Hallo Sobat Selaras Law Firm!
Kembali lagi dengan kami yang akan selalu memberikan informasi edukasi hukum, kali ini kita akan membahas terkait hak tanggungan dalam hukum positif Indonesia.
Penasaran yaaa? Yuk simak pembahasan dibawah!
Pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (“UUHT”) mendefinisikan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda lain nya yang satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang.
Hak Tanggungan memberikan perlindungan dan kedudukan yang istimewa kepada Kreditur (“orang atau badan usaha yang meminjamkan utang”) tertentu dari Kreditur lainnya terhadap hak atas tanah yang dijaminkan dengan catatan apabila Debitur (“orang atau badan usaha yang menerima pinjaman uang”) melanggar janji.
Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menjual barang agunan melalui pelelangan umum untuk pelunasan utang Debitur, sehingga keistimewaan ini disukai pihak bank sebagai Kreditur karena dapat dengan mudah melakukan pengeksekusian terhadap objek jaminan, apabila Debitur wanprestasi.
Dengan arti kata lain, bahwa Hak Tanggungan merupakan salah satu jenis hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang hanya memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk memperoleh pelunasan piutangnya secara mendahulu dari Kreditur-Kreditur lainnya.
Baca Juga: Hak-Hak Atas Tanah sebelum Dan Sesudah Lahirnya UUPA
Sebelum lahirnya UUHT, jaminan atas tanah dikenal dengan sebutan Hipotik sebagai diatur dalam Buku Kedua BAB XXI Pasal 1162 sampai dengan 1232 KUHPerdata dan Creditverband sebagaimana diatur dalam Statsblad Tahun 1908 Nomor 542.
Dengan diberlakukannya UUHT maka ketentuan tentang Hipotik atas tanah dan ketentuan Creditverband dinyatakan tidak berlaku lagi, penegasan terhadap hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 57 UUPA. Sejak itu pula, UUHT merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang tertulis.
Saat ini Hak Tanggungan diatur dalam beberapa aturan, yaitu:
Secara garis besar tahap pembebanan Hak Tanggungan terdiri atas 2 (dua) tahapan yaitu:
Tahap ini dimulai dari pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (“APHT”) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dengan didahului penandatanganan perjanjian kredit yang dijaminkan oleh Debitur kepada Kreditur.
APHT berisikan hal-hal yang sifatnya wajib dicantumkan dan yang tidak wajib dicantumkan. Untuk isi akta yang bersifat wajib maka menjadi syarat sahnya APHT.
Jika tidak dicantumkan secara lengkap mengakibatkan APHT batal demi hukum. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialisasi dari Hak Tanggungan, baik mengenai subyek, obyek maupun utang yang dijamin.
Pada tahap ini pelaksanaannya berada pada Kantor Pertanahan setempat. Pendaftaran Hak Tanggungan juga sekaligus merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Sebab salah satu dari objek pendaftaran tanah adalah Hak Tanggungan, sebagaimana disebutkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Peraturan Pendaftaran Tanah. Pasal 13 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
Hal tersebut karena penandatanganan APHT di hadapan PPAT baru memenuhi syarat spesialitas dari Hak Tanggungan saja. tetapi belum memenuhi syarat publisitas.
Untuk memenuhi syarat publisitas maka pemberian Hak Tanggungan yang dimuat dalam APHT harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat.
Baca Juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Tidak Harus Ke Pengadilan, Ada Cara Lain!
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Hak Tanggungan dikatakan ada sejak tanggal buku tanah Hak Tanggungan yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
Sebagai tanda adanya bukti Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Demikian pembahasan terkait “Hak Tanggungan Atas Tanah Menurut Hukum Positif” Jika sobat Selaras Law Firm ingin konsultasi atau membutuhkan pendampingan hukum bisa langsung saja hubungi kami.
Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat Selaras Law Firm selanjutnya!
Sumber:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1847 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Staatsblad Tahun 1908 Nomor 542.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, Dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran Hak Tanggungan Jo. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pelayanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik.
Sumber Gambar:
www.pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>“Pada saat ini jumlah sumber daya tanah semakin berkurang sementara jumlah penduduk semakin banyak, akibatnya lahan untuk permukiman semakin menipis”
Hallo Sahabat Selaras Law Firm!
Secara yuridis, tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, lantas apakah Pemilik Surat Keterangan Penguasaan Tanah dan Sertipikat Hak Milik memiliki kekuatan hukum yang sama?
Mari kita simak pembahasan dibawah ini!
