Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /home/slf/public_html/index.php:1) in /home/slf/public_html/wp-includes/feed-rss2.php on line 8
Hukum Properti – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com Selaras Law Firm Fri, 09 Dec 2022 05:20:12 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.2 https://selaraslawfirm.com/wp-content/uploads/2021/11/cropped-icon-32x32.png Hukum Properti – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com 32 32 Hak Tanggungan Atas Tanah Menurut Hukum Positif https://selaraslawfirm.com/hak-tanggungan-atas-tanah-menurut-hukum-positif/ https://selaraslawfirm.com/hak-tanggungan-atas-tanah-menurut-hukum-positif/#comments Fri, 09 Dec 2022 05:20:12 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1445 Oleh: M Ilham Akbar Lemmy, S.H.

Hallo Sobat Selaras Law Firm

Kembali lagi dengan kami yang akan selalu memberikan informasi edukasi hukum, kali ini kita akan membahas terkait hak tanggungan dalam hukum positif Indonesia.

Penasaran yaaa? Yuk simak pembahasan dibawah!

Definisi Hak Tanggungan

Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UUHT”) mendefinisikan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda lain nya yang satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang.

Hak Tanggungan memberikan perlindungan dan kedudukan yang istimewa kepada Kreditur (“orang atau badan usaha yang meminjamkan utang”) tertentu dari Kreditur lainnya terhadap hak atas tanah yang dijaminkan dengan catatan apabila Debitur (“orang atau badan usaha yang menerima pinjaman uang”) melanggar janji. 

Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang Debitur, sehingga keistimewaan ini disukai pihak bank sebagai Kreditur karena dapat dengan mudah melakukan pengeksekusian terhadap objek jaminan, apabila Debitur wanprestasi.

Dengan arti kata lain, bahwa Hak Tanggungan merupakan salah satu jenis hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang hanya memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk memperoleh pelunasan piutangnya secara mendahulu dari Kreditur-Kreditur lainnya.

Baca Juga: Hak-Hak Atas Tanah sebelum Dan Sesudah Lahirnya UUPA

Dasar Hukum Hak Tanggungan

Sebelum lahirnya UUHT, jaminan atas tanah dikenal dengan sebutan Hipotik sebagai diatur dalam Buku Kedua BAB XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUHPerdata dan Creditverband sebagaimana diatur dalam Statsblad Tahun 1908 Nomor 542. 

Dengan diberlakukannya UUHT maka ketentuan tentang Hipotik atas tanah dan ketentuan Creditverband dinyatakan tidak berlaku lagi, penegasan terhadap hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 57 UUPA. Sejak itu pula, UUHT merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang tertulis.

Saat ini Hak Tanggungan diatur dalam beberapa aturan, yaitu:

  1. UUPA khususnya Pasal 25, 33, 39 mengenai Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan sebagai objek Hak Tanggungan dan Pasal 51.
  2. Undang-Undang No. 4 Thn 1996 Tentang  Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).
  3. PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah.
  4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional  Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, Dan Sertifikat Hak Tanggungan.
  5. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.
  6. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan Jo.  Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.

Tahapan Pembebanan Hak Tanggungan

Secara garis besar tahap pembebanan Hak Tanggungan terdiri atas 2 (dua) tahapan yaitu:

1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Tahap ini dimulai dari pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dengan didahului penandatanganan perjanjian kredit yang dijaminkan oleh Debitur kepada Kreditur.

APHT berisikan hal-hal yang sifatnya wajib dicantumkan dan yang tidak wajib dicantumkan. Untuk isi akta yang bersifat wajib maka menjadi syarat sahnya APHT.

Jika tidak dicantumkan secara lengkap mengakibatkan APHT batal demi hukum. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialisasi dari Hak Tanggungan, baik mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin.

2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan

Pada tahap ini pelaksanaannya berada pada Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran Hak Tanggungan juga sekaligus merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. 

Sebab salah satu dari objek pendaftaran tanah adalah Hak Tanggungan, sebagaimana disebutkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Peraturan Pendaftaran Tanah. Pasal 13 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 

Hal tersebut karena penandatanganan APHT di hadapan PPAT baru memenuhi syarat spesialitas dari Hak Tanggungan saja. tetapi belum memenuhi syarat publisitas. 

Untuk memenuhi syarat publisitas maka pemberian Hak Tanggungan yang dimuat dalam APHT harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. 

Baca Juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Tidak Harus Ke Pengadilan, Ada Cara Lain!

Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. 

Hak Tanggungan dikatakan ada sejak tanggal buku tanah Hak Tanggungan yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. 

Sebagai tanda adanya bukti Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.

Demikian pembahasan terkait “Hak Tanggungan Atas Tanah Menurut Hukum Positif” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi atau membutuhkan pendampingan hukum bisa langsung saja hubungi kami. 

Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!

Sumber: 

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 184Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Staatsblad Tahun 1908 Nomor 542.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional  Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, Dan Sertifikat Hak Tanggungan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan Jo.  Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.

Sumber Gambar:

www.pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/hak-tanggungan-atas-tanah-menurut-hukum-positif/feed/ 2
Pemilik Surat Keterangan Penguasaan Tanah dan Sertipikat Hak Milik, Apa Bedanya? https://selaraslawfirm.com/pemilik-surat-keterangan-penguasaan-tanah-dan-sertipikat-hak-milik-apa-bedanya/ https://selaraslawfirm.com/pemilik-surat-keterangan-penguasaan-tanah-dan-sertipikat-hak-milik-apa-bedanya/#comments Sun, 09 Oct 2022 11:12:50 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1249 Oleh: M Ilham Akbar Lemmy, S.H.

“Pada saat ini jumlah sumber daya tanah semakin berkurang sementara jumlah penduduk semakin banyak, akibatnya lahan untuk permukiman semakin menipis”

Hallo Sahabat Selaras Law Firm!

Secara yuridis, tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, lantas apakah Pemilik Surat Keterangan Penguasaan Tanah dan Sertipikat Hak Milik memiliki kekuatan hukum yang sama? 

Mari kita simak pembahasan dibawah ini!

