Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /home/slf/public_html/index.php:1) in /home/slf/public_html/wp-includes/feed-rss2.php on line 8
Litigasi – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com Selaras Law Firm Thu, 02 Mar 2023 05:27:11 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.5.3 https://selaraslawfirm.com/wp-content/uploads/2021/11/cropped-icon-32x32.png Litigasi – Selaras Law Firm https://selaraslawfirm.com 32 32 Menjadi Justice Collaborator, Dapatkah Terbebas dari Pidana https://selaraslawfirm.com/menjadi-justice-collaborator-dapatkah-terbebas-dari-pidana/ Thu, 02 Mar 2023 05:27:11 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1628 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Kamu tidak butuh uang untuk membantu orang lain, kamu hanya butuh hati untuk membantu mereka.”

– Anonim

Dalam penanganan perkara tindak pidana tertentu pastinya Sobat Selaras sudah tahu bahwasanya terdapat istilah justice collaborator, bukan?

Tindak pidana tertentu yang dimaksud di atas tersebut adalah diantaranya seperti korupsi, narkotika, pencucian uang dan pembunuhan berencana.

Pengertian Justice Collaborator

Justice collaborator merupakan sebutan bagi pelaku tindak pidana yang bersedia untuk bekerja sama dengan penegak hukum dalam memberikan keterangan guna membongkar kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius. 

Istilah Justice collaborator juga dapat ditemukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pemberlakuan Bagi Saksi Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice collaborator) Dalam Tindak Pidana Tertentu (“SEMA No. 4/2011”).

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Bharada E

Pada tanggal 18 Januari 2023 tepatnya Hari Rabu, terdakwa Bharada E yang menjadi justice collaborator dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Joshua Hutabarat telah diberikan tuntutan dengan Pasal 340 jo Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang masih akan berlaku sampai pada tahun 2025. Tuntutan tersebut ialah tuntutan dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun. 

Pasal 340 KUHP tertulis bahwa:

Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Sedangkan Pasal 55 KUHP tertulis bahwa:

“(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana:

Ke-1.Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2.Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

 (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pemberian tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupa pidana selama 12 tahun untuk terdakwa Bharada E tersebut kini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Banyak masyarakat menganggap bahwasanya tuntutan dari JPU tersebut telah mencederai hukum yang mana hal tersebut seolah tidaklah menghargai dan memberikan keuntungan kepada Bharada E atas apa yang telah dilakukannya sebagai justice collaborator.

Baca juga: Mengenal Justice collaborator dalam Hukum Pidana.

Penghargaan dan Keuntungan Justice Collaborator 

Keberadaan justice collaborator telah diatur dalam SEMA No. 4/2011 yang hanyalah aturan internal di lingkungan pengadilan. Hal tersebut membuat tidak dimilikinya otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus

Saksi pelaku (dalam hal ini Bharada E) dalam menjalankan perannya akan mendapatkan perlindungan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dicabut Sebagian Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU Perlindungan Saksi dan Korban”).

Pasal 10 Ayat 1 UU tersebut tertulis bahwa:

Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.” 

Sementara Ayat 2 tertulis bahwa:

Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” 

Atas perannya sebagai justice collaborator, saksi pelaku akan diberikan suatu penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan.

Berdasarkan Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban, penanganan secara khusus tersebut berupa: 

  1. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; 
  2. Pemisahan pemberkasan dalam proses penyidikan/penuntutan antara saksi pelaku dengan tersangka/terdakwa yang diungkapkannya; 
  3. Memberikan kesaksian di persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. 

Selain diberikan penanganan khusus, saksi pelaku juga akan diberikan penghargaan atas kesaksiannya yang mana berupa:

1. Keringanan penjatuhan pidana

Untuk dapat memperoleh penghargaan ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) haruslah memberikan rekomendasi secara tertulis terlebih dahulu kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.

2. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.

Penghargaan ini dapat diperoleh dengan cara LPSK haruslah memberikan rekomendasi secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. 

Dalam hal pemberian penghargaan peringanan penjatuhan pidana, hakim diwajibkan untuk tetap dapat mempertimbangkan dari segi rasa keadilan masyarakat.

Apakah Terdakwa Bharada E sebagai Justice Collaborator akan Mendapatkan Keuntungan/Penghargaan tersebut?

