelaksanaannya diketahui cara berakhirnya kontrak, yaitu dengan:
Pada artikel diatas sudah dijelaskan mengenai dasar-dasar kontrak, dari syarat sah perjanjian hingga berakhirnya kontrak. Yuk simak artikel lain di Selaras Law Firm agar tidak ketinggalan artikel menarik lainnya!
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sumber:
Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Sumber Gambar: pexels.com
Editor: Bambang Sukoco, S.H.
]]>
Halo Sobat Selaras!
Pada dasarnya, dalam hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja dibuktikan dengan adanya suatu perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut harus dapat memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan regulasi perlindungan bagi kedua belah pihak.
Bagaimana sih kepastian hukum bagi karyawan pada Perpu Cipta Kerja? Untuk lebih jelasnya, yukk simak artikel berikut ini!
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerjanya sering disebut sebagai pekerja kontrak diatur dalam:
Baca Juga: Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee.
Pengertian PKWT menurut Pasal 1 Angka 10 PP No. 35/2021 adalah Perjanjian Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha untuk mengadakan Hubungan Kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.
Dengan kata lain, karyawan yang memiliki perjanjian kerja berstatus PKWT dapat disebut sebagai karyawan kontrak atau hanya sementara. Meski dalam praktiknya perjanjian kerja tersebut dapat diperpanjang atau diperbaharui.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, yaitu pekerjaan yang berdasarkan pada jangka waktu tertentu, atau pekerjaan yang berdasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tersebut.
Pasal 81 Angka 15 Ayat (1) UU Cipta Kerja dan pada Pasal 5-9 PP No. 35/2021 menjelaskan bahwa PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama serta perpanjangannya tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
PKWT yang berdasarkan jangka waktu berlaku selama maksimal 5 tahun, PKWT dapat diperpanjang beberapa kali apabila pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT serta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun.
PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu didasarkan atas kesepakatan para pihak. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan hingga selesainya pekerjaan, dan tidak ada diatur batas waktu maksimalnya.
Jika perjanjian kerja berakhir, maka buruh/pekerja mendapatkan uang kompensasi menurut ketentuan Pasal 15 dan Pasal 17 PP No.35/2021 yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh pekerja/buruh. Uang kompensasi diberikan kepada pekerja/buruh yang masa kerjanya paling sedikit adalah 1 bulan secara berturut-turut.
PKWT yang diperpanjang, maka uang kompensasi akan diberikan saat masa perpanjangan berakhir. Pemberian uang kompensasi tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan berdasarkan PKWT.
Berdasarkan PP No. 35/2021 Pasal 17, Apabila salah satu pihak dalam hal ini pekerja maupun perusahaan mengakhiri hubungan kerja yang mana masa kontrak belum berakhir, maka pengusaha wajib memberikan uang kompensasi yang besarannya dihitung berdasarkan jangka waktu PKWT yang telah dilaksanakan oleh pekerja.
Pasal 81 Angka 13 Ayat (1) UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Pada dasarnya, perjanjian kerja yang dibuat dalam bentuk tertulis lebih menjamin kepastian hak dan kewajiban dari pekerja dan pengusaha, sehingga apabila di kemudian hari terjadi perselisihan maka akan sangat membantu proses pembuktian.
Baca Juga: Keabsahan dan Kepastian Hukum Perjanjian Pra-Nikah.
Konsekuensi atas PKWT yang dibuat dalam bentuk tidak tertulis, tidak dikenal dalam UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja tetap mensyaratkan agar perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bentuk tertulis, akan tetapi konsekuensi hukum atas tidak dipenuhinya syarat tersebut adalah tidak ada.
PKWT untuk Jangka waktu berdasarkan PP No. 35/2021 perjanjian kerja paling lama 5 (lima) tahun dapat dilakukan perpanjangan PKWT berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja dengan jangka waktu tidak lebih dari 5 Tahun. PP No. 35/2021 tidak mengatur akibat hukum apabila kontrak lebih dari 5 Tahun. Sementara PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu dapat dilakukan perpanjangan hingga pekerjaan tersebut selesai (tanpa batas waktu).
Merujuk pada karakteristik dari PKWT, terdapat potensi untuk terjadinya pengakhiran terlebih dahulu terhadap PKWT tersebut sebelum masa berlakunya habis, baik yang diinisiasi oleh Pemberi Kerja, maupun diinisiasi oleh Pekerja.
Untuk mengurangi potensi pengakhiran dini terhadap PKWT tersebut, di dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan diatur bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya masa berlaku PKWT, diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja tersebut hingga batas waktu berakhirnya PKWT.
Namun demikian, ketentuan tersebut diubah di dalam Pasal 17 PP No. 35/2021, bahwa Pemberi Kerja diwajibkan untuk memberikan uang kompensasi kepada Pekerja yang hubungan kerjanya berakhir berdasarkan PKWT, tanpa melihat pihak mana yang menginisiasi pengakhiran dini atas hubungan kerja tersebut.
Ketentuan di dalam Pasal 17 PP No. 35/2021 menyebutkan ‘Dalam hal salah satu pihak mengakhiri Hubungan Kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan di dalam PKWT…’, sehingga inisiator pengakhiran hubungan kerja sebelum berakhirnya PKWT tersebut dapat berasal dari Pemberi Kerja maupun Pekerja itu sendiri.
Lebih lanjut, di dalam frasa ‘Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (1)…’ kewajiban pembayaran kompensasi berada pada pihak Pemberi Kerja saja, tanpa memandang siapa pihak yang menginisiasi pengakhiran hubungan kerja tersebut. Padahal di dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan, kewajiban pembayaran kompensasi berada pada pihak yang menginisiasi pengakhiran hubungan kerja sehingga menciptakan suatu keseimbangan dalam hubungan hukum di antara para pihak.