Definisi Tanah

Tanah dalam pengertian hukum adalah permukaan bumi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi: 

“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”

Pengertian Pendaftaran Tanah

Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam Pasal 1 angka I Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, 

Tujuan pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Tujuan Pendaftaran Tanah

Dalam Pasal 19 ayat 2 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria , pendaftaran tanah meliputi:

  1. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah
  2. Pendaftaran Hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi : 

  1. Kepastian status hak yang di daftar. Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti status hak 
  2. Kepastian Subjek hak. Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (Warga Negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang secara bersama-sama, atau badan hukum (badan hukum privat atau badan hukum publik). 
  3. Kepastian objek hak. Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti letak tanah, batas-batas tanah, dan ukuran (luas) tanah. 

Sertipikat Hak Milik

Hak atas tanah ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, juga bumi, air, dan ruang yang berada di atasnya. Hak atas tanah ini merupakan bukti kewenangan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, mencakup bumi, air, dan ruang yang berada di atasnya.

Sertipikat Hak Milik (“SHM”) adalah jenis sertipikat yang memiliki legalitas yang paling kuat. SHM tidak memiliki batas waktu dan hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Hak atas tanah ini dapat diberikan dan dimiliki oleh orang, baik perseorangan, orang lain, ataupun badan hukum. Meski semua hak atas tanah memberikan kewenangan bagi pemegangnya untuk menggunakan tanah yang tercantum dalam sertipikat, tapi masing-masing hak memiliki ciri khusus. Tujuan penggunaan tanah dan batas waktu penggunaan tanah pun berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.

Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT)

Surat Keterangan Tanah atau sekarang disebut dengan Surat Keterangan Penguasaan Tanah yang mana merupakan alas hak yang banyak dipergunakan di berbagai daerah. Surat Penguasaan yang dahulu nya dikuasai oleh seseorang diterbitkan surat oleh Kepada Desa/Lurah berupa izin tebas tebang, untuk membuktikan mereka dapat mengakui tanah tersebut maka dikeluarkan Surat keterangan tanah/Surat Keterangan Penguasaan Tanah.

Kekuatan hukum Surat Penguasaan Tanah (SPT) kepala desa dapat dipahami bahwa kedudukan Kepala Desa ditinjau dari Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, berbunyi: Pasal 7 ayat (2) disebutkan: “Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT sementara, yaitu kepala Desa/Lurah.

Berdasarkan bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat yang berupa surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh Kepala Desa yang disahkan oleh Kecamatan setempat berdasarkan Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dikategorikan sebagai alas hak yang diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah.

Tetapi setelah terbitnya Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1756/15.I/IV/2016, yang mana isi dari surat edaran tersebut ialah menyederhanakan proses pendaftaran tanah, maka keberadaan surat keterangan penguasaan tanah menjadi tidak jelas. 

Adapun yang menjadi tujuan terbitnya surat edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1756/15.I/IV/2016 ini adalah untuk menjamin kepastian hukum atas hak tanah masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendaftaran tanah

Maka dapat disimpulkan bahwa walaupun Surat keterangan tanah merupakan alat bukti tertulis di bawah tangan yang kekuatan pembuktiannya tidak sekuat Sertipikat Hak Milik, namun karena Surat keterangan tanah tersebut merupakan surat-surat yang dikategorikan alas hak atau data yuridis atas tanah sehingga dijadikan syarat kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah.

Nah demikian pembahasan mengenai perbedaan “Pemilik Surat Keterangan Penguasaan Tanah dan Sertipikat Hak Milik” apabila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih dalam bisa langsung menghubungi kami di Selaras Law Firm. Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat selanjutnya!

Sumber:

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Media Neliti “Kekuatan Hukum Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) Sebagai Bukti Hukum Penguasaan Atas Sebidang Tanah (Studi Di Kota Pontianak)” https://media.neliti.com/media/publications/209799-kekuatan-hukum-surat-keterangan-penguasa.pdf, Pada Tanggal 25 September 2022.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/pemilik-surat-keterangan-penguasaan-tanah-dan-sertipikat-hak-milik-apa-bedanya/feed/ 1
Peraturan Terhadap Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Bagi Orang Asing di Indonesia https://selaraslawfirm.com/peraturan-terhadap-pemilikan-rumah-tempat-tinggal-bagi-orang-asing-di-indonesia/ https://selaraslawfirm.com/peraturan-terhadap-pemilikan-rumah-tempat-tinggal-bagi-orang-asing-di-indonesia/#respond Wed, 28 Sep 2022 10:55:07 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1215 Oleh: Dian Dwi Kusuma Astuti, S.H.

Penanaman Modal Investasi yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (“WNA”) di Indonesia, dalam bidang Industri, jelas akan memerlukan ketersediaan lahan berupa tanah untuk keperluan usahanya tersebut. WNA juga membutuhkan sarana dan prasarana untuk menjalankan aktivitasnya di Indonesia, seperti sarana perkantoran dan tempat tinggal.

Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (“UUPA”) mengatur berbagai macam hak atas tanah, untuk Orang Asing diatur pada Pasal 9, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 UUPA, Pasal 9 ayat (1) UUPA, dan hanya dapat diberikan Hak Pakai.

Pemberian kebijakan Orang Asing sebagai salah satu subjek hukum yang diperbolehkan memiliki hak atas tanah di Indonesia secara yuridis telah diatur dalam Pasal 42 UUPA, yang menyatakan bahwa Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki hak atas tanah dengan dasar Hak Pakai.

Pasal 42 UUPA, menyebutkan bahwa Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
a) Warga Negara Indonesia.
b) Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.
c) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pengertian Orang Asing diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 (“PP 103/2015”) tentang  Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia, yang menyebutkan bahwa:

Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia (“WNI”) yang keberadaanya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia.

Kepastian hukum sangat penting bagi Orang Asing dan Pemerintah dalam pengambilan keputusan. Adanya aturan yang tidak secara tegas mengaturnya tentunya akan terjadi keragu-raguan dan mungkin terjadi penyeludupan hukum. Meskipun Hak Pakai bagi WNA telah diatur dalam PP 103/2015, namun Hak Pakai masih dianggap tidak mampu memberikan kepastian hukum bagi para WNA dan pasangan WNA dan WNI.

Undang-undang Perkawinan bagi WNA dan WNI memiliki hak campur, yaitu harta dimiliki bersama. Baik WNA maupun WNI yang menikah, tidak bisa membeli rumah dengan hak milik kecuali dengan perjanjiian pranikah/perjanjian pemisahan harta. Perjanjian ini harus dibuat di
hadapan notaris.