Tanah dalam pengertian hukum adalah permukaan bumi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi:
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”
Pengertian pendaftaran tanah baru dimuat dalam Pasal 1 angka I Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,
Tujuan pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Dalam Pasal 19 ayat 2 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria , pendaftaran tanah meliputi:
Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi :
Hak atas tanah ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, juga bumi, air, dan ruang yang berada di atasnya. Hak atas tanah ini merupakan bukti kewenangan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, mencakup bumi, air, dan ruang yang berada di atasnya.
Sertipikat Hak Milik (“SHM”) adalah jenis sertipikat yang memiliki legalitas yang paling kuat. SHM tidak memiliki batas waktu dan hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak atas tanah ini dapat diberikan dan dimiliki oleh orang, baik perseorangan, orang lain, ataupun badan hukum. Meski semua hak atas tanah memberikan kewenangan bagi pemegangnya untuk menggunakan tanah yang tercantum dalam sertipikat, tapi masing-masing hak memiliki ciri khusus. Tujuan penggunaan tanah dan batas waktu penggunaan tanah pun berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
Surat Keterangan Tanah atau sekarang disebut dengan Surat Keterangan Penguasaan Tanah yang mana merupakan alas hak yang banyak dipergunakan di berbagai daerah. Surat Penguasaan yang dahulu nya dikuasai oleh seseorang diterbitkan surat oleh Kepada Desa/Lurah berupa izin tebas tebang, untuk membuktikan mereka dapat mengakui tanah tersebut maka dikeluarkan Surat keterangan tanah/Surat Keterangan Penguasaan Tanah.
Kekuatan hukum Surat Penguasaan Tanah (SPT) kepala desa dapat dipahami bahwa kedudukan Kepala Desa ditinjau dari Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, berbunyi: Pasal 7 ayat (2) disebutkan: “Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT sementara, yaitu kepala Desa/Lurah.
Berdasarkan bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat yang berupa surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh Kepala Desa yang disahkan oleh Kecamatan setempat berdasarkan Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dikategorikan sebagai alas hak yang diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah.
Tetapi setelah terbitnya Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1756/15.I/IV/2016, yang mana isi dari surat edaran tersebut ialah menyederhanakan proses pendaftaran tanah, maka keberadaan surat keterangan penguasaan tanah menjadi tidak jelas.
Adapun yang menjadi tujuan terbitnya surat edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 1756/15.I/IV/2016 ini adalah untuk menjamin kepastian hukum atas hak tanah masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pendaftaran tanah
Maka dapat disimpulkan bahwa walaupun Surat keterangan tanah merupakan alat bukti tertulis di bawah tangan yang kekuatan pembuktiannya tidak sekuat Sertipikat Hak Milik, namun karena Surat keterangan tanah tersebut merupakan surat-surat yang dikategorikan alas hak atau data yuridis atas tanah sehingga dijadikan syarat kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah.
Nah demikian pembahasan mengenai perbedaan “Pemilik Surat Keterangan Penguasaan Tanah dan Sertipikat Hak Milik” apabila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih dalam bisa langsung menghubungi kami di Selaras Law Firm. Nantikan artikel menarik yang dapat menambah pengetahuan sobat selanjutnya!
Sumber:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Media Neliti “Kekuatan Hukum Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) Sebagai Bukti Hukum Penguasaan Atas Sebidang Tanah (Studi Di Kota Pontianak)” https://media.neliti.com/media/publications/209799-kekuatan-hukum-surat-keterangan-penguasa.pdf, Pada Tanggal 25 September 2022.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Penanaman Modal Investasi yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (“WNA”) di Indonesia, dalam bidang Industri, jelas akan memerlukan ketersediaan lahan berupa tanah untuk keperluan usahanya tersebut. WNA juga membutuhkan sarana dan prasarana untuk menjalankan aktivitasnya di Indonesia, seperti sarana perkantoran dan tempat tinggal.
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (“UUPA”) mengatur berbagai macam hak atas tanah, untuk Orang Asing diatur pada Pasal 9, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 UUPA, Pasal 9 ayat (1) UUPA, dan hanya dapat diberikan Hak Pakai.
Pemberian kebijakan Orang Asing sebagai salah satu subjek hukum yang diperbolehkan memiliki hak atas tanah di Indonesia secara yuridis telah diatur dalam Pasal 42 UUPA, yang menyatakan bahwa Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki hak atas tanah dengan dasar Hak Pakai.
Pasal 42 UUPA, menyebutkan bahwa Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
a) Warga Negara Indonesia.
b) Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.
c) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pengertian Orang Asing diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2015 (“PP 103/2015”) tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia, yang menyebutkan bahwa:
“Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia yang selanjutnya disebut Orang Asing adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia (“WNI”) yang keberadaanya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia.”