Menjadi seorang justice collaborator memanglah sebuah keputusan yang sangat berat karena pengajuannya yang bersifat inisiatif. Oleh karena itu jika dilihat dari segi normatif, Bharada E bisa memperoleh penghargaan dan keuntungan atas partisipasinya sebagai justice collaborator

Kemudian apabila Sobat Selaras lihat dengan beberapa pertimbangan lainnya seperti salah satunya ialah tujuan pemidanaan, tentu saja Bharada E selaku terdakwa nantinya memiliki kemungkinan untuk dapat memperoleh penghargaan berupa keringanan hukuman, penanganan secara khusus, pembebasan bersyarat dan lainnya.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP No. 32/99”), syarat diberikannya pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana khusus adalah berkelakuan baik, telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan dan bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya/justice collaborator.

Yuuppss, itu dia pembahasan mengenai “Menjadi Justice Collaborator, Dapatkah Bharada E Terbebas dari Pidana?”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui hal-hal seputar hukum lainnya, Sobat Selaras dapat menghubungi kami atau baca artikel-artikel menarik kami lainnya di Selaras Law Firm ya!

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mencabut sebagian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pemberlakuan Bagi Saksi Pelapor (Whistleblower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama/Justice collaborator Dalam Tindak Pidana Tertentu

Sumber:

Abdul Haris Semendawai, “Penetapan Status Justice Collaborator bagi Tersangka atau Terdakwa dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”,  Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Volume 3, Nomor 3, 2016. Diakses pada laman: http://journal.unpad.ac.id/pjih/article/view/10354/5423 

Muhamad Romdoni and Aldestianah Putri Abu Bakar, “The Role of the Justice Collaborator in A Premeditated Murder Crime”, Legal Brief, Volume 12, Nomor 5, 2022. Diakses pada laman: http://legal.isha.or.id/index.php/legal/article/view/589/479 

Issha Harruma, “Keuntungan Menjadi Justice Collaborator dan Syaratnya”. Kompas.com, 5 maret 2022. Diakses pada laman: https://nasional.kompas.com/read/2022/03/05/00450061/keuntungan-menjadi-justice-collaborator-dan-syaratnya

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

 

]]>
Restorative Justice Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak https://selaraslawfirm.com/restorative-justice-kasus-kekerasan-seksual-pada-anak/ Sat, 18 Feb 2023 05:43:44 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1618 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

“Kamu dapat hidup tanpa kebaikan, tetapi kamu tidak dapat hidup tanpa keadilan.”

  Merna Arini

Pada awal tahun 2023 ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita kasus pemerkosaan gadis 15 Tahun oleh 6 pemuda di Brebes yang berakhir dengan damai. Kasus tersebut tidak dibawa ke jalur hukum setelah dimediasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan diberi uang kompensasi dengan perjanjian tertulis bahwa tidak akan membawa kasus pemerkosaan ini ke jalur hukum.

Perdamaian ini biasa disebut juga dengan restorative justice. Lalu, apakah kasus kekerasan seksual anak di bawah umur dapat diselesaikan di luar pengadilan dengan restorative justice? Simak artikel berikut untuk lebih jelasnya!

Pengertian Restorative Justice

Prinsip restorative justice merupakan salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara dengan instrumen pemulihan dan alternatif penyelesaian hukum melalui proses dialog dan mediasi. Dalam hal ini merupakan suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Baca Juga: Restorative Justice Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.

Dialog dan mediasi dalam keadilan restorative melibatkan beberapa pihak diantaranya pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait. Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana. Selain itu, tujuan lain dari restorative justice adalah untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.

Batas Umur Anak di Bawah Umur Berdasar Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU No. 35/2014) menerangkan yang dimaksud Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menerangkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 

Sedangkan, anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Kronologi Kasus

Gadis berusia 15 tahun di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah menjadi korban pemerkosaan oleh 6 pemuda tetangganya sendiri memilih berdamai. Peristiwa itu terjadi sekitar akhir Desember 2022.

Awalnya korban dijemput dua orang menggunakan sepeda motor. Kemudian remaja ini dibawa ke sebuah rumah kosong dan dicekoki minuman keras. Selanjutnya, perempuan ini diperkosa secara bergiliran oleh enam orang pelaku yang merupakan tetangganya.