Kebijakan mengenai Orang Asing dan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian
bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, diatur dalam beberapa Peraturan
Perundang-undangan, antara lain:

  1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945/Pasal 33 Ayat (3).
  2. Undang-undang Darurat Nomor 9 Tahun 1955 tentang Kependudukan Orang Asing.
  3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
  4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
  5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
  6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
  7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan
    Kawasan Pemukiman.
  8. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun.
  9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai Atas Tanah.
  10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan
    Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
    Indonesia.
  11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 tahun 1992 tentang
    Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha
    Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing.
  12. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16
    tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak
    Pakai dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai.
  13. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
    Nomor 29 tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan Atau Pengalihan
    Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Asing
    yang Berkedudukan di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka WNA yang berkedudukan di Indonesia
atau BHA yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan
demikian tidak dibenarkan WNA atau Badan Hukum Asing (“BHA”) memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik (HM). 

Namun demikian, UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan bagi WNA dan BHA untuk mempunyai Ha katas Tanah di Indonesia. WNA dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status Hak Pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan WNI diatas segalagalanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis.

Demikian pembahsan mengenai “Peraturan Terhadap Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Bagi Orang Asing di Indonesia” bagi Sobat Selaras Law Firm yang ingin mengetahui informasi lebih lanjut dapat segera menghubungi kami di SelarasLawFirm.com. Nantikan artikel menarik selanjutnya!

Sumber:

Dewik Kusumawati. 2019. Pengaturan Sanksi Hukum Terhadap Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Bagi Orang Asing di Indonesia. Jurnal Hukum Prasada. Vol. 6. No. 1.

Sutadi. 2009. Tinjauan Hukum Pertanahan. Jakarta: Pradnya Paramitha.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H. 

]]>
https://selaraslawfirm.com/peraturan-terhadap-pemilikan-rumah-tempat-tinggal-bagi-orang-asing-di-indonesia/feed/ 0
KPR Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen https://selaraslawfirm.com/kpr-dalam-perspektif-perlindungan-konsumen/ https://selaraslawfirm.com/kpr-dalam-perspektif-perlindungan-konsumen/#comments Wed, 21 Sep 2022 11:42:50 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1194 Oleh: Dian Dwi Kusuma Astuti, S.H.

Rumah merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian besar rakyat indonesia, selain sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Banyaknya permasalahan perlindungan konsumen dalam transaksi jual beli rumah disebabkan karena banyak konsumen yang tidak memahami sistem perhitungan bunga Kredit Pemilikan Rumah.

Hal ini disebabkan pada saat sebelum transaksi penjelasan petugas bank kepada konsumen masih minim, hanya mayoritas kewajiban konsumen, ini mendandakan minimnya pengetahuan konsumen tentang hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) dengan bank, 

Minimnya pengetahuan bagi konsumen berpotensi posisi konsumen akan menjadi lemah jika kedepan terjadi permasalahan hukum terutama terkait perhitungan suku bunga, penyelesaian sengketa, take over kredit, dan risiko gagal bayar dalam sistem kredit kepemilikan rumah.

Pihak konsumen (debitur) yaitu pihak pembeli rumah yang dibangun oleh developer dengan uang yang dipinjam dari bank. Kewajiban konsumen adalah membayar sesuai syarat dan cara pembayaran dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) atau Akta Jual Beli (“AJB”). Jika terlambat maka didenda atau ditegur, dan apabila jika tidak bisa membayar maka perjanjian dibatalkan dan uang yang dibayar dipotong ganti rugi pengembang.

Pihak bank sebagai pemberi kredit memiliki kewajiban memberikan bantuan fasilitas kredit dalam bentuk uang yang dipergunakan oleh debitur untuk membayar rumah yang dibeli dari developer sesuai porsi yang dimohonkan oleh pemohon kredit. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dengan fungsi bank yaitu sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat.

Berdasarkan penggolongan kredit, KPR termasuk dalam kredit konsutif, karena kredit diberikan kepada debitur pada lazimnya dipergunakan untuk membeli rumah sebagai tempat tinggal/dihuni. 

Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan yang dibuat oleh Bank, disebutkan apabila jaminan berupa rumah dan tanah tersebut dianggap kurang, maka debitur menambah benda tertentu lainnya yang ditetapkan bank untuk dijadikan jaminan tambahan.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Pihak-pihak dalam KPR

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) sampai dengan (4) menyatakan setiap konsumen dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak yang bersangkutan. Ada dua jenis penyelesaian yang sering dilakukan konsumen jika terjerat masalah yaitu:

1. Penyelesaian sengketa secara damai. Adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan ataupun BPSK dan tidak bertentangan dengan UUPK. 

2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga tertentu. Jika damai tidak lagi bisa menyelesaikan masalah maka sesuai UUPK Pasal 45 ayat (1) setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Perlindungan konsumen sesungguhnya dimulai sejak adanya niat pelaku usaha untuk menawarkan produknya kepada calon konsumen dan berlanjut pada masa terjadinya transaksi hingga masa perawatan atau adanya jaminan perawatan pada saat berakhirnya transaksi. Konsumen perumahan berhak mendapatkan produk konstruksi yang sesuai dengan keinginan sebagaimana tertuang dalam brosur yang ditawarkan/dijanjikan oleh pihak pengembang. 

Dilihat dari sisi hukum perlindungan konsumen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun telah sejalan dengan semangat perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindugan konsumen 

Dimana dalam kedua Undang-Undang tersebut, dimana setiap orang berhak pengajuan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman atau rumah susun yang merugikan masyarakat

Demikian pembahasan mengenai “Kredit Pemilikan Rumah Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen”, apa bila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui informasi lebih lanjut dapat menghubungi di SelarasLawFirm.com. nantikan artikel menarik selanjutnya!

Sumber:

Akbar Pandu, 2020, Kredit Pemilikan Rumah Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen, Jurnal Magister Ilmu Hukum, Vol. V No. 1.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/kpr-dalam-perspektif-perlindungan-konsumen/feed/ 2
Pemasaran Properti Dengan Sistem Pre Project Selling https://selaraslawfirm.com/pemasaran-properti-dengan-sistem-pre-project-selling/ https://selaraslawfirm.com/pemasaran-properti-dengan-sistem-pre-project-selling/#comments Mon, 19 Sep 2022 08:58:10 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1191 Oleh: Dian Dwi Kusuma Astuti, S.H.