Kepastian hukum sangat penting bagi Orang Asing dan Pemerintah dalam pengambilan keputusan. Adanya aturan yang tidak secara tegas mengaturnya tentunya akan terjadi keragu-raguan dan mungkin terjadi penyeludupan hukum. Meskipun Hak Pakai bagi WNA telah diatur dalam PP 103/2015, namun Hak Pakai masih dianggap tidak mampu memberikan kepastian hukum bagi para WNA dan pasangan WNA dan WNI.
Undang-undang Perkawinan bagi WNA dan WNI memiliki hak campur, yaitu harta dimiliki bersama. Baik WNA maupun WNI yang menikah, tidak bisa membeli rumah dengan hak milik kecuali dengan perjanjiian pranikah/perjanjian pemisahan harta. Perjanjian ini harus dibuat di
hadapan notaris.
Kebijakan mengenai Orang Asing dan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian
bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, diatur dalam beberapa Peraturan
Perundang-undangan, antara lain:
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka WNA yang berkedudukan di Indonesia
atau BHA yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan
demikian tidak dibenarkan WNA atau Badan Hukum Asing (“BHA”) memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik (HM).
Namun demikian, UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan bagi WNA dan BHA untuk mempunyai Ha katas Tanah di Indonesia. WNA dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh dengan status Hak Pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan WNI diatas segalagalanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis.
Demikian pembahsan mengenai “Peraturan Terhadap Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Bagi Orang Asing di Indonesia” bagi Sobat Selaras Law Firm yang ingin mengetahui informasi lebih lanjut dapat segera menghubungi kami di SelarasLawFirm.com. Nantikan artikel menarik selanjutnya!
Sumber:
Dewik Kusumawati. 2019. Pengaturan Sanksi Hukum Terhadap Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Bagi Orang Asing di Indonesia. Jurnal Hukum Prasada. Vol. 6. No. 1.
Sutadi. 2009. Tinjauan Hukum Pertanahan. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Rumah merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian besar rakyat indonesia, selain sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Banyaknya permasalahan perlindungan konsumen dalam transaksi jual beli rumah disebabkan karena banyak konsumen yang tidak memahami sistem perhitungan bunga Kredit Pemilikan Rumah.
Hal ini disebabkan pada saat sebelum transaksi penjelasan petugas bank kepada konsumen masih minim, hanya mayoritas kewajiban konsumen, ini mendandakan minimnya pengetahuan konsumen tentang hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) dengan bank,
Minimnya pengetahuan bagi konsumen berpotensi posisi konsumen akan menjadi lemah jika kedepan terjadi permasalahan hukum terutama terkait perhitungan suku bunga, penyelesaian sengketa, take over kredit, dan risiko gagal bayar dalam sistem kredit kepemilikan rumah.
Pihak konsumen (debitur) yaitu pihak pembeli rumah yang dibangun oleh developer dengan uang yang dipinjam dari bank. Kewajiban konsumen adalah membayar sesuai syarat dan cara pembayaran dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) atau Akta Jual Beli (“AJB”). Jika terlambat maka didenda atau ditegur, dan apabila jika tidak bisa membayar maka perjanjian dibatalkan dan uang yang dibayar dipotong ganti rugi pengembang.
Pihak bank sebagai pemberi kredit memiliki kewajiban memberikan bantuan fasilitas kredit dalam bentuk uang yang dipergunakan oleh debitur untuk membayar rumah yang dibeli dari developer sesuai porsi yang dimohonkan oleh pemohon kredit. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dengan fungsi bank yaitu sebagai penghimpun dana dan penyalur dana masyarakat.
Berdasarkan penggolongan kredit, KPR termasuk dalam kredit konsutif, karena kredit diberikan kepada debitur pada lazimnya dipergunakan untuk membeli rumah sebagai tempat tinggal/dihuni.
Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan yang dibuat oleh Bank, disebutkan apabila jaminan berupa rumah dan tanah tersebut dianggap kurang, maka debitur menambah benda tertentu lainnya yang ditetapkan bank untuk dijadikan jaminan tambahan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) sampai dengan (4) menyatakan setiap konsumen dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak yang bersangkutan. Ada dua jenis penyelesaian yang sering dilakukan konsumen jika terjerat masalah yaitu:
1. Penyelesaian sengketa secara damai. Adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan ataupun BPSK dan tidak bertentangan dengan UUPK.