Dalam Pasal 15 Ayat (1) jo. 17 PP No. 35/2021 tersebut bersifat kontradiktif dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Ketenagakerjaan. Hal tersebut mengingat bahwa ketentuan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, bukan termasuk ketentuan yang dicabut berdasarkan UU Cipta Kerja.
Sehingga, dari perspektif yuridis, seharusnya ketentuan di dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pihak yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya masa berlaku PKWT diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah Pekerja hingga batas waktu berakhirnya PKWT, masih berlaku.
Sobat Selaras, yang baru lulus dan pencari kerja artikel ini bisa untuk referensi dan pengayaan informasi sebagai bekal pada saat menerima serta membaca perjanjian kerja. Untuk mengetahui informasi hukum lainnya, sobat Selaras bisa loh langsung menghubungi tim Selaras Law Firm untuk berkonsultasi!
Semoga kita semua menjadi pekerja yang cerdas dan paham tentang aturan ketenagakerjaan. yukk baca artikel lain di Selaras Law Firm!
Dasar Hukum
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Sumber:
Nurul Listiyani, dkk. 2022, “Kajian Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Kontrak
Waktu Tertentu (Pkwt) Dalam Undang-Undang Cipta Kerja”, Jurnal Terapung, Vol.4, No. 2, ISSN: 2656-2928, diakses pada: https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/terapung/article/view/8230/4593.
Sumber Gambar: pexels.com
Editor: Bambang Sukoco, S.H.
]]>Halo sobat Selaras Law Firm?
Bagaimana kabarnya? Semoga sehat dan harus selalu bersemangat ya sobat.
Sebelum membuat kontrak bisnis tentunya para pihak melakukan negosiasi baik dilakukan sendiri maupun oleh lawyer.
Apakah sobat Selaras Law Firm tahu bahwa terkadang di tahap tersebut para pihak telah mencapai kesepakatan awal dan dituangkan dalam dokumen pra-kontrak?
Nah, apakah dokumen yang lebih dikenal dengan sebutan MoU mengikat untuk para pihak?
Bagaimana akibat hukum bilamana ada pihak yang melanggar MoU? Untuk mengetahui jawabannya mari kita bahas.
Baca Juga: Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan MoU (Memorandum of Understanding) adalah sebuah bentuk letter of intent atau pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal para pihak yang berencana untuk membuat kontrak atau perjanjian lain, tulisan tanpa komitmen atau tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal kesepakatan.
MoU tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari negosiasi dengan pihak ketiga.
Namun seringkali ditemukan bahwa para pihak telah menyepakati sebuah komitmen dan dituangkan dalam MoU.
Sedangkan menurut Munir Fuady, MoU merupakan perjanjian pendahuluan berisi hal-hal pokok yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengatur secara detail.
MoU (Memorandum of Understanding) selain digunakan sebagai kesepakatan awal para pihak juga mempunyai kegunaan lain, diantaranya:
Baca Juga: Disgorgement Fund sebagai Sarana Memperkuat Perlindungan Investor di Pasar Modal.
Negara common law seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat menganut prinsip bahwasanya isi dari dokumen MoU tidak mempunyai kekuatan mengikat terkecuali dinyatakan secara eksplisit mengikat didalamnya.
Maka segala bentuk pelanggaran yang tidak dinyatakan secara eksplisit mengikat para pihak, tidak memiliki akibat hukum dengan kata lain pelanggaran tersebut diperbolehkan.
Namun, apabila pihak yang dirugikan dapat membuktikan pihak yang melanggar telah berbuat itikad tidak baik atau menyesatkan dengan sikapnya yang seolah-olah memberikan persetujuan untuk melanjutkan transaksi bisnis maka pihak tersebut dapat mengajukan gugatan melanggar hukum ke pengadilan guna menjatuhkan sanksi.
Gugatan disini bukan termasuk wanprestasi sebab negara Common law menganggap dokumen pra-kontrak tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dinyatakan eksplisit mengikat.
Negara Civil Law seperti Indonesia mengakui MoU sebagai dokumen yang bersifat kontraktual atau mengikat meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit mengikat para pihak.
Hal ini karena pengadilan di negara Civil law mempertimbangkan elemen “niat atau kehendak” untuk menentukan sifat kontraktual.
Kehendak para pihak memiliki substansi bahwasanya adanya itikad para pihak untuk melakukan negosiasi, menyusun dokumen MoU, dan mengirimkan dokumen tersebut kepada para pihak untuk mendapatkan persetujuan sebagai dasar mengikatnya seluruh pihak.
Sehingga kehendak para pihak menjadikan MoU bersifat kontraktual dan mewajibkan untuk meneruskan negosiasi dengan itikad baik supaya tercapai suatu kesepakatan.
Dengan kata lain di negara Civil law MoU dianggap sebagai kontrak para pihak untuk melaksanakan negosiasi dengan itikad baik.
Maka segala bentuk pelanggaran atas MoU juga dianggap sebagai pelanggaran kontrak (wanprestasi) dan perbuatan melawan hukum (PMH).
Kekuatan mengikatnya MoU dapat dilihat dari Putusan BANI Nomor 203/XI/ARB-BANI/2004 dalam kasus antara PT AMARTA KARYA vs PT CALTEX PACIFIC INDONESIA yang menyatakan bahwa ada pengakuan MoU sebagai bagian dari kontrak.
Baca Juga: Hukum Waris menurut Kompilasi Hukum Islam.
Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwasanya MoU merupakan dokumen awal yang dibuat oleh pihak sebelum dituangkan dalam kontrak bisnis. Di negara penganut sistem common law menganggap MoU sebagai dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dinyatakan eksplisit didalamnya dan tidak ada akibat hukum atas setiap pelanggarannya namun tetap dapat diajukan gugatan bilamana terdapat bukti itikad tidak baik atau dalam hal ini menyesatkan pihak lain. Sedangkan di Negara civil law menganggap MoU sebagai dokumen yang bersifat kontraktual dan bersifat mengikat meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit sehingga pelanggaran terhadapnya dapat dinyatakan sebagai wanprestasi atau PMH.