Para pelaku merupakan warga Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes. Lima di antaranya masih berusia anak di bawah umur berstatus pelajar dan satu orang dewasa berinisial AI (19) dengan status pekerjaan wiraswasta. Sedangkan, Korban ini masih di bawah umur yaitu usianya baru 15 tahun dan masih usia SMP.

Tak lama setelah kejadian pada Desember 2022 lalu, pihak keluarga korban dan keluarga para pelaku dimediasi oleh sekelompok anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mediasi digelar di rumah seorang kepala desa di Kecamatan Tanjung. Dalam surat kesepakatan itu, pihak korban dan pelaku memilih berdamai. Pihak keluarga korban pun menerima uang kompensasi dari para pelaku dan keluarga pelaku bersedia bertanggung jawab jika akhirnya korban hamil.

Uang tersebut sebagai kompensasi kepada keluarga korban untuk biaya sekolah korban. Namun korban menerima uang tersebut separuh dari yang telah disepakati oleh sekelompok LSM dan keluarga korban. Keluarga korban akhirnya tidak melanjutkan kasus itu ke ranah kepolisian setelah adanya perjanjian damai tertulis. Dalam surat kesepakatan itu juga, keluarga korban bersedia dituntut jika melanjutkan kasus ini ke jalur hukum.

Kasus perkosaan ini membuat sekelompok warga di Brebes akhirnya melapor ke polisi. Polisi telah menangkap enam pelaku pemerkosaan tersebut. Polres Brebes juga telah berjanji akan menyelidiki kasus pemerkosaan anak ini meski kedua belah pihak sepakat damai. Polisi menyebut kasus ini bukan delik aduan.

Analisa Hukum

Kasus kekerasan seksual dianggap sebuah aib oleh kebanyakan masyarakat. Dalam hal ini terkadang korban dipojokkan dengan alasan memakai pakaian yang terbuka dan memperlihatkan bagian tubuhnya sehingga mengundang nafsu kaum adam. Dari pandangan tersebut, kekerasan seksual dianggap masalah personal yang bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

Baca Juga: Mengenal Justice Collaborator dalam Hukum Pidana Di Indonesia.

Kasus kekerasan seksual membawa dampak lebih besar bagi korban seperti hamil lalu melahirkan. Hal ini yang seringkali dianggap sebagai aib. Sehingga sebisa mungkin keluarga akan berusaha menutupi kasusnya dengan cara berdamai, atau mengawinkan korban dengan pelaku.  

Penerapan penyelesaian perkara menggunakan pendekatan metode restorative justice pada kasus kekerasan seksual hanya menambah trauma korban. Restorative justice dapat dilakukan untuk kasus kekerasan seksual namun dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 (UU TPKS) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur terkait perkara kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan diluar pengadilan. Dalam pasal 23 menyatakan “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Implementasi UU TPKS tidak hanya sekedar memberi jaminan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual, lebih dari itu berfungsi dalam hal pencegahan, perlindungan, dan pemulihan untuk korban. Hadirnya UU TPKS harus dihormati, bahwa penyelesaian perkara pidana kekerasan seksual harus dilakukan dengan jalur pengadilan.

Dalam kasus yang terjadi pada pelaku anak pun, penerapan diversi hanya dilakukan pada tindak pidana yang ancamannya di bawah 7 tahun dan bukan pengulangan, sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Sedangkan tindak pidana dalam kasus ini adalah perkosaan dengan ancaman pidana 12 tahun.

Sobat Selaras, jika sedang mengalami suatu peristiwa pidana, silahkan menghubungi tim Selaras Law Firm untuk berkonsultasi. Untuk menambah literasi hukum, yuk simak artikel lain di Selaras Law Firm!

Dasar Hukum:

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 (UU No. 12/2022) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Sumber:

Aryo Putranto Saptohutomo, “Restorative Justice: Pengertian dan Penerapannya Dalam Hukum di Indonesia”, diakses pada https://nasional.kompas.com/read/2022/02/15/12443411/restorative-justice-pengertian-dan-penerapannya-dalam-hukum-di-indonesia.

Khairina, “Fakta Kasus Pemerkosaan Gadis 15 Tahun di Brebes Berakhir Damai, Keluarga Takut Lapor Polisi”, diakses pada: https://regional.kompas.com/read/2023/01/17/121503278/fakta-kasus-pemerkosaan-gadis-15-tahun-di-brebes-berakhir-damai-keluarga?page=all (pukul 20.12 pada 09/02/2023).