2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga tertentu. Jika damai tidak lagi bisa menyelesaikan masalah maka sesuai UUPK Pasal 45 ayat (1) setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Perlindungan konsumen sesungguhnya dimulai sejak adanya niat pelaku usaha untuk menawarkan produknya kepada calon konsumen dan berlanjut pada masa terjadinya transaksi hingga masa perawatan atau adanya jaminan perawatan pada saat berakhirnya transaksi. Konsumen perumahan berhak mendapatkan produk konstruksi yang sesuai dengan keinginan sebagaimana tertuang dalam brosur yang ditawarkan/dijanjikan oleh pihak pengembang.
Dilihat dari sisi hukum perlindungan konsumen, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun telah sejalan dengan semangat perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindugan konsumen
Dimana dalam kedua Undang-Undang tersebut, dimana setiap orang berhak pengajuan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman atau rumah susun yang merugikan masyarakat
Demikian pembahasan mengenai “Kredit Pemilikan Rumah Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen”, apa bila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui informasi lebih lanjut dapat menghubungi di SelarasLawFirm.com. nantikan artikel menarik selanjutnya!
Sumber:
Akbar Pandu, 2020, Kredit Pemilikan Rumah Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen, Jurnal Magister Ilmu Hukum, Vol. V No. 1.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Maraknya pembangunan perumahan beberapatahun terakhir ini menimbulkan persaingan yang sangat ketat dalam menarik pembeli. Dampaknya adalah timbul cara yang praktis dan cepat untuk menjual properti baikyang berupa perkantoran, perumahan maupun apartemenoleh para pengembang terutama oleh divisi marketing (pemasaran) yang dikenal dengan sistem pre projectselling.
Konsep permasaran ini menjadi tren pada saat ini, terutama bagi para pengembang proyek pemukiman (developer) biasanya dilakukan oleh pengembang dengan melakukan penjualan atau pemasaran sebelum produk properti yang bersangkutan terwujud.
Konsep pre project selling sebenarnya merupakan suatu test pasar untuk mengetahui bagaimana reaksi konsumen terhadap produk properti yang dipasarkan. Dalam perkembangannya, test pasar yang semula tertutup, kemudian dalam praktek dibuat terbuka dan dimanfaatkan langsung oleh pengembang.
Daya tarik konsep pemasaran pre project selling ini sangat besar jika dilihat dari berbondong-bondongnya konsumen atau orang-orang yang mengunjungi acara pre launching atau pro sale dan sejenis ini. Biasanyapara calon konsumen tergiur potongan harga sebesar 15% sampai dengan 20% yang diberikan oleh pengembang.
Pre Project Selling merupakan penjualan sebelum proyek dibangun dimana properti yang dijual tersebut baru berupa gambar atau konsep. Konsep pemasaran ini memang sangat menguntungkan pengembang karena relatif menolong perputaran uang pengembang.
Beban investasi yang harus ditanggungnya untuk pembangunan konstruksi proyek dengan sistem pre project selling tersebut terbantu dana pesanan dari konsumen,yang besarnya berkisar antara dua puluh persen sampai dengan tiga puluh persen.
Dengan adanya pesanan dengan sistem pre project selling ini juga dapat mempermudah perusahaan, karena pengembang tidak perlu menyediakan modal pengembangan didepan untuk biaya pembangunan yang cukup besar.
Beberapa kata kunci dalam pembelian pre project selling, yaitu:
Pada umumnya persyaratan perizinan pembangunan proyek properti di setiap daerah itu sama, hanya kadangkala terdapat beberapa perbedaan teknis. Secaragaris besar, persyaratan izin administratif yang harus dilengkapi oleh pengembang adalah:
Dalam pemasaran pre project selling adalah kenaikan harga properti terhadap perekonomian nasional. Apabila terjadi kemacetan baiksumbernya yang berasal dari pengembang maupun konsumen, lembaga lembaga keuangan yang bertindak sebagai pendukung dana itulah yang akan menanggungnya.
Demikian pembahsan mengenai “Mengenal Pemasaran Properti Dengan Sistem Pre Project Selling” apabila Sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih lanjut dapat langsung menghubungi kami di selaraslawfirm.com. nantikan artikel menarik selanjutnya!
Sumber:
Purbandari. 2012. “Kepastian dan Perlindungan Hukum pada Pemasaran Properti dengan Sistem Pre Project Selling”. Jurnal Ilmiah Widya.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>PBG harus dimiliki bagi setiap orang sebelum pelaksanaan konstruksi, baik untuk membangun bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung.