Maraknya pembangunan perumahan beberapatahun terakhir ini menimbulkan persaingan yang sangat ketat dalam menarik pembeli. Dampaknya adalah timbul cara yang praktis dan cepat untuk menjual properti baikyang berupa perkantoran, perumahan maupun apartemenoleh para pengembang terutama oleh divisi marketing (pemasaran) yang dikenal dengan sistem pre projectselling.

Konsep permasaran ini menjadi tren pada saat ini, terutama bagi para pengembang proyek pemukiman (developer) biasanya dilakukan oleh pengembang dengan melakukan penjualan atau pemasaran sebelum produk properti yang bersangkutan terwujud.

Konsep pre project selling sebenarnya merupakan suatu test pasar untuk mengetahui bagaimana reaksi konsumen terhadap produk properti yang dipasarkan. Dalam  perkembangannya,  test  pasar  yang  semula tertutup, kemudian dalam praktek dibuat terbuka dan dimanfaatkan  langsung  oleh  pengembang.

Daya tarik konsep pemasaran pre project selling ini sangat besar jika dilihat dari berbondong-bondongnya konsumen atau orang-orang yang mengunjungi acara pre launching atau pro sale dan sejenis ini.  Biasanyapara calon konsumen tergiur potongan harga sebesar 15% sampai dengan  20%  yang  diberikan oleh pengembang.  

Pre Project Selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun dimana properti yang dijual tersebut baru berupa gambar atau konsep. Konsep pemasaran ini memang  sangat menguntungkan pengembang karena relatif menolong perputaran uang pengembang. 

Beban investasi yang harus ditanggungnya untuk pembangunan konstruksi proyek dengan sistem pre project selling tersebut terbantu dana pesanan dari konsumen,yang besarnya berkisar antara dua puluh persen sampai dengan tiga puluh persen.  

Dengan adanya pesanan dengan sistem pre project selling ini juga dapat mempermudah perusahaan,  karena  pengembang  tidak  perlu menyediakan modal pengembangan didepan untuk biaya pembangunan yang cukup besar.

Beberapa kata kunci dalam pembelian pre project selling, yaitu:

  1. Cek legalitas proyek, seperti sertipikat atau akta jual beli tanah, surat izin penunjukkan penggunaan tanah, izin mendirikan bangunan, dan lain-lain
  2. Jika untuk dihuni sendiri, rumah harus berada di lokasi yang paling menunjang aktifitas.
  3. Harga property pre project selling harus lebih murah dibandingkan dengan  rumah yang sudah jadi. 
  4. Upayakan memastikan kredit pemilikan rumah atau apartemen akan diperoleh sebelum membayar uang muka.
  5. Perhitungkan juga penyelesaian proyek dengan berkalaatau cicilan.
  6. Cermati butir-butir perjanjian pengikat jual beli, jangan sampai pasal pasalnya hanya menguntungkan pihak pengembang.

Pada umumnya persyaratan perizinan pembangunan proyek  properti di setiap daerah  itu  sama,  hanya kadangkala terdapat beberapa perbedaan teknis. Secaragaris besar, persyaratan izin administratif yang harus dilengkapi oleh pengembang adalah:

  1. Izin  Prinsip/Izin  Lokasi/Surat  Izin  penunjukanPenggunaan  Tanah  (SIPPT)  dari  instansi  terkait.
  2. Site Plan, dibuat oleh pengembang dengan persetujuanpemerintah daerah setempat yang berisi perencanaanlahan  yang  akan  dibangun  serta  peruntukan  danbentuknya.
  3. Izin Mendirikan Bangunan (IMB), permohonan IzinMendirikan  Bangunan  diajukan  kepada  Suku  DinasPengawasan Pembangunan Kota (SDPKK) Pemerintahdaerah.
  4. Izin  Penggunaan  Bangunan  (IPB)  diberikan  olehpemerintah daerah setempat setelah bangunan selesaidibangun.

Dalam pemasaran pre project selling adalah  kenaikan harga properti terhadap perekonomian nasional. Apabila  terjadi  kemacetan  baiksumbernya yang berasal dari pengembang maupun konsumen, lembaga lembaga keuangan yang bertindak sebagai  pendukung  dana  itulah yang akan menanggungnya.

Demikian pembahsan mengenai “Mengenal Pemasaran Properti Dengan Sistem Pre Project Selling” apabila Sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih lanjut dapat langsung menghubungi kami di selaraslawfirm.com. nantikan artikel menarik selanjutnya!

Sumber:

Purbandari. 2012. “Kepastian dan Perlindungan Hukum pada Pemasaran Properti dengan Sistem Pre Project Selling”.  Jurnal Ilmiah Widya.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/pemasaran-properti-dengan-sistem-pre-project-selling/feed/ 1
Bangunan Tak Miliki PBG, Siap-Siap Dapat Sanksi Ini https://selaraslawfirm.com/bangunan-tak-miliki-pbg-siap-siap-dapat-sanksi-ini/ https://selaraslawfirm.com/bangunan-tak-miliki-pbg-siap-siap-dapat-sanksi-ini/#comments Sun, 11 Sep 2022 11:03:36 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1169 Oleh: Ronaldo Dwi Putro

PBG harus dimiliki bagi setiap orang sebelum pelaksanaan konstruksi, baik untuk membangun bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung.

Namun bagaimana kalau pemilik bangunan gedung tidak memenuhi kewajiban persyaratan perizinan, dalam hal ini PBG.

Setiap pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi ahli, penilik, pengkaji teknis, dan/atau pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif.

Sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 24 angka 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

123

Keterangan:

  1. Peringatan Tertulis
  2. Pembatasan Kegiatan Pembangunan
  3. Penghentian Sementara atau Tetap Pada Pekerjaan Pelaksanaan Pembangunan
  4. Penghentian Sementara atau Tetap Pada Pemanfaatan Bangunan Gedung
  5. Pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung
  6. Pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung
  7. Pembekuan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung
  8. Pencabutan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung
  9. Perintah Pembongkaran Bangunan Gedung

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif di atas diatur dalam Peraturan Pemerintah. Namun sampai artikel ini ditulis, belum diundangkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan mengenai ini.

Selain itu, terdapat sanksi pidana dan denda juga apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam UU Bangunan Gedung jo. UU Cipta Kerja, jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain, kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup, atau hilangnya nyawa orang lain.