Sekian pembahasan terkait “Kekuatan Hukum MoU sebagai Dokumen Pra-Kontrak”. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Sobat Selaras Law Firm ya!
Apabila Sobat Selaras Law Firm ingin bertanya atau berkonsultasi hukum bisa segera menghubungi kami di Selaras Law Firm ya!
Yuk jangan lupa baca juga artikel menarik lainnya hanya di Selaras Law Firm!
Sumber:
Afifah Kusuma, 2013, Kontrak Bisnis Internasional: Elemen-Elemen Penting dalam Penyusunannya, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim HS., dkk., 2014, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta.
Sumber Gambar: istockphoto.com
Editor: Bambang Sukoco, S.H.
]]>
Halo sobat Selaras Law Firm!
Bagaimana kabarnya? Semoga sehat dan harus selalu bersemangat ya sobat.
Sobat Selaras Law Firm tahu nggak kalau dalam kegiatan bisnis terdapat suatu dokumen bernama kontrak?
Nah, kontrak yang telah dibuat dimaksudkan untuk mengikat para pihak untuk melaksanakan maupun tidak melaksanakan sesuatu. Namun apakah setiap kontrak yang dibuat memiliki kekuatan mengikat para pihak?
Seringkali kontrak yang sebenarnya memiliki kekuatan mengikat justru tidak dapat dilaksanakan oleh para pihak. Mengapa demikian?
Kontrak bisnis internasional disepakati oleh dua atau beberapa negara yang tentunya memiliki ketentuan hukum yang berbeda.
Bilamana isi kontrak bertentangan dengan hukum atau melanggar ketertiban umum dari negara para pihak maka kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Lantas bagaimana agar kontrak tetap dapat dijalankan meskipun ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketertiban umum?
Agar tidak menerka-nerka lagi, mari kita bahas.
Baca Juga: Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.
Pada dasarnya hukum Indonesia mempunyai ketentuan bahwa setiap pihak memiliki hak untuk menentukan isi dari kontrak. Hal ini sebagai wujud adanya asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.”
Namun asas kebebasan berkontrak tidak mutlak bebas tanpa batas. Dalam suatu kontrak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yakni:
Sehingga kontrak bisnis internasional yang melibatkan Negara Indonesia harus memenuhi keseluruhan syarat sahnya perjanjian. Pelanggaran terhadap salah satu syarat dapat mengakibatkan kontrak tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan.
Kepatuhan terhadap syarat sahnya kontrak juga tetap berlaku manakala para pihak telah memperjanjikan hukum yang dipilih (choice of law).
Sebab choice of law hanya diterapkan oleh para pihak apabila muncul sengketa mengenai isi kontrak (wanprestasi) maupun sengketa di luar kontraknya seperti melanggar hukum ataupun penipuan.
Maka penentuan dapat dilaksanakannya kontrak tidak bergantung pada choice of law melainkan pada syarat sahnya kontrak.
Upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pencantuman pasal Severability.
Baca Juga: Disgorgement Fund sebagai Sarana Memperkuat Perlindungan Investor di Pasar Modal.
Severability merupakan persyaratan dalam kontrak yang menyatakan bahwa setiap pasal-pasal berdiri sendiri (independemt) sehingga bilamana ditemukan adanya ketentuan yang melanggar ketertiban umum maka perjanjian tidak dinyatakan batal secara keseluruhan.
Untuk mengatasi tidak dapat dilaksanakannya kontrak bisnis internasional karena bertentangan dengan ketertiban umum maka harus diatur lebih lanjut pada Pasal Severability pada boilerplate. Ada dua Pasal yang dapat diterapkan yakni :
Baca Juga: Hukum Waris menurut Kompilasi Hukum Islam.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwasanya klausul severability penting dicantumkan dalam kontrak bisnis internasional untuk menghindari adanya pembatalan kontrak secara keseluruhan akibat pelanggaran hukum atau ketertiban umum dari negara yang menjadi pihak dalam kontrak. Teknik pencantuman klausul severability yang dapat diterapkan yakni dengan menyebutkan bahwa ketentuan kontrak yang invalid tetap dapat dilaksanakan diluar yuridiksi negara dan ketentuan valid lain tetap mengikat para pihak.
Di Indonesia sendiri tidak ada pengaturan baku pencantuman klausul Severability di dalam kontrak. Sebab Indonesia menganut adanya asas kebebasan berkontrak maka seluruh substansi kontrak tergantung kesepakatan para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian.
Sekian pembahasan terkait “Pentingnya Pencantuman Klausul Severability dalam Kontrak Bisnis Internasional”. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Sobat Selaras Law Firm ya!
Apabila Sobat Selaras Law Firm ingin bertanya atau berkonsultasi hukum maupun membutuhkan jasa pembuatan kontrak bisa segera menghubungi kami di Selaras Law Firm ya!
Yuk jangan lupa baca juga artikel menarik lainnya hanya di Selaras Law Firm! So, jangan lupa juga untuk menantikan artikel-artikel menarik lainnya ya Sobat!
Sumber :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Afifah Kusuma, 2013, Kontrak Bisnis Internasional: Elemen-Elemen Penting dalam Penyusunannya, Sinar Grafika, Jakarta.
Sumber Gambar: pexels.com.
Editor: Bambang Sukoco, S.H.
]]>
Halo, Sobat Selaras!
Tentu Sobat Selaras sudah tidak asing lagi dengan yang namanya meterai, bukan?
Bagaimana tidak, di kalangan masyarakat kita saja masih banyak orang yang mengharuskan penggunaan meterai dalam membuat surat atas suatu perjanjian.
Lantas, apakah perjanjian akan tidak sah dan batal jika dalam surat perjanjian tersebut tidak menggunakan meterai?
Yuk, simak penjelasan berikut ini untuk menemukan jawabannya!