Namun bagaimana kalau pemilik bangunan gedung tidak memenuhi kewajiban persyaratan perizinan, dalam hal ini PBG.
Setiap pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi ahli, penilik, pengkaji teknis, dan/atau pengguna bangunan gedung pemilik dan/atau pengguna yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, dan/atau persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif ini diatur dalam Pasal 24 angka 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Keterangan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif di atas diatur dalam Peraturan Pemerintah. Namun sampai artikel ini ditulis, belum diundangkan Peraturan Pemerintah yang mengatur ketentuan mengenai ini.
Selain itu, terdapat sanksi pidana dan denda juga apabila tidak dipenuhinya ketentuan dalam UU Bangunan Gedung jo. UU Cipta Kerja, jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain, kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup, atau hilangnya nyawa orang lain.
Kita selaku anggota masyarakat juga bisa melaporkan secara tertulis kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota terhadap:
1. indikasi bangunan gedung yang tidak laik fungsi; dan/atau
2. bangunan gedung yang pembangunan, pemanfaatan, pelestarian, dan/atau pembongkaran berpotensi menimbulkan gangguan dan/atau bahaya bagi pengguna, masyarakat, dan lingkungannya.
Kemudian, bagaimana kalau banguan tersebut sudah terlanjur berdiri tapi belum memiliki PBG. Maka untuk memperoleh PBG, harus mengurus Sertifikat Laik Fungsi (SLF) berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Dapat ditarik kesimpulan jika kewajiban dalam setiap pembangunan bangunan gedung harus dilengkapi dengan PBG. Hal ini berlaku bagi setiap orang dan tidak ada pengecualian tertentu untuk siapa saja, sekalipun sudah terlanjur membangun tanpa adanya PBG.
Bagi sobat yang memerlukan konsultasi permasalahan hukum dan informasi lebih lanjut seputar hukum dari konsultan hukum terpercaya, dapat langsung menghubungi kami melalui Kontak – Selaras Law Firm, dan jangan lupa selalu update pengetahuan seputar hukum kamu hanya di Blog – Selaras Law Firm. Bersama Selaras Law Firm: Urus Izin Gampang, Pengusaha Senang!
Sumber:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan IMB. Produk hukum ini berisi perizinan yang diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, merawat atau merobohkan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”) dan Peraturan Pelaksananya mensyaratkan kepemilikan IMB bagi setiap orang yang akan mendirikan suatu bangunan.
Namun saat ini istilah IMB ini sudah tidak digunakan lagi, diganti dengan istilah PBG.
IMB merupakan izin yang harus diperoleh pemilik bangunan sebelum atau saat mendirikan bangunan di mana teknis bangunan harus dilampirkan saat mengajukan permohonan izin.
Sedangkan PBG lebih bersifat sebagai aturan perizinan yang mengatur soal bagaimana bangunan harus didirikan.
Dalam aturan PBG, bangunan harus memenuhi standar teknis yang sudah ditetapkan berupa perencanaan dan perancangan bangunan gedung, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi bangunan gedung serta pemanfaatan bangunan gedung.
Setiap orang yang mengurus PBG akan lebih mudah karena hanya perlu menyesuaikan bangunan dengan ketentuan teknis yang sudah ada.
Dasar hukum dari perubahan ini yaitu mengacu pada Pasal 24 angka 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU 11/2020”) yang memuat Pasal 36A ayat (1) UU 28/2002 bahwa pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dilakukan setelah mendapatkan PBG serta peraturan pelaksanaanya sudah diundangkan pada 2 Februari 2021 lalu.
PBG sendiri adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung (Pasal 1 angka 11 UU 11/2020).
Tujuan adanya perubahan ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha. PBG dilakukan untuk membangun bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung atau prasarana bangunan gedung.
PBG harus dimiliki bagi setiap orang sebelum pelaksanaan konstruksi. Pemilik bangunan gedung harus mengajukan dokumen rencana teknis kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah provinsi untuk DKI Jakarta atau Pemerintah Pusat. Apabila permohonan sudah diajukan, maka akan mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis bangunan gedung.
Perbedaan IMB dan PBG lainnya yaitu pada tahapannya. IMB yaitu izin yang harus diurus oleh pemilik bangunan. Sedangkan PBG hanya berisi tentang ketentuan soal teknis bangunan.
Berdasarkan Pasal 253 Ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, PBG meliputi proses:
Pada proses ini dokumen rencana teknis akan diperiksa dan disetujui. Diawali dengan pendaftaran melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), pemeriksaan pemenuhan standar teknis, dan pernyataan pemenuhan standar teknis.