Kita selaku anggota masyarakat juga bisa melaporkan secara tertulis kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap:

1. indikasi bangunan gedung yang tidak laik fungsi; dan/atau

2. bangunan gedung yang pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan/atau pembongkaran berpotensi menimbulkan gangguan dan/atau bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya.

Kemudian, bagaimana kalau banguan tersebut sudah terlanjur berdiri tapi belum memiliki PBG. Maka untuk memperoleh PBG, harus mengurus Sertifikat Laik Fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Dapat ditarik kesimpulan jika kewajiban dalam setiap pembangunan bangunan gedung harus dilengkapi dengan PBG. Hal ini berlaku bagi setiap orang dan tidak ada pengecualian tertentu untuk  siapa saja, sekalipun sudah terlanjur membangun tanpa adanya PBG.

Bagi sobat yang memerlukan konsultasi permasalahan hukum dan informasi lebih lanjut seputar hukum dari konsultan hukum terpercaya, dapat langsung menghubungi kami melalui Kontak – Selaras Law Firm, dan jangan lupa selalu update pengetahuan seputar hukum kamu hanya di Blog – Selaras Law Firm. Bersama Selaras Law Firm: Urus Izin Gampang, Pengusaha Senang!

Sumber:

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/bangunan-tak-miliki-pbg-siap-siap-dapat-sanksi-ini/feed/ 3
Dulu IMB Sekarang PBG: Berikut Perbedaannya! https://selaraslawfirm.com/dulu-imb-sekarang-pbg-berikut-perbedaannya/ https://selaraslawfirm.com/dulu-imb-sekarang-pbg-berikut-perbedaannya/#comments Fri, 09 Sep 2022 10:14:27 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1162 Oleh: Ronaldo Dwi Putro

Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan IMB. Produk hukum ini berisi perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, merawat atau merobohkan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”) dan Peraturan Pelaksananya mensyaratkan kepemilikan IMB bagi setiap orang yang akan mendirikan suatu bangunan.

Namun saat ini istilah IMB ini sudah tidak digunakan lagi, diganti dengan istilah PBG.

IMB merupakan izin yang harus diperoleh pemilik bangunan sebelum atau saat mendirikan bangunan di mana teknis bangunan harus dilampirkan saat mengajukan permohonan izin.

Sedangkan PBG lebih bersifat sebagai aturan perizinan yang mengatur soal bagaimana bangunan harus didirikan.

Dalam aturan PBG, bangunan harus memenuhi standar teknis yang sudah ditetapkan berupa perencanaan dan perancangan bangunan gedung, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi bangunan gedung serta pemanfaatan bangunan gedung.

Setiap orang yang mengurus PBG akan lebih mudah karena hanya perlu menyesuaikan bangunan dengan ketentuan teknis yang sudah ada.

Dasar Hukum

Dasar hukum dari perubahan ini yaitu mengacu pada Pasal 24 angka 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU 11/2020”) yang memuat Pasal 36A ayat (1) UU 28/2002 bahwa pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dilakukan setelah mendapatkan PBG serta peraturan pelaksanaanya sudah diundangkan pada 2 Februari 2021 lalu.

PBG sendiri adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung (Pasal 1 angka 11 UU 11/2020).

Tujuan adanya perubahan ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha. PBG dilakukan untuk membangun bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung.

PBG harus dimiliki bagi setiap orang sebelum pelaksanaan konstruksi. Pemilik bangunan gedung harus mengajukan dokumen rencana teknis kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah provinsi untuk DKI Jakarta atau Pemerintah Pusat. Apabila permohonan sudah diajukan, maka akan mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis bangunan gedung.

Perbedaan IMB dan PBG lainnya yaitu pada tahapannya. IMB yaitu izin yang harus diurus oleh pemilik bangunan. Sedangkan PBG hanya berisi tentang ketentuan soal teknis bangunan.

Berdasarkan Pasal 253 Ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, PBG meliputi proses:

1. Konsultasi Perencanaan

Pada proses ini dokumen rencana teknis akan diperiksa dan disetujui. Diawali dengan pendaftaran melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), pemeriksaan pemenuhan standar teknis, dan pernyataan pemenuhan standar teknis.

2. Penerbitan

Surat pernyataan pemenuhan standar teknis diterbitkan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya berdasarkan rekomendasi. Penerbitan PBG meliputi penetapan nilai retribusi daerah, pembayaran retribusi daerah, dan penerbitan PBG.

Itulah ulasan singkat tentang perbedaan IMB dengan PBG. Meskipun tujuan dari perubahan IMB menjadi PBG sangat baik, namun masih banyak terjadi kasus terkait keluhan masyarakat yang merasa kesulitan dalam pengurusan izin PBG ini. 

Tenang Sobat Selaras Law Firm, untuk menjawab kesulitan tersebut di artikel berikutnya akan diulas mengenai tahapan dalam memperoleh izin PBG.  Pantengin terus website Selaras Law Firm ya!

Bagi sobat yang memerlukan konsultasi permasalahan hukum dan informasi lebih lanjut seputar hukum dari konsultan hukum terpercaya, dapat langsung menghubungi kami melalui Kontak – Selaras Law Firm, dan jangan lupa selalu update pengetahuan seputar hukum kamu hanya di Blog – Selaras Law Firm. Bersama Selaras Law Firm: Urus Izin Gampang, Pengusaha Senang!

Sumber:

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Kompas. (2021).  “[POPULER PROPERTI] IMB Dihapus, Perizinan Bangunan Gedung Diganti PBG” Diakses melalui laman https://www.kompas.com/properti/read/2021/02/24/110353921/populer-properti-imb-dihapus-perizinan-bangunan-gedung-diganti-pbg pada tanggal 16 Juli 2022.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/dulu-imb-sekarang-pbg-berikut-perbedaannya/feed/ 1
Tahapan Mengurus Persetujuan Bangunan Gedung https://selaraslawfirm.com/tahapan-mengurus-persetujuan-bangunan-gedung/ https://selaraslawfirm.com/tahapan-mengurus-persetujuan-bangunan-gedung/#respond Mon, 05 Sep 2022 11:25:23 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1153 Oleh: Ronaldo Dwi Putro

Halo Sobat! Penerapan terhadap Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB) masih banyak mengalami kendala nih.