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Urgensi dan Kedudukan Lie Detector sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana https://selaraslawfirm.com/urgensi-dan-kedudukan-lie-detector-sebagai-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/ Sat, 18 Feb 2023 05:20:38 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1615 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Hallo, Sobat Selaras!

Facta Sunt Potentiora Verbis (perbuatan atau fakta jauh lebih kuat dari kata-kata)”

Adagium Hukum

Lie detector merupakan alat yang menerapkan berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti psikologi, kedokteran, biologi, fisika, komputer dan lainnya.

Alat ini sangat berguna di kalangan penegak hukum karena penggunaannya yang sebagai pengungkap dari berbagai fakta.

Lantas apakah penggunaan lie detector tersebut dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana pembunuhan berencana?

Pengertian Lie Detector

Secara umum, Lie detector adalah sebuah alat yang merupakan gabungan dari beberapa alat kesehatan yang digunakan untuk mendeteksi seseorang, apakah berkata bohong atau jujur dengan menggunakan mesin polygraph.

Syarat Formal dan Teknis Pemeriksaan Polygraph

Dalam melakukan pemeriksaan lie detector terdapat syarat formal dan teknis yang perlu dipenuhi.

 Persyaratan formal antara lain:

  1. Permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi;
  2. Laporan polisi;
  3. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan
  4. Surat persetujuan untuk diperiksa dari saksi/tersangka, bila saksi/tersangka didampingi oleh penasihat hukum maka surat persetujuan diketahui oleh penasihat hukumnya.

Sedangkan persyaratan teknis antara lain:

  1. Tersedianya ruang pemeriksaan yang bebas dari kebisingan;
  2. Tersedianya tenaga listrik untuk penerangan dan 3 buah stop kontak untuk peralatan;
  3. Tersedianya meja dan kursi yang stabil;
  4. Kondisi terperiksa harus:
    • Sudah dewasa menurut ketentuan undang-undang;
    • Sehat jasmani dan rohani;
    • Apabila terperiksa perempuan, tidak dalam kondisi hamil atau menstruasi; dan
    • Kondisi terperiksa tidak dalam keadaan tertekan;
  5. Untuk memastikan kondisi kesehatan terperiksa, dapat dilengkapi dengan:
    • Riwayat kesehatan saksi/tersangka; dan
    • Laporan hasil pemeriksaan psikologi;
  6. Untuk pendalaman kasus:
    • Penyidik harus selalu berkoordinasi dengan pemeriksa; dan
    • Apabila diperlukan dalam rangka pemeriksaan, pemeriksa polygraph dapat mendatangi TKP.

Ketentuan yang tertera di atas memberikan perluasan dari tempat pelaksanaan pemeriksaan lie detector yakni dapat mendatangi TKP, sehingga tidak terbatas dilaksanakan pada Labfor Polri dan/atau satuan kewilayahan saja. 

Baca juga: Pengakuan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.

Metode Pendeteksi Kebohongan

Pada prinsipnya, metode pendeteksi kebohongan bekerja dengan berdasar pada perubahan respon fisiologis tubuh manusia yang diakibatkan oleh usahanya untuk menutupi kebohongannya.

Akan tetapi, mendeteksi kebohongan juga dapat dilakukan dengan beberapa metode lainnya. Beberapa dari metode pendeteksi kebohongan tersebut ialah berdasarkan:

  1.     Konduktivitas kulit;
  2.     Isi tulisan;
  3.     Bentuk tulisan tangan;
  4.     Analisa suara;
  5.     Image infrared (termograpy); dan
  6.     Gesture/bahasa tubuh.

Metode pengujian kebohongan adalah sebuah pendekatan yang dilakukan dengan mengamati respon tubuh yang dijadikan dasar analisa untuk menilai seseorang apakah sedang berbohong atau tidak.

Secara umum, orang yang sedang berbohong akan mengalami tekanan (stress) dan manifestasi stress bisa ditanggap dalam banyak bentuk seperti produksi keringat, perubahan bentuk tulisan tangan, panas pada kulit, perubahan suara, gesture dan lainnya.