Definisi dari meterai dapat kita lihat pada Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai). Pasal 1 Angka 4 UU Bea Meterai tertuliskan bahwa:
“Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas Dokumen”.
Kemudian, pajak atas dokumen yang ada pada definisi meterai tersebut merupakan definisi dari bea meterai. Seperti pada Pasal 1 Angka 1 UU Bea Meterai yang bertuliskan bahwa:
“Bea Meterai adalah pajak atas Dokumen”.
Baca juga: Pengakuan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 12 Ayat (2) UU Bea Meterai, bentuk meterai terdiri atas:
1. Meterai tempel
Definisi meterai tempel ada pada Pasal 1 Angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.03/2021 Tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus pada Meterai Tempel, Kode Unik dan Keterangan Tertentu pada Meterai Elektronik, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemeteraian Kemudian (Permenkeu No.134/PMK.03/2021) yang tertuliskan bahwa:
“Meterai Tempel adalah Meterai berupa carik yang penggunaannya dilakukan dengan cara ditempel pada Dokumen”.
2. Meterai elektronik
Dalam Pasal 1 Angka 6 Permenkeu No.134/PMK.03/2021 tertuliskan bahwa:
“Meterai Elektronik adalah Meterai berupa label yang penggunaannya dilakukan dengan cara dibubuhkan pada Dokumen melalui sistem tertentu”.
3. Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Dalam Pasal 1 angka 8 Permenkeu No.134/PMK.03/2021 tertuliskan bahwa:
“Meterai Dalam Bentuk Lain ini adalah Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, dan teknologi percetakan”.
Mengacu pada ketentuan dalam Pasal 12 Ayat (2) Huruf c UU Bea Meterai, meterai jenis ini ditetapkan oleh menteri keuangan.
Baca juga: Cara Membeli E-Meterai.
Secara garis besar, fungsi meterai adalah alat untuk membayar pajak atas dokumen yang dapat digunakan sebagai alat bukti atau keterangan.
Terdapat 2 (dua) jenis dokumen yang dapat dikenakan bea meterai berdasarkan UU Bea Meterai, yaitu:
1. Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan suatu kejadian yang bersifat perdata
Maksud dari suatu kejadian yang bersifat perdata ialah kejadian yang masuk dalam ruang lingkup hukum perdata mengenai orang, barang, perikatan, pembuktian, dan kadaluarsa.
2. Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Lalu, apakah perjanjian akan tetap sah dan tidak batal jika dalam surat perjanjian tersebut tidak menggunakan meterai?
Untuk mengetahui hal tersebut, maka selanjutnya mari kita bahas mengenai apa yang menjadi syarat dari sah atau tidaknya suatu perjanjian.
Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menjadi syarat dari sahnya suatu perjanjian antara lain:
Apabila keempat syarat di atas telah terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat antara para pihak dapat dianggap sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak.
Jadi, Sobat Selaras tidak perlu khawatir mengenai keabsahan suatu perjanjian apabila pada saat membuat surat atas suatu perjanjian tersebut tidak menggunakan meterai.
Hal itu dikarenakan, selama perjanjian tersebut memenuhi keempat syarat di atas, maka perjanjian tersebut tetap sah.
Sekian penjelasan mengenai “Keabsahan Perjanjian Tanpa Meterai”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui lebih lanjut mengenai perjanjian atau hal lainnya, Sobat Selaras bisa menghubungi kami di Selaras Law Firm. Jangan lupa juga untuk nantikan artikel-artikel menarik selanjutnya ya!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 134/PMK.03/2021 Tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus pada Meterai Tempel, Kode Unik dan Keterangan Tertentu pada Meterai Elektronik, Meterai Dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemeteraian Kemudian
Subekti, (2017). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bandung: PT Intermasa.
Sumber Gambar:
pexels.com.
Editor: Bambang Sukoco, S.H.
]]>Halo Sobat Selaras!
Kalian tau nggak sih kalo Indonesia ini memiliki banyak potensi di bidang budaya, pariwisata, maupun kekayaan alam. Mayoritas penduduknya pun bergantung pada sektor pertanian, pengolahan lahan dan pemanfaatan sumber daya alam, so lahan atau tanah menjadi sangat penting dalam kacamata hukum.
Tapi, kalian tau nggak sih kalau tanah kita ada yang dikuasai oleh pihak asing?
Kok bisa ya? Padahal kan sudah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), hanya warga negara Indonesia yang memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia. Untuk lebih lanjutnya, yuk simak tentang Perjanjian Nominee!
Perjanjian Nominee adalah Perjanjian antara pihak dimana salah satu pihak menggunakan nama pihak lainnya digunakan untuk pembelian suatu benda seperti saham, tanah dan bangunan, dan lainnya. Secara Materiil pemilik asli dari benda tersebut bukan orang yang ada dalam bukti, tetapi orang yang meminjam nama.
Kata Nominee berasal dari bahasa Latin “by name of or under the name of designation of ….” yang berarti dengan nama atau di bawah nama penunjukan. Jadi Nominee berarti bahwa seseorang yang telah ditunjuk atau diajukan untuk bertindak menggantikan seseorang lainnya.
Baca Juga: Pendaftaran Sertipikat Tanah Elektronik
Dalam perjanjian Nominee terdapat pihak yang menunjuk Nominee yang dikenal sebagai beneficiary. Nominee mewakili kepentingan-kepentingan dari beneficiary dan karenanya Nominee dalam melakukan tindakannya harus sesuai dengan yang diperjanjikan dan tentunya harus sesuai dengan perintah yang diberikan oleh pihak beneficiary.
Perjanjian Nominee merupakan salah satu dari jenis perjanjian innominaat yaitu perjanjian yang tidak dikenal dalam KUHPerdata. Namun timbul, tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan KUHPerdata, perjanjian Nominee harus tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam Buku III KUHPerdata tentang perikatan.