Menurut asosiasi pengembang perumahan seperti Real Estat Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia masih ada tumpang tindih kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Saat ini masih banyak pemerintah daerah yang belum mengeluarkan Peraturan Daerah terkait dengan penerapan PBG dan masih berpegang pada IMB. Hal tersebut disebabkan karena minimnya koordinasi dan persetujuan dengan seluruh pemerintah daerah.

Dampaknya bukan hanya bagi developer tapi bagi semua orang yang sedang mengajukan izin untuk mendirikan bangunan gedung.

Sebenarnya pengurusan PBG cukup mudah karena dilakukan secara online melalui layanan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG). Layanan SIMBG diharapkan dapat mendukung upaya kemudahan perizinan, kejelasan prosedur layanan dan mempersingkat birokrasi.

Menurut Diana Kusumastuti Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), setiap masyarakat bisa mengajukan PBG secara online dengan prosedur yang pasti, ketentuan dokumen dan waktu yang standar di seluruh wilayah Indonesia. 

Tata Cara Mengurus Persetujuan Bangunan Gedung

  1. Pemohon mendaftarkan diri melalui laman SIMBG
  2. Pada halaman beranda klik “Tambah” untuk menambahkan pendaftaran permohonan PBG.
  3. Pilih “Fungsi Bangunan” dan “Jenis Bangunan” sesuai dengan PBG yang dimohonkan.
  4. Pemohon melengkapi Data Bangunan sesuai dengan PBG yang dimohonkan.
  5. Setelah mengisi Data Bangunan, Pemohon akan diarahkan ke halaman Form Permohonan Konsultasi yang berisi data diri Pemohon. Pemohon dapat memperbarui data diri pada halaman ini dengan mengisikan pada kolom yang tersedia.
  6. Pemohon dapat melihat kembali Data Bangunan dan melengkapi Data Alamat Bangunan tersebut.
  7. Pemohon akan diarahkan pada halaman Form Data Tanah Klik “Tambah Data” lalu isi informasi tanah bangunan yang dimohonkan.
  8. Setelah data tanah tersimpan, Klik “choose file” untuk memilih file Data Teknis tanah yang diminta oleh sistem.
  9. Setelah melengkapi unggahan dokumen, Pemohon akan diarahkan pada halaman Form Data Umum Klik “choose file” untuk memilih file Data Umum yang diminta oleh sistem.
  10. Pemohon akan diarahkan pada halaman Form Data Teknis Arsitektur dan Struktur Klik “choose file” untuk memilih file Data Teknis Arsitektur dan Struktur yang diminta oleh sistem. 
  11. Pemohon akan diarahkan pada halaman Form Data Teknis Mekanikal, Elektrikal, dan Plambing (MEP) Klik “choose file” untuk memilih file Data Teknis MEP yang diminta oleh sistem.
  12. Pemohon akan diarahkan pada halaman Form Pernyataan Centang pilihan konfirmasi kebenaran data untuk pertanggung jawaban Pemohon atas kebenaran data yang telah diisikan dan dokumen yang diunggah pada sistem. Centang “Ceklis Jika Setuju”.
  13. Jika Pemohon sudah mencentang semua konfirmasi kebenaran data pada sistem. Klik “Simpan”. Data dan unggahan dokumen Pemohon akan tersimpan pada sistem dan akan menunggu verifikasi dari Tenaga Profesi Ahli atau Tim Penilai Teknis yang ditugaskan.
  14. Proses Pengajuan selesai dan “Status Permohonan” dapat dilihat pada Halaman Beranda Pemohon. 

Itulah ulasan singkat tentang tahapan dalam pengurusan izin Persetujuan Bangunan Gedung. 

PBG merupakan wujud pertanggungjawaban secara hukum bagi setiap pemilik bangunan gedung dalam membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung, sehingga perlu dimiliki dan tentunya diperoleh sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Bagi sobat yang memerlukan konsultasi permasalahan hukum dan informasi lebih lanjut seputar hukum dari konsultan hukum terpercaya, dapat langsung menghubungi kami melalui Kontak – Selaras Law Firm, dan jangan lupa selalu update pengetahuan seputar hukum kamu hanya di Blog – Selaras Law Firm. Bersama Selaras Law Firm: Urus Izin Gampang, Pengusaha Senang!

Sumber:

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Layanan Informasi Persetujuan Bangunan Gedung”. Diakses melalui laman  https://simbg.pu.go.id/Informasi pada tanggal 17 Juli 2022.

Kompas. (2022). PBG Bikin Masyarakat dan Pengembang Kesulitan Bangun Rumah”. Diakses melalui laman https://www.kompas.com/properti/read/2022/01/14/200000521/pbg-bikin-masyarakat-dan-pengembang-kesulitan-bangun-rumah-?page=all#page2. pada tanggal 17 Juli 2022.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/tahapan-mengurus-persetujuan-bangunan-gedung/feed/ 0
Ingin Memiliki Rumah Susun, Perhatikan Hal Ini! https://selaraslawfirm.com/ingin-memiliki-rumah-susun-perhatikan-hal-ini/ https://selaraslawfirm.com/ingin-memiliki-rumah-susun-perhatikan-hal-ini/#comments Tue, 16 Aug 2022 11:21:41 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1091 Oleh: Dian Dwi Kusuma Astuti, S.H.

Perkembangan  hukum  properti atas rumah  susun  yang  belum  tertata  rapi  di  Indonesia menyebabkan  munculnya  beberapa  permasalahan  tentang  rumah  susun  dari  segala aspek,  baik  antara developer (pengembang)  dengan  pemerintah  daerah,  developer  dan/atau Perhipunan Penghuni Rumah Susun (P3SRS)  dengan  konsumen  (calon  pembeli/ pemilik/ penghuni apartemen).

Secara  umum,  penjualan  untuk  produk  properti  berupa  apartemen/condominium/rumah  susun  hampir  menguasai  pasar  properti  di  kota-kota  besar di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa  bisnis  di  bidang  properti  ini  berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, yakni: 

  1. populasi manusia yang terus bertambah, 
  2. keterbatasan lahan, 
  3. tingginya permintaan akan hunian, 
  4. harga rumah tapak (landed house) yang semakin  tinggi  sehingga,  apartemen  menjadi  solusi  untuk  mengatasi  stress  akan  kemacetan  di  kota-kota  besar,  dan  
  5. potensi  pasar  bagi  pengembang  developer.