Setiap metode uji kebohongan memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Secara umum, kelemahan metode deteksi kebohongan adalah pada saat proses penilaian terutama proses yang evaluasinya dilakukan secara manual.

Uji kebohongan ini dapat memberikan hasil yang lebih optimal dan sangat baik apabila pengujiannya dilakukan dengan menggabungkan beberapa metode.

Urgensi Penggunaan Lie Detector

Penggunaan lie detector dalam kasus tindak pidana khususnya pembunuhan berencana memiliki urgensi yang mana diantaranya yaitu:

  1. Lie detector sebagai instrumen pendukung dalam pemeriksaan tersangka dan saksi yang diminta penyidik melalui Pusat Laboratorium Forensik untuk memudahkan penyidik dalam melakukan penyelidikan kasus pembunuhan berencana.
  2. Lie detector digunakan sebagai alat bantu untuk menemukan fakta sebenarnya dari pemeriksaan dalam kasus yang sulit untuk dipecahkan.
  3. Hasil dari lie detector dapat menjadi bukti penunjang dari pertimbangan penyidik dalam mengaitkan bukti dan fakta yang ada dengan keterangan dari saksi atau tersangka terhadap kasus pembunuhan berencana yang berubah-ubah.
  4. Lie detector digunakan untuk membuat terang suatu perkara pidana pembunuhan berencana dengan cara mendeteksi dan mengetahui kebenaran dari keterangan yang diungkapkan saksi atau tersangka.
  5. Lie detector sebagai instrumen untuk menggali keterangan saksi atau tersangka guna untuk mendapatkan persesuaian dengan alat bukti sehingga menghasilkan sebuah fakta yang sebenarnya.

Jadi penggunaan lie detector sebagai alat pendukung proses pemeriksaan dalam tahap penyidikan memiliki urgensi dalam mengungkap kasus tindak pidana pembunuhan berencana yang mana hasil lie detector ini akan dikaitkan dengan alat bukti yang telah ada sebelumnya guna mendapatkan suatu persesuaian fakta yang sebenarnya.

Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), alat bukti sah adalah:

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa..

Kedudukan Lie Detector sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) telah mengakomodir pengaturan mengenai alat bukti digital/elektronik yang mana termasuk di dalamnya ialah hasil dari lie detector.

Dalam Pasal 5 UU ITE, yang dimaksud dengan alat bukti untuk tindak pidana terkait UU ITE adalah alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 184 ayat (1) KUHAP) dan alat bukti lain termasuk informasi elektronik maupun dokumen elektronik. Jika dilihat dari bentuknya, lie detector termasuk dalam alat bukti dokumen elektronik. 

Berkenaan dengan penggunaan lie detector sebagai alat bukti, kita dapat mengacu kepada UU ITE yang merupakan dasar hukum dalam penggunaan sistem elektronik/informasi sebagai alat bukti di pengadilan. 

Lie detector dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil pemeriksaan atas keabsahan dari tes lie detector diberikan oleh seorang ahli/keterangan ahli laboratorium forensik komputer.

Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 KUHAP, telah jelas bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.

Namun untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenaan dengan penggunaan lie detector sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif (dalam hal ini alat bukti petunjuk diperluas sehingga lie detector dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana). 

Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya sebatas pada peraturan-peraturan yang ada di dalam KUHAP melainkan dapat juga mengacu kepada UU ITE yang merupakan dasar hukum dalam penggunaan sistem elektronik.

UU ITE ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu UU ITE juga mengakui hasil penggunaan sistem elektronik, khususnya mengenai hasil tes pengujian lie detector sebagai alat bukti yang sah, yaitu sebagai alat bukti petunjuk.

Nahh itu dia pembahasan mengenai “Urgensi dan Kedudukan Lie Detector sebagai Alat Bukti dalam Perkara Pidana”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui hal-hal seputar hukum lainnya, Sobat Selaras dapat menghubungi kami atau baca artikel-artikel menarik kami lainnya di Selaras Law Firm ya!

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009

Sumber:

I Gede Aris Gunadi, Agus Harjoko. “Telaah Metode-metode Pendeteksi Kebohongan”. IJCCS, Volume 6, Nomor 2, 2012.

Vinca Fransisca Yusefin dan Sri Mulyati Chalil, “Penggunaan Lie Detector (Alat Pendeteksi Kebohongan) dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum, Volume 17, Nomor 2, 2018.