Salah satu contoh perjanjian pinjam nama atau Nominee yaitu kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing (WNA). WNA menguasai dan memiliki bidang tanah hak milik di Indonesia.
WNA membeli sebidang tanah hak milik dengan menggunakan nama Warga Negara Indonesia (WNI), yaitu tanah hak milik yang nyatanya dibeli (dibayar) oleh WNA tersebut namun didaftarkan dengan atas nama WNI (de jure).
Guna kepastian hukum atas hak atas tanah yang dibelinya tersebut antara WNA dengan WNI dibuatkan dalam suatu perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik (sertifikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah WNA (de facto).
Perjanjian Nominee biasanya dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris untuk para pihak terutamanya oleh WNA dibuat dengan tujuan untuk mendapat kepastian hukum.
Akta tersebut dijadikan alat bukti yang kuat tentang hak atas kepemilikan tanah tersebut. Sehingga dalam bukti kepemilikan tanah dan atau bangunan atas nama WNI, namun secara kekuasaan dan kepemilikan atas nama WNA.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2020 disebutkan mengenai Perjanjian Pinjam Nama dalam rumusan kamar Perdata. Kaidah hukumnya yaitu “Penggunaan Pinjam Nama (Nominee) pemilik sebidang tanah adalah Pihak yang namanya tercantum dalam Sertifikat, meskipun tanah tersebut dibeli menggunakan uang/harta/aset milik WNA / pihak lain”.
Baca Juga: Asas-Asas Dalam Hukum Waris Islam
Dihubungkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata tentang 4 Syarat Sahnya Perjanjian yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu; dan
4) Suatu sebab yang halal.
Dalam Perjanjian Nominee tidak memenuhi syarat “suatu sebab yang halal” karena Perjanjian Nominee merupakan perjanjian penyelundupan hukum. Dikatakan sebagai penyelundupan hukum karena dalam hukum perjanjian Indonesia tidak ada pengaturan secara tegas mengenai perjanjian tersebut sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian atau keadaan kekosongan norma.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPA hanya Warga Negara Indonesia yang memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia, namun dalam perjanjian Nominee terdapat unsur melanggar aturan tersebut. Dalam Pasal 42 UUPA menyatakan bahwa WNA hanya boleh mempunyai tanah dan/atau bangunan yang berstatus hak pakai, dengan syarat WNA tersebut haruslah berkedudukan di Indonesia.
Walaupun dalam perjanjian memiliki asas bebas berkontrak namun perjanjian yang dilakukan oleh kedua pihak tidak boleh menyimpangi atau melawan hukum yang berlaku.
Sebab dibuatnya perjanjian ini adalah untuk melakukan hal yang dilarang oleh undang-undang, yaitu WNA menguasai dan mempunyai tanah hak milik. Dengan demikian, karena perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum (menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat) dan kemudian tanah dan/atau bangunan yang diperjanjikan akan jatuh kepada negara.
Jadi, dapat dipahami dari penjelasan diatas bahwa yang mendasari Perjanjian Nominee dalam perkara ini adalah penyelundupan hukum. Secara tidak langsung perjanjian tersebut bertujuan untuk memindahkan hak milik atas tanah tersebut kepada warga negara asing.
Sehingga, menghindari ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan Pasal 21 Ayat (1) UUPA yang secara jelas telah menyatakan bahwa Warga Negara Asing tidak dapat menguasai tanah di seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan hak milik, karena hanya warga negara Indonesia yang dapat menguasai tanah dengan status hak milik.
Perjanjian Nominee yang digunakan oleh warga negara asing untuk memperoleh hak milik atas tanah di Indonesia dinyatakan batal demi hukum.
Berakibat batal demi hukum disebabkan karena tujuan dari perjanjian ini untuk menyelundupkan hukum, sehingga bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu pada unsur “suatu sebab yang halal”.
Sobat Selaras yang membaca artikel ini semoga bukan salah satu pihak yang ikut serta dalam Perjanjian Nominee ini yahhh, untuk penjelasan lebih detail sobat Selaras bisa loh mengakses artikel lain maupun menghubungi tim kami untuk konsultasi lebih detailnya!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2020.
Diskusi Hukum. 2022, 1 Februari. Perjanjian Pinjam Nama dalam Kepemilikan Tanah. Youtube.https://www.youtube.com/watch?v=2mnpYXMdO3A&t=70s&ab_channel=DiskusiHukum.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Hallo Sobat Selaras Law Firm!
Kembali lagi dengan kami yang akan selalu memberikan informasi edukasi hukum. Jika kemarin kita sudah membahas tentang apa saja yang menjadi kewajiban dari yang menyewakan dalam sewa-menyewa.
Nah! Kali ini kita akan membahas hal-hal apa saja sih yang menjadi kewajiban penyewa dalam sewa-menyewa.
Yukk sobat selaras langsung saja kita simak pembahasan dibawah ini!!
Pihak penyewa harus memenuhi tiga kewajiban utama dalam sewa-menyewa, yaitu:
Dibawah ini akan kita bahas lebih dalam terkait dengan ketiga kewajiban utama dalam sewa-menyewa.
Kewajiban pertama pihak penyewa adalah memakai benda sewaan sebagai bapak rumah tangga yang baik, maksudnya kewajiban untuk memakainya seolah-olah benda itu kepunyaan sendiri, dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Apabila pihak penyewa memakai benda sewaan untuk keperluan lain dari yang menjadi tujuan nya sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pihak yang menyewakan, menurut keadaaan, maka pihak yang menyewakan dapat menuntut pembatalan perjanian sewa-menyewa seperti pada Pasal 1561 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Contohnya sewa-menyewa rumah kediaman, tujuanya adalah untuk keperluan rumah tangga keluarga, kemudian diubah tujuan nya menjadi rumah karaoke. Seharusnya pihak penyewa sebagai bapak rumah tangga yang baik, menghuni rumah dengan tujuan tempat tinggal.