Definisi  Rumah  Susun  berdasarkan  Pasal  1  angka  1  Undang-Undang  No. 20  Tahun  2011  tentang  Rumah  Susun,  berbunyi:  

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat  yang  dibangun  dalam  suatu  lingkungan  yang  dalam  bagian-bagian  yang distrukturkan  secara  fungsional, baik  dalam  arah  horizontal  maupun  vertikal  dan  merupakan  satuan-satuan  yang  masing-masing  dapat  dimiliki  dan  digunakan  secara  terpisah  terutama  untuk  tempat  hunian  yang  dilengkapi  dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah  bersama.” 

Dalam  tulisan  ini  akan  diuraikan  mengenai  aspek-aspek  yang  wajib  diketahui  oleh  calon  pembeli  atau  pemilik  tentang  legalitas  apartemen  (pengembang)  dan  aspek  perijinan  rumah  susun/apartemen  di  Indonesia, yakni:

1. Legalitas Apartemen

Membeli  apartemen  pada  saat  launching  (indent)  atau  saat  bangunan  sudah jadi (ready) akan mempengaruhi aspek legalitas yang wajib diketahui oleh calon  pembeli  atau  pemilik  apartemen.  Apabila  calon  pembeli  akan  membeli  unit  apartemen  pada  saat  launching,  maka  berdasarkan  Pasal  42  ayat  (2)  Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU  No.  20  Tahun  2011”).

Terdapat  beberapa  persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Developer pada saat Developer memasarkan  apartemen  sebelum  pembangunan  dilaksanakan. Bunyi Pasal  42  ayat  (2)  UU  No.  20  Tahun  2011 yaitu: 

Dalam hal  pemasaran  dilakukan  sebelum  pembangunan rumah susun dilaksanakan sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus  memiliki:  a.kepastian  peruntukan  ruang;  b.kepastian  hak  atas  tanah;  c.  kepastian  status  penguasaan  rumah  susun; d. perizinan pembangunan rumah susun; dan e. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.”

Perijinan  yang  wajib  dimiliki  olehr  developer  pada  saat  lauching  (pra  pembangunan)  adalah  izin  zoning  yang biasanya disebut Surat Keterangan Rencana Kota (SKRK) atau Izin Lokasi, AMDAL (Analisis  Mengenai  Dampak  Lingkungan)/UKL/UPL,  dan  Izin  Mendirikan Bangunan (IMB).

Dalam pemasaran  unit  apartemen  dilakukan  sebelum  apartemen  dibangun  akan  melalui  beberapa tahap, yaitu:

  • Tahap Pemesanan.
  • Tahap penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
  • Tahap penandatanganan Perjanjian Pinjam Pakai.
  • Tahap  penandatanganan  Akta  Jual  Beli (AJB).

2. Proses Sertifikasi

Sertifikat Hak Milik atas Rumah Susun (“SHMRS”) adalah bentuk kepemilikan yang diberikan terhadap pemegang hak atas Rumah Susun, bentuk hak milik atas rumah susun ini harus dibedakan dengan jenis hak milik terhadap rumah dan tanah pada umumnya. SHMRS dalam dunia properti sering juga disebut strata title.

SHMRS yang berupa salinan-salinan  kemudian dijilid menjadi sebuah dokumen yang disebut dengan Sertifikat, SHMRS dibuat dengan cara: 

  • membuat salinan dari buku tanah yang bersangkutan. 
  • membuat salinan surat ukur atas tanah bersama. 
  • membuat gambar daerah satuan rumah susun yang bersangkutan 

3. PPPSRS (Perhimpunan  Pemilik  dan  Penghuni  Satuan  Rumah  Susun) dan Badan Pengelola

Developer  tidak  boleh  meninggalkan  asas-asas  sebagaimana  terdapat  dalam  undang-undang  yang  berlaku.  UU  No.  20  Tahun  2011  menciptakan  dasar    hukum  yang  tegas  berkaitan  dengan  penyelenggaraan  rumah  susun. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan  Rumah  Susun  (“P3SRS”)  adalah  badan  hukum  yang  beranggotakan  para pemilik dan/atau penghuni Satuan Rumah  Susun yang  dibentuk sesuai dengan peraturan hukum yang  berlaku. 

Berdasarkan  Pasal  59  ayat  (1)  UU  No.  20  Tahun  2011  yang  berbunyi, “Pelaku  pembangunan  yang  membangun  rumah  susun umum  milik  dan    rumah    susun    komersial    dalam    masa  transisi    sebelum    terbentuknya    PPPSRS  wajib  mengelola rumah susun”, maka  sebagai  pelaku  pembangunan,  developer  pada  tahap  awal  pengelolaan  apartemen  wajib  bertindak  sebagai  pengurus  PPPSRS  (P3SRS)  sementara  sampai  dengan  nantinya  terbentuk  pengurus P3SRS yang dibentuk oleh para penghuni rusun.

4. Biaya  dan  Pajak  Kepemilikan  Apartemen

Tinggal  atau  memiliki  apartemen  memiliki  biaya-biaya  sendiri  yang  wajib  dibayar  oleh  para  pemilik  unit  apartemen  yang  nilainya tidak dapat disamakan pada saat tinggal di landed house. Berikut adalah beberapa biaya yang termasuk di dalamnya adalah pajak  yang  wajib  dibayarkan  kepada Developer  dan P3SRS nantinya yaitu:

  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  • Biaya Administrasi
  • Iuran Pengelolaan Lingkungan

Demikian ulasan mengenai “Ingin Memiliki Rumah Susun, Perhatikan Hal Ini!” apabila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih lanjut, dapat segera menghubungi kami di Selaras Law Firm.com nantikan artikel menarik lainnya!

Sumber:

Adrian,  2010,  Hukum  Rumah  Susun  &  Apartemen,  Jakarta: Sinar  Grafika  Offset.

Santos,  2010,  Pendaftaran  dan  Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sumber Gambar:

pexels.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

 

]]>
https://selaraslawfirm.com/ingin-memiliki-rumah-susun-perhatikan-hal-ini/feed/ 1
Kendala Pelaksanaan Jual Beli Properti Bagi Pasangan Perkawinan Campuran https://selaraslawfirm.com/kendala-pelaksanaan-jual-beli-properti-bagi-pasangan-perkawinan-campuran/ https://selaraslawfirm.com/kendala-pelaksanaan-jual-beli-properti-bagi-pasangan-perkawinan-campuran/#comments Wed, 10 Aug 2022 11:12:36 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1070 Oleh: Dian Dwi Kusuma Astuti, S.H.