Yahya harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Sumber Gambar: hellosehat.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Analisis Hukum “Turut Melakukan” dan “Membantu Melakukan” dalam KUHP https://selaraslawfirm.com/analisis-hukum-turut-melakukan-dan-membantu-melakukan-dalam-kuhp/ Wed, 08 Feb 2023 06:27:24 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1589 Oleh: Anies Mahanani, S.H.

Halo Sobat Selaras!

“Tidak semua orang yang berada di dalam satu tempat kejadian perkara kejahatan itu berarti turut serta, harus ada meeting of mind” 

– Ahli Pidana Muhammad Arif Setiawan (Universitas Islam Indonesia).

Tidak semua terdakwa dalam kasus pidana merupakan pelaku utama dalam peristiwa tindak pidana. Yukkk simak artikel berikut untuk mengetahui peran-peran yang terdapat dalam sebuah peristiwa tindak pidana!

Turut Melakukan

Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

  1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
    1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
    2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
  2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Baca Juga: Obstruction of Justice dalam Proses Hukum di Indonesia.

Menurut R. Soesilo, turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. 

Jadi, kedua orang tersebut harus melakukan perbuatan pelaksanaannya (melaksanakan elemen dari tindak pidana) dan adanya kerjasama yang erat antara mereka yang dilandasi niat untuk mewujudkan terjadinya tindak pidana, tidak boleh hanya melakukan persiapan maupun setelah kejadiannya (bukan bersifat menolong).

Membantu Melakukan

Pasal 56 KUHP:

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

  1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
  2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Menurut R. Soesilo, bahwa orang yang membantu melakukan jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (bukan sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Dalam perbuatan membantu melakukan ini sifatnya menolong, sehingga bukan orang yang melaksanakan elemen dari tindak pidana.

Perbedaan Turut Melakukan dan Membantu Melakukan

Turut serta dalam tindak pidana yaitu terjadi kerjasama antara pelaku dengan tujuan untuk melakukan tindak pidana. Sedangkan membantu melakukan berarti orang yang membantu tersebut hanya membantu pelaku agar bisa mencapai tujuan pelaku tanpa ada tujuan sendiri.

Terdapat 2 (dua) syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: 

  1. Kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; 
  2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.

Artinya, adanya kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana dan pelaku memiliki kepentingan atau tujuan sendiri untuk terjadinya tindak pidana tersebut. Jadi, turut serta dalam tindak pidana dengan orang yang membantu melakukan tindak pidana sama-sama menjadi pelaku dari tindak pidana tersebut.

Sedangkan, bagi yang membantu melakukan tersebut harus memiliki unsur kesengajaan. Baik yang dilakukan pada saat kejadian atau sebelum kejadian tersebut. Sedangkan jika dilakukan dalam waktu setelah kejadian pidana, maka bisa dinyatakan sebagai sekongkol.

Baca Juga: Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam penjelasan pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen sengaja harus ada. Niat untuk melakukan kejahatan harus muncul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya, atau keterangan itu. Orang yang membantu melakukan hanyalah untuk membantu pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan sendiri. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah karena berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).

Sehingga untuk seseorang yang tidak sengaja membantu tindak pidana karena tidak mengetahui adanya kejahatan tersebut, maka tidak dihukum atau tidak termasuk seseorang yang turut serta dalam tindak pidana.

Pengaturan pada RKUHP

Turut melakukan dan membantu melakukan yang juga diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

Pasal 20 Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Setiap orang dipidana sebagai pelaku tindak pidana jika:

  1. Melakukan sendiri tindak pidana;
  2. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
  3. Turut serta melakukan tindak pidana; atau
  4. Menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan kekerasan, menggunakan ancaman kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan.

Penjelasan Pasal 20 huruf d Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana juga termasuk membujuk, menganjurkan, memancing, atau memikat orang lain dengan cara tertentu.

Pasal 21

1. Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja:

  1. Memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau
  2. Memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II.

3. Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

4. Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

5. Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan.

Sobat Selaras, untuk menghindari keikutsertaan dalam sebuah peristiwa pidana bisa berkonsultasi dengan tim kami di Selaras Law Firm

Dasar Hukum

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan).

Sumber:

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Refika Aditama.

Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar – Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Hukum Memberikan Keterangan dan Sumpah Palsu di Persidangan https://selaraslawfirm.com/hukum-memberikan-keterangan-dan-sumpah-palsu-di-persidangan/ Wed, 08 Feb 2023 06:03:56 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1586 Oleh: Marcelia Puspa Andini

Hallo, Sobat Selaras!

Tentu Sobat Selaras sudah tahu bahwasanya dalam persidangan perkara pidana terdapat saksi yang mana saksi tersebut nantinya akan memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan dari suatu perkara pidana, bukan?

Dalam Pasal 1 Angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tertulis bahwa:

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sangat penting dalam proses pembuktian pada tahap pemeriksaan. Oleh karena itu, dalam Pasal 160 Angka 3 KUHAP dijelaskan bahwa seorang saksi wajib disumpah atau berjanji terlebih dahulu sebelum atau setelah memberikan keterangannya di persidangan.

Lantas bagaimana apabila keterangan dan sumpah yang diberikan oleh seorang saksi tersebut palsu? Apakah saksi tersebut dapat di pidana? Yukkk simak penjelasan dalam artikel berikut ini untuk menemukan jawabannya!

Pasal Keterangan Palsu

Memberikan keterangan palsu saat menjadi saksi di persidangan dapat diancam dengan sanksi pidana keterangan palsu sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang masih berlaku saat ini dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (“UU KUHP”) yang berlaku 3 tahun sejak diundangkan.

Dalam Pasal 242 Ayat (1) KUHP tertulis bahwa:

Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Apabila keterangan palsu berdasar pasal tersebut diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah maka dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

Sedangkan pengaturan mengenai keterangan palsu dalam Pasal 291 Ayat (1) UU KUHP tertulis bahwa:

Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu yang diberikan dalam pemeriksaan perkara dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut dapat merugikan tersangka, terdakwa atau pihak lawan, maka pidananya ditambah 1/3.

Unsur-Unsur Pasal Keterangan Palsu

Menurut R Soesilo, berikut adalah unsur-unsur yang harus terpenuhi terlebih dahulu agar seorang saksi yang memberikan keterangan dapat dihukum:

  1. Keterangan itu harus di atas sumpah;
  2. Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu;
  3. Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan;
  4. Supaya dapat dihukum, pembuat harus mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah;
  5. Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran akan tetapi akhirnya keterangan tersebut tidak benar atau dengan kata lain ia tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum. 
  6. Sebelum saksi dituntut melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu, hakim terlebih dahulu memperingatkan saksi dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu sesuai dengan Pasal 174 KUHAP. 
  7. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan dan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu. 

Baca juga: Pengenaan Pidana Atas Kasus Perselingkuhan Antara Suami dan Ibu Mertua.

Dalam praktik, hakim berhak menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Akan tetapi secara teknis saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi berbohong, maka hakim ketua akan menangguhkan sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota. Jika musyawarah mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.

Dengan kata lain tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu. Tentunya dengan ketentuan, hakim sebelumnya harus memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana.

Jadi ketegasan hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu namun tetap diproses maka soal bersalah atau tidak bersalahnya itu adalah bergantung dari proses pembuktian perkara di pengadilan sesuai dengan asas praduga tak bersalah.

Nahh itu dia pembahasan mengenai “Hukum Memberikan Keterangan dan Sumpah Palsu di Persidangan”. Apabila Sobat Selaras ingin mengetahui hal-hal seputar hukum lainnya, Sobat Selaras dapat menghubungi kami atau baca artikel-artikel menarik kami lainnya di Selaras Law Firm ya!

Dasar Hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber:

Soesilo. 1991. “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”. Bogor: Politeia.

Sumber Gambar: istockphoto.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Mengenal Justice Collaborator dalam Hukum Pidana di Indonesia https://selaraslawfirm.com/mengenal-justice-collaborator-dalam-hukum-pidana-di-indonesia/ Sat, 04 Feb 2023 07:23:09 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1582 Oleh: Anies Mahanani, S.H

Halo Sobat Selaras!

Justice Collaborator merupakan istilah dalam Hukum Pidana. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun peraturan lainnya secara eksplisit tidak mengatur tentang justice collaborator dalam peradilan pidana. 

Lalu, bagaimana pengaturan justice collaborator di Indonesia? Untuk lebih jelasnya, yukkk