Baca Juga: Pembuktian Perjanjian Secara Lisan Apabila Terjadi Sengketa.
Pihak penyewa bertanggung jawab untuk semua kerusakan yang terjadi pada benda yang disewakan selama waktu sewa-menyewa, kecuali apabila penyewa dapat membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi diluar kesalahannya, disebutkan pada Pasal 1564 KUHPerdata.
Namun pihak penyewa tidak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran, kecuali jika pihak yang menyewakan dapat membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan atas kesalahan penyewa seperti yang disebutkan pada Pasal 1565 KUHPerdata. Pada dasarnya, resiko kebakaran menjadi beban pemilik benda.
Pihak penyewa yang tidak melengkapi rumah yang disewa dengan perabot rumah secukupnya dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah tersebut, kecuali jika penyewa memberikan cukup jaminan untuk membayar uang sewa, disebutkan dalam Pasal 1581 KUHPerdata).
Maksud dari ketentuan Pasal 1581 KUHPerdata ini, apabila benda yang disewa itu adalah rumah kediaman, pihak penyewa wajib melengkapi rumah itu dengan perabot rumah secukupnya, guna menjadi jaminan untuk pembayaran uang sewa, namun jika penyewa memberikan cukup jaminan untuk membayar uang sewa, maka pihak penyewa tidak wajib mengisi dengan perabot secukupnya.
Kewajiban kedua penyewa adalah pembayaran uang sewa. Dalam Pasal 1560 butir (2) KUHPerdata disebutkan, bahwa pihak penyewa wajib membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan secara periodik atau sekaligus tergantung dari kesepakatan.
Dalam Pasal 1586 KUHPerdata disebutkan, sewa-menyewa kamar yang dilengkapi mebel harus dianggap telah dilakukan secara harian jika pembayaran uang sewa dilakukan setiap hari, bulanan jika dilakukan setiap bulan dan tahunan jika dilakukan setiap tahun.
Namun jika pembayaran uang sewa tidak dilakukan harian, bulanan dan tahunan maka sewa-menyewa dianggap telah dibuat menurut kebiasaan setempat.
Menurut ketentuan Pasal 1569 KUHPerdata, jika terjadi perselisihan mengenai jumlah uang sewa dalam sewa-menyewa tidak tertulis yang sudah berjalan dan tidak ada bukti pembayaran, maka pihak yang menyewakan harus dipercaya diatas sumpahnya, kecuali jika penyewa memilih supaya jumlah sewa ditaksir oleh orang yang ahli.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1581 KUHPerdata jelas bahwa perabot rumah dapat dijadikan jaminan pembayaran uang sewa, pemilik rumah sewa mempunyai hak istimewa terhadap perabot rumah apabila penyewa menunggak pembayaran uang sewa apabila tunggakan tersebut digugat ke pengadilan.
Kewajiban ketiga pihak penyewa adalah mengembalikan benda sewaan. Kewajiban ini muncul setelah sewa-menyewa berakhir, jika pihak penyewa menerima barang dalam keadaaan baik maka pngembaliannya juga dalam keadaan baik, setidaknya sesuai dengan isi perjanjian.
Jika kedua belah pihak telah membuat perjanjian soal rincian mengenai benda sewaan, maka penyewa wajib mengembalikkan benda sewaan menurut rincian ketika benda sewaan itu diterima, dengan pengecualian apa yang telah musnah atau berkurang nilainya karena ketuaan atau karena peristiwa yang tidak disengaja yang tidak dapat dihindarkan, yang disebutkan dalam Pasal 1562 KUHPerdata.
Selama sewa-menyewa berlangsung, mungkin penyewa telah memasang benda-benda keperluan pada rumah sewanya, seperti AC, TV, pompa air dll. Jika berakhir masa sewa-menyewa maka penyewa harus mengosongkan dan mengembalikan rumah sewaan kepada pihak yang menyewakan. Menurut Pasal 1567 KUHPerdata menyebutkan:
“Si penyewa diperbolehkan, pada waktu mengosongkan barang yang disewa, membongkar dan membawa segala apa yang ia dengan biaya sendiri telah menyuruh membuat pada barang yang disewa, asal pembongkaran dan pembawaan itu dilakukan dengan tidak merusak barang yang disewa.”
Demikian pembahasan terkait “Kewajiban Pihak Penyewa Dalam Sewa-Menyewa” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi lebih banyak lagi, langsung saja hubungi kami.
Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!
Sumber:
Undang-Undang No. 23 tahun 1847 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Sebuah kutipan yang menarik tentang perkawinan dari Surabhi Suhendra yaitu: “A happy marriage is about three things: memories of togetherness, forgiveness of mistakes and a promise to never give up on each other”.
Kutipan di atas sangat sesuai dengan makna dari perkawinan itu sendiri.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Dari pengertian di atas kita tahu ya Sobat Selaras kalo tujuan perkawinan itu sangatlah mulia. Bahkan banyak orang yang mengibaratkan perkawinan sebagai ibadah seumur hidup. Oleh karenanya sebelum melakukan perkawinan penting sekali untuk memilih dan menelusuri lebih jauh tentang pasangan kita nanti.
Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa banyak hal yang terjadi diluar kuasa kita. Meskipun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memilih pasangan yang terbaik tetapi tidak sedikit juga pasangan yang berujung perceraian.
Baca juga: Jenis-Jenis Kekayaan Intelektual.
Perceraian yang sah secara hukum, hanya perceraian yang dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Mengapa bisa terjadi perceraian pasti ada alasan yang mendasarinya.
Eh tapi sebenernya, alasan buat cerai itu ga bisa loh seenak sendiri karena alasan diperbolehkannya perceraian sudah ditentukan oleh negara. Apa aja nih alasannya?