Interaksi dan  komunikasi yang terjalin secara terus menerus dapat membuat orang memiliki suatu  hubungan  dan  melegalkan  hubungan tersebut  pada suatu perkawinan, hal tersbut juga dapat dialami oleh Warga Negara Indonesia (“WNI”) dengan Warga Negara Asing (“WNA”). 

Pertemuan dan komunikasi tersebut memungkinkan penduduk suatu negara melangsungkan perkawinan dengan orang asing yang berdomisili sementara maupun tetap (residence) sehingga timbullah hubungan perkawinan antara WNA dengan WNI, hal inilah yang dinamakan dengan perkawinan campuran.

Perkawinan campuran  dalam Undang-Undang  No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)  dalam Pasal 57, berbunyi: 

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antar dua orang yang dilakukan di Indonesia tunduk pada hukum dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” 

Dalam UU Perkawinan memiliki arti sebagai unsur penting dalam perkawinan campuran adalah dilakukan antara perempuan dengan laki-laki dimana salah satunya harus WNI dan yang lain harus WNA. faktor terjadinya perkawinan campuran ada dua, yaitu eksternal; keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya. dan Internal: adat secara turun temurun, atau faktor ingin merubah kewarganegaraan.

Perkawinan campuran adalah suatu peristiwa hukum sama halnya dengan perkawinan pada umumnya yang dilakukan antar WNI, sehingga dengan dilakukannya perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum yang sah pula, demikian juga dengan perkawinan campuran akan menimbulkan akibat hukum.

Adapun beberapa akibat hukum  dari perkawinan campuran adalah:

  1. Hubungan hukum antara suami istri, dimana suami istri tersebut adalah WNI dan WNA.
  2. Terdapat adanya harta perkawinan, adanya ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, maka secara hukum terjadi percampuran harta di antara keduanya.
  3. Dari adanya  perkawinan campuran timbul hubungan hukum antara orang tua dengan anak. 

Percampuran harta ini menyebabkan  munculnya harta bersama atau yang sering disebut harta gono gini, yaitu keseluruhan harta yang diperoleh selama masa perkawinan, Namun demikian, ada perkecualian terhadap percampuran harta ini, yaitu terhadap harta yang diperoleh sebelum perkawinan, harta yang diperoleh berdasarkan pemberian dan harta yang diperoleh berdasarkan pewarisan.

Untuk mengatasi terjadinya perselisihan antar warganya hukum positif memberikan jalan keluar, yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan yang secara tegas memisahkan harta suami dan istri dalam perkawinan berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing. 

Ketentuan mengenai perjanjian kawin diatur dalam Pasal 147 juncto 149 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan dilakukan di hadapan notaris. status kewarganegaraan seseorang menentukan hak dan kewenangannya selaku warga negara.

Kendala Pasangan Perkawinan Campuran dalam Melakukan Jual Beli Property

Praktik jual beli Properti yang dilakukan oleh pasangan perkawinan campuran di Indonesia dalam Hukum nasional di Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai hubungan hukum perdata yang mengandung unsur asing (foreign element) akibat terkait dengan sistem hukum yang berbeda yaitu menggunakan Hukum Perdata Internasional. 

Hukum Perdata Internasional merupakan hukum nasional yang dipergunakan untuk memecahkan kasus-kasus yang di dalamnya terdapat unsur asing, yang masing-masing negara memiliki Hukum Perdata Internasional masing-masing. Hukum Perdata Internasional Indonesia mengenal ketentuan lex loci celebrationis, bahwa suatu perkawinan keabsahannya ditentukan oleh hukum dari negara dimana perkawinan itu diselenggarakan. 

Sehingga apabila perkawinan campuran diselenggarakan di Indonesia tentunya perkawinan tersebut mengikuti tata cara perkawinan yang ada di Indonesia yang sesuai dengan UU Perkawinan. Hal ini sejalan dengan kaidah locus regit actum, bahwa bentuk perbuatan hukum itu dikuasai oleh hukum dari negara dimana perbuatan tersebut dilakukan. 

Akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia juga berdasar pada ketentuan UU Perkawinan dan peraturan perundang-undangan yang terkait di Indonesia. Konteks perkawinan campuran dalam kaitannya dengan harta benda perkawinan maka hal ini juga jika perkawinan campuran tersebut dilakukan di Indonesia maka harus didasarkan pada hukum di Indonesia. 

Dalam ketentuan tersebut, maka apabila pasangan perkawinan campuran melakukan pembelian property, maka property tersebut menjadi harta bersama yang mana status kepemilikian atas property tersebut menjadi milik suami dan istri perkawinan campuran tersebut. 

Dari segi kepemilikan hak milik atas tanah, perkawinan campuran WNI dan WNA dapat mengakibatkan adanya percampuran harta bersama jika pihak WNI memperoleh hak atas tanah tersebut setelah perkawinan dilangsungkan.Hak milik atas tanah yang dipunyai WNI akan menjadi bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA. 

Dengan demikian, maka dengan terjadinya perkawinan campuran yang mengakibatkan percampuran dalam harta bersama, namun dalam  UUPA memuat asas nasionalitas, artinya yang berhak memiliki atas tanah yang berada di Indonesia hanyalah  WNI, sehingga WNA tidak  boleh memiliki tanah di wilayah Indonesia, atas dasar konsep harta bersama dan ketentuan asas nasionalitas tersebutlah yang menyebabkan sulitnya pasangan perkawinan campuran melakukan jual-beli property

Demikian pembahsan mengenai “Kendala Pelaksanaan Jual Beli Properti Bagi Pasangan Perkawinan Campuran”, apabila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui informasi lebih lanjut dapat langsung menghubungi tim Selaras Law Firm di Selaras Law Firm. Nantikan artikel menarik selanjutnya!

Sumber:

Harahap. 2019. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Rosandi. 2016. Akibat hukum jual beli hak atas tanah yang belum didaftarkan. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan.

Sumber Gambar: 

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

 

]]>
https://selaraslawfirm.com/kendala-pelaksanaan-jual-beli-properti-bagi-pasangan-perkawinan-campuran/feed/ 5