Surat pernyataan pemenuhan standar teknis diterbitkan oleh Direktur Jenderal Cipta Karya berdasarkan rekomendasi. Penerbitan PBG meliputi penetapan nilai retribusi daerah, pembayaran retribusi daerah, dan penerbitan PBG.
Itulah ulasan singkat tentang perbedaan IMB dengan PBG. Meskipun tujuan dari perubahan IMB menjadi PBG sangat baik, namun masih banyak terjadi kasus terkait keluhan masyarakat yang merasa kesulitan dalam pengurusan izin PBG ini.
Tenang Sobat Selaras Law Firm, untuk menjawab kesulitan tersebut di artikel berikutnya akan diulas mengenai tahapan dalam memperoleh izin PBG. Pantengin terus website Selaras Law Firm ya!
Bagi sobat yang memerlukan konsultasi permasalahan hukum dan informasi lebih lanjut seputar hukum dari konsultan hukum terpercaya, dapat langsung menghubungi kami melalui Kontak – Selaras Law Firm, dan jangan lupa selalu update pengetahuan seputar hukum kamu hanya di Blog – Selaras Law Firm. Bersama Selaras Law Firm: Urus Izin Gampang, Pengusaha Senang!
Sumber:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Kompas. (2021). “[POPULER PROPERTI] IMB Dihapus, Perizinan Bangunan Gedung Diganti PBG” Diakses melalui laman https://www.kompas.com/properti/read/2021/02/24/110353921/populer-properti-imb-dihapus-perizinan-bangunan-gedung-diganti-pbg pada tanggal 16 Juli 2022.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Halo Sobat! Penerapan terhadap Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB) masih banyak mengalami kendala nih.
Menurut asosiasi pengembang perumahan seperti Real Estat Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia masih ada tumpang tindih kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Saat ini masih banyak pemerintah daerah yang belum mengeluarkan Peraturan Daerah terkait dengan penerapan PBG dan masih berpegang pada IMB. Hal tersebut disebabkan karena minimnya koordinasi dan persetujuan dengan seluruh pemerintah daerah.
Dampaknya bukan hanya bagi developer tapi bagi semua orang yang sedang mengajukan izin untuk mendirikan bangunan gedung.
Sebenarnya pengurusan PBG cukup mudah karena dilakukan secara online melalui layanan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG). Layanan SIMBG diharapkan dapat mendukung upaya kemudahan perizinan, kejelasan prosedur layanan dan mempersingkat birokrasi.
Menurut Diana Kusumastuti Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), setiap masyarakat bisa mengajukan PBG secara online dengan prosedur yang pasti, ketentuan dokumen dan waktu yang standar di seluruh wilayah Indonesia.
Itulah ulasan singkat tentang tahapan dalam pengurusan izin Persetujuan Bangunan Gedung.
PBG merupakan wujud pertanggungjawaban secara hukum bagi setiap pemilik bangunan gedung dalam membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung, sehingga perlu dimiliki dan tentunya diperoleh sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Bagi sobat yang memerlukan konsultasi permasalahan hukum dan informasi lebih lanjut seputar hukum dari konsultan hukum terpercaya, dapat langsung menghubungi kami melalui Kontak – Selaras Law Firm, dan jangan lupa selalu update pengetahuan seputar hukum kamu hanya di Blog – Selaras Law Firm. Bersama Selaras Law Firm: Urus Izin Gampang, Pengusaha Senang!
Sumber:
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Layanan Informasi Persetujuan Bangunan Gedung”. Diakses melalui laman https://simbg.pu.go.id/Informasi pada tanggal 17 Juli 2022.
Kompas. (2022). “PBG Bikin Masyarakat dan Pengembang Kesulitan Bangun Rumah”. Diakses melalui laman https://www.kompas.com/properti/read/2022/01/14/200000521/pbg-bikin-masyarakat-dan-pengembang-kesulitan-bangun-rumah-?page=all#page2. pada tanggal 17 Juli 2022.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Perkembangan hukum properti atas rumah susun yang belum tertata rapi di Indonesia menyebabkan munculnya beberapa permasalahan tentang rumah susun dari segala aspek, baik antara developer (pengembang) dengan pemerintah daerah, developer dan/atau Perhipunan Penghuni Rumah Susun (P3SRS) dengan konsumen (calon pembeli/ pemilik/ penghuni apartemen).