Menurut Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian yaitu sebagai berikut:
Baca juga: Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum
Selanjutnya, menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, perceraian juga dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan dibawah ini:
Bagi calon pasangan suami istri yang beragama Islam dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Baca juga: Seputar Pembebasan Bersyarat
Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
Isi dari taklik talak itu tergantung para pihak yang membuatnya, yang terpenting isinya tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kemudian, apabila di masa mendatang keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak terjadi, talak tidak otomatis jatuh tetapi isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama terlebih dahulu.
Contohnya, dalam taklik talak bisa berisi sebagai berikut.
Apabila di masa mendatang suami melakukan perbuatan sebagaimana tercantum dalam taklik talak di atas, maka istri secara sah menurut hukum bisa menggugat cerai suaminya karena telah melanggar taklik talak.
Demikian ulasan seputar “Alasan-Alasan Perceraian yang Sah Menurut Undang-Undang” apabila Sobat Selaras mau tahu lebih detail tentang perkawinan yuk langsung saja menghubungi kami di Selaras Law Firm sekarang juga ya!
Nantikan artikel menarik selanjutnya!
Sumber:
Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Hallo Sahabat Selaras Law Firm!
Kembali lagi dengan kami yang akan selalu memberikan informasi edukasi hukum.
Kamu tahu gak? Menurut Pasal 1381 KUHPerdata, ada sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Simak pembahasan nya dibawah ini untuk mengetahui sepuluh cara hapusnya sebuah perikatan, here check it out!
Yang dimaksudkan dengan pembayaran dalam konteks ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dengan kata lain, perikatan berakhir karena pembayaran dan penyerahan benda.
Jadi dalam hal objek perikatan adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang. Dalam hal objek perikatan adalah suatu benda maka perikatan berakhir setelah penyerahan suatu benda. Dan apabila dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
Jika kreditur menolak pembayaran dari debitur, maka debitur berhak melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya tersebut, dan apabila kreditur menolaknya, maka debitur menitipkan pembayaran tersebut di pengadilan negeri.
Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan pembayaran di pengadilan negeri tersebut berlaku sebagai pembayaran bagi debitur dan membebaskan debitur dari utangnya asal penawaran itu sesuai dengan Undang-Undang dan apa yang dititipkan di pengadilan negeri sebagai pembayaran tersebut atas tanggungan kreditur.
Dengan demikian perikatan menjadi hapus (Pasal 104 KUHPerdata), agar penawaran pembayaran sah maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Dilakukan kepada debitur atau kuasanya
b. Dilakukan oleh debitur yang wenang membayar
c. Mengenai semua uang pokok bunga dan biaya yang telah ditetapkan
d. Waktu yang ditetapkan telah tiba
e. Syarat dimana utang dibuat telah dipenuhi
f. Penawaran pembayaran dilakukan ditempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah disetujui
g. Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaris atau juru sita disertai dua orang saksi
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru, kreditur lama dan kreditur baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru maka terjadilah pergantian objek perikatan yang disebut “novesi objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal pergantian subjeknya maka jika debiturnya yang diganti, pembaruan ini disebut “novesi subjektif aktif”.
Baca Juga: Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum.
Dikatakan ada perjumpaan utang apabila utang piutang kreditur dan debitur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan tersebut maka utang piutang lama lenyap.
Misal: Si Dita mempunyai hutang sepuluh juta rupiah kepada Indah. Sebaliknya Indah memiliki utang pada Dita sebesar delapan juta rupiah. Setelah diperhitungkan ternyata Dita masih berutang kepada Indah sebesar dua jutah rupiah.
Menurut Pasal 1436 KUHPerdata, pencampuran utang terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. Pada pencampuran utang ini, utang-piutang menjadi lenyap.
Misal: Dita sebagai ahli waris memiliki utang pada Ahmad sebagai pewaris. Kemudian Ahmad meninggal dunia dan Dita sebagai ahli waris menerima warisan termasuk juga utang atas dirinya. Dalam hal ini utang lenyap demi hukum
Pembebasan utang ini dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menhendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan hak nya untuk pembayaran.
Menurut Pasal 1438 KUHPerdata, pembebasan suatu utang tidak boleh didasarkan pada persangkaan, harus dibuktikan. Pasal 1439 KUHPerdata menyatakan bahwa pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Menurut pasal 1444 KUHPerdata apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah,, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang bukan karena kesalahan debitur dan sebelumya dial alai menyerahkan nya pada waktu yang telah ditentukan, perikatan nya menjadi lenyap (hapus). Akan tetapi apabila mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah missal pencurian maka musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitur (orang yang mencuri) untuk mengganti harga nya.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat subjektif maka perikatan itu tidak “batal” tapi “dapat dibatalkan” (verniegbaar, voidable).
Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada pengadilan negeri dengan 2 cara, yaitu:
a. Cara Aktif
Menuntut pembatalan ke pengadilan negeri dengan cara mengajukan gugatan
b. Cara Pasif
Menunggu sampai di gugat dimuka pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan tentang kekurangan perikatan.
Syarat batal adalah ketentuan isi perikatan yang di setujui oleh kedua belah pihak, syarat dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (Nietig, Void) sehingga perikatan menjadi hapus.
Misal: Akbar diberi amanah untuk menempati rumah milik ayahnya dan boleh menyewakan rumah tersebu. Keuntungan yang diperoleh dari penyewaan tersebut menjadi hak Akbar. Tetapi dengan syarat hanya menerima penyewa laki-laki, apabila syarat tersebut dilanggar dengan menerima penyewa perempuan walaupun dengan harga mahal, mengakibatkan perikatan batal
Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 1967 KUH Perdata mengatur:
“Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk”.
Nah demikian pembahasan mengenai “Sebab-Sebab Hapusnya Perikatan Dalam KUHPerdata” apabila sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi lebih lanjut, bisa langsung menghubungi kami di Selaras Law Firm. Nantikan artikel menarik lain nya yang dapat menambah pengetahuan sobat selanjutnya!
Sumber:
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1847 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Halo, Sobat Selaras Law Firm!
Misal nih sudah janjian mau nonton ke bioskop bareng atau mau ngetrip bareng eh tiba-tiba batalin janji secara sepihak. Sobat selaras pernah nggak sih dijanjiin sama teman/pacar tapi malah yang janji yang mengingkari janjinya sendiri?
Nah, kalau seperti itu kasusnya kita bisa nggak sih menuntut pembuat janji untuk memenuhi janjinya? Yuk kita bahas!
Meskipun perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata tetapi dalam KUHPerdata tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perikatan itu sendiri.
Mariam Darus Badrulzaman, mendefinisikan perikatan sebagai hubungan (hukum) yang terjadi di antara dua orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Subekti mendefinisikan perikatan sebagai suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih atau dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Menurut Hofmann, Perikatan atau ”Verbintenis” adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu, seseorang mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
Baca juga: Cryptocurrency Di Indonesia: Hubungan Para Pihak Dalam Transaksi Aset Crypto!
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada empat unsur dalam perikatan, yaitu:
Hubungan hukum berbeda dengan hubungan yang ada dalam pergaulan hidup. Hubungan hukum ialah hubungan yang diatur oleh hukum sehingga ada satu pihak yang dilekatkan “hak” dan “kewajiban” pada pihak lainnya. Dalam hubungan hukum, apabila ada pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak tersebut dapat dituntut pemenuhannya.
Kekayaan, yang dimaksud dengan kriteria perikatan adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum, sehingga hubungan hukum itu dapat disebut suatu perikatan.
Untuk menentukan apakah suatu hubungan itu merupakan perikatan, sekalipun hubungan itu tidak dapat dinilai dengan uang, akan tetapi masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan hukum itu diberi akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan. Jadi, biasanya kekayaan disini dapat dinilai dengan uang tetapi ciri nilai uang bukanlah unsur yang mutlak kekayaan dalam perikatan.
Pihak-pihak atau disebut sebagai subyek perikatan adalah bahwa hubungan hukum harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak yang berhak atas prestasi atau pihak yang aktif adalah pihak kreditur atau yang memiliki piutang (hak), sedangkan pihak yang wajib memenuhi prestasi adalah pihak pasif yaitu debitur atau yang memiliki utang (kewajiban).
Objek hukum dari perikatan adalah prestasi. Jadi, prestasi adalah apa yang harus dipenuhi oleh debitur dan merupakan hak dari kreditur. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, ada tiga wujud prestasi yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
Baca juga: Tindakan Pengawasan Bagi Pelaku Usaha: Inspeksi Lapangan Rutin Dilakukan!
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata, dijelaskan bahwa perikatan dapat dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang.
Terkait perjanjian diatur dalam Pasal 1313-1341 KUHPerdata. Contoh perikatan yang lahir karena perjanjian misalnya perikatan dapat lahir karena ada subjek hukum yang melakukan perjanjian jual beli dan perjanjian pinjam meminjam.
Kemudian, dalam Pasal 1352 KUHperdata dijelaskan bahwa perikatan yang lahir dari undang-undang adalah perikatan yang bersumber dari undang-undang saja, dan perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia. Perikatan yang bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang menurut hukum (halal) dan perbuatan yang melanggar hukum.
Contoh perikatan yang lahir dari undang-undang saja, misalnya kewajiban yang timbul dalam hubungan antar tetangga (625 KUHPerdata) dan kewajiban alimentasi di antara keluarga (Pasal 104 KUHperdata).
Contoh perikatan yang lahir karena perbuatan manusia yang halal misalnya, perbuatan mewakili orang lain (zaakwaarneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 1354-1358 KUHPerdata dan pembayaran hutang yang tidak diwajibkan (/onverschuldigde betaling) sebagaimana diatur dalam Pasal 1359 KUHPerdata.
Contoh perikatan yang lahir karena perbuatan manusia yang melanggar hukum misalnya wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1354-1358 KUHPerdata
Jadi, perjanjian merupakan bagian dari perikatan ya Sobat Selaras Law Firm. Perikatan sendiri ada empat unsur seperti yang dijelaskan sebelumnya. Salah satu unsur perikatan yaitu hubungan hukum. Agar suatu hubungan bisa bisa dikatakan sebagai hukum maka harus ada hukum yang mengatur tentang hubungan tersebut.
Jadi pertanyaannya, apakah dalam hubungan dengan teman/pacar ada hukum yang mengaturnya?
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ada yang mengatur tentang hubungan orang dengan teman/pacar. Jadi, apabila teman/pacar mengingkari janjinya maka secara hukum kita tidak dapat menuntut teman/pacar untuk memenuhi janjinya.
Mungkin bisa saja dilakukan perjanjian teman/pacar sehingga hubungan bisa menjadi hubungan hukum. Akan tetapi, apakah harus seribet itu hanya sekedar untuk kepentingan sesaat? Mengingat dalam membuat perjanjian ada syarat-syarat yang perlu untuk dipenuhi.
Meskipun jawabannya kembali kepada para pihak tetapi sebenernya kurang efisien dan efektif apabila hanya sekedar mau nonton ke bioskop bareng atau mau ngetrip bareng atau kesenangan lainnya dengan teman/pacar harus membuat perjanjian terlebih dahulu.
Baca juga: Perjanjian Tanpa Meterai, Apakah Sah?
Demikian penjelasan terkait “Pembatalan Janji Sepihak oleh Pacar, Apakah Bisa Dilakukan Penuntutan?” apabila Sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih lanjut terkait perikatan bisa langsung hubungi kami di SelarasLawFirm sekarang juga ya!
Nantikan artikel menarik selanjutnya Sobat Selaras Law Firm!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Busro, A. (2017). Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata (2nd ed.). Pohon Cahaya.
Subekti. (2017). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>