Secara umum, penjualan untuk produk properti berupa apartemen/condominium/rumah susun hampir menguasai pasar properti di kota-kota besar di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa bisnis di bidang properti ini berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, yakni:
Definisi Rumah Susun berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, berbunyi:
“Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”
Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai aspek-aspek yang wajib diketahui oleh calon pembeli atau pemilik tentang legalitas apartemen (pengembang) dan aspek perijinan rumah susun/apartemen di Indonesia, yakni:
Membeli apartemen pada saat launching (indent) atau saat bangunan sudah jadi (ready) akan mempengaruhi aspek legalitas yang wajib diketahui oleh calon pembeli atau pemilik apartemen. Apabila calon pembeli akan membeli unit apartemen pada saat launching, maka berdasarkan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU No. 20 Tahun 2011”).
Terdapat beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi oleh Developer pada saat Developer memasarkan apartemen sebelum pembangunan dilaksanakan. Bunyi Pasal 42 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 yaitu:
“Dalam hal pemasaran dilakukan sebelum pembangunan rumah susun dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku pembangunan sekurang-kurangnya harus memiliki: a.kepastian peruntukan ruang; b.kepastian hak atas tanah; c. kepastian status penguasaan rumah susun; d. perizinan pembangunan rumah susun; dan e. jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin.”
Perijinan yang wajib dimiliki olehr developer pada saat lauching (pra pembangunan) adalah izin zoning yang biasanya disebut Surat Keterangan Rencana Kota (SKRK) atau Izin Lokasi, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)/UKL/UPL, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Dalam pemasaran unit apartemen dilakukan sebelum apartemen dibangun akan melalui beberapa tahap, yaitu:
Sertifikat Hak Milik atas Rumah Susun (“SHMRS”) adalah bentuk kepemilikan yang diberikan terhadap pemegang hak atas Rumah Susun, bentuk hak milik atas rumah susun ini harus dibedakan dengan jenis hak milik terhadap rumah dan tanah pada umumnya. SHMRS dalam dunia properti sering juga disebut strata title.
SHMRS yang berupa salinan-salinan kemudian dijilid menjadi sebuah dokumen yang disebut dengan Sertifikat, SHMRS dibuat dengan cara:
Developer tidak boleh meninggalkan asas-asas sebagaimana terdapat dalam undang-undang yang berlaku. UU No. 20 Tahun 2011 menciptakan dasar hukum yang tegas berkaitan dengan penyelenggaraan rumah susun. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (“P3SRS”) adalah badan hukum yang beranggotakan para pemilik dan/atau penghuni Satuan Rumah Susun yang dibentuk sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2011 yang berbunyi, “Pelaku pembangunan yang membangun rumah susun umum milik dan rumah susun komersial dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS wajib mengelola rumah susun”, maka sebagai pelaku pembangunan, developer pada tahap awal pengelolaan apartemen wajib bertindak sebagai pengurus PPPSRS (P3SRS) sementara sampai dengan nantinya terbentuk pengurus P3SRS yang dibentuk oleh para penghuni rusun.
Tinggal atau memiliki apartemen memiliki biaya-biaya sendiri yang wajib dibayar oleh para pemilik unit apartemen yang nilainya tidak dapat disamakan pada saat tinggal di landed house. Berikut adalah beberapa biaya yang termasuk di dalamnya adalah pajak yang wajib dibayarkan kepada Developer dan P3SRS nantinya yaitu:
Demikian ulasan mengenai “Ingin Memiliki Rumah Susun, Perhatikan Hal Ini!” apabila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui lebih lanjut, dapat segera menghubungi kami di Selaras Law Firm.com nantikan artikel menarik lainnya!
Sumber:
Adrian, 2010, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Santos, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana Prenada Media.
Sumber Gambar:
pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>
Interaksi dan komunikasi yang terjalin secara terus menerus dapat membuat orang memiliki suatu hubungan dan melegalkan hubungan tersebut pada suatu perkawinan, hal tersbut juga dapat dialami oleh Warga Negara Indonesia (“WNI”) dengan Warga Negara Asing (“WNA”).
Pertemuan dan komunikasi tersebut memungkinkan penduduk suatu negara melangsungkan perkawinan dengan orang asing yang berdomisili sementara maupun tetap (residence) sehingga timbullah hubungan perkawinan antara WNA dengan WNI, hal inilah yang dinamakan dengan perkawinan campuran.
Perkawinan campuran dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dalam Pasal 57, berbunyi:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antar dua orang yang dilakukan di Indonesia tunduk pada hukum dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Dalam UU Perkawinan memiliki arti sebagai unsur penting dalam perkawinan campuran adalah dilakukan antara perempuan dengan laki-laki dimana salah satunya harus WNI dan yang lain harus WNA. faktor terjadinya perkawinan campuran ada dua, yaitu eksternal; keagamaan, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya. dan Internal: adat secara turun temurun, atau faktor ingin merubah kewarganegaraan.
Perkawinan campuran adalah suatu peristiwa hukum sama halnya dengan perkawinan pada umumnya yang dilakukan antar WNI, sehingga dengan dilakukannya perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum yang sah pula, demikian juga dengan perkawinan campuran akan menimbulkan akibat hukum.
Adapun beberapa akibat hukum dari perkawinan campuran adalah:
Percampuran harta ini menyebabkan munculnya harta bersama atau yang sering disebut harta gono gini, yaitu keseluruhan harta yang diperoleh selama masa perkawinan, Namun demikian, ada perkecualian terhadap percampuran harta ini, yaitu terhadap harta yang diperoleh sebelum perkawinan, harta yang diperoleh berdasarkan pemberian dan harta yang diperoleh berdasarkan pewarisan.
Untuk mengatasi terjadinya perselisihan antar warganya hukum positif memberikan jalan keluar, yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan yang secara tegas memisahkan harta suami dan istri dalam perkawinan berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing.
Ketentuan mengenai perjanjian kawin diatur dalam Pasal 147 juncto 149 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan dilakukan di hadapan notaris. status kewarganegaraan seseorang menentukan hak dan kewenangannya selaku warga negara.
Praktik jual beli Properti yang dilakukan oleh pasangan perkawinan campuran di Indonesia dalam Hukum nasional di Indonesia yang secara khusus mengatur mengenai hubungan hukum perdata yang mengandung unsur asing (foreign element) akibat terkait dengan sistem hukum yang berbeda yaitu menggunakan Hukum Perdata Internasional.
Hukum Perdata Internasional merupakan hukum nasional yang dipergunakan untuk memecahkan kasus-kasus yang di dalamnya terdapat unsur asing, yang masing-masing negara memiliki Hukum Perdata Internasional masing-masing. Hukum Perdata Internasional Indonesia mengenal ketentuan lex loci celebrationis, bahwa suatu perkawinan keabsahannya ditentukan oleh hukum dari negara dimana perkawinan itu diselenggarakan.
Sehingga apabila perkawinan campuran diselenggarakan di Indonesia tentunya perkawinan tersebut mengikuti tata cara perkawinan yang ada di Indonesia yang sesuai dengan UU Perkawinan. Hal ini sejalan dengan kaidah locus regit actum, bahwa bentuk perbuatan hukum itu dikuasai oleh hukum dari negara dimana perbuatan tersebut dilakukan.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia juga berdasar pada ketentuan UU Perkawinan dan peraturan perundang-undangan yang terkait di Indonesia. Konteks perkawinan campuran dalam kaitannya dengan harta benda perkawinan maka hal ini juga jika perkawinan campuran tersebut dilakukan di Indonesia maka harus didasarkan pada hukum di Indonesia.
Dalam ketentuan tersebut, maka apabila pasangan perkawinan campuran melakukan pembelian property, maka property tersebut menjadi harta bersama yang mana status kepemilikian atas property tersebut menjadi milik suami dan istri perkawinan campuran tersebut.
Dari segi kepemilikan hak milik atas tanah, perkawinan campuran WNI dan WNA dapat mengakibatkan adanya percampuran harta bersama jika pihak WNI memperoleh hak atas tanah tersebut setelah perkawinan dilangsungkan.Hak milik atas tanah yang dipunyai WNI akan menjadi bagian dari harta bersama yang juga dimiliki oleh WNA.
Dengan demikian, maka dengan terjadinya perkawinan campuran yang mengakibatkan percampuran dalam harta bersama, namun dalam UUPA memuat asas nasionalitas, artinya yang berhak memiliki atas tanah yang berada di Indonesia hanyalah WNI, sehingga WNA tidak boleh memiliki tanah di wilayah Indonesia, atas dasar konsep harta bersama dan ketentuan asas nasionalitas tersebutlah yang menyebabkan sulitnya pasangan perkawinan campuran melakukan jual-beli property
Demikian pembahsan mengenai “Kendala Pelaksanaan Jual Beli Properti Bagi Pasangan Perkawinan Campuran”, apabila sobat Selaras Law Firm ingin mengetahui informasi lebih lanjut dapat langsung menghubungi tim Selaras Law Firm di Selaras Law Firm. Nantikan artikel menarik selanjutnya!
Sumber:
Harahap. 2019. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Rosandi. 2016. Akibat hukum jual beli hak atas tanah yang belum didaftarkan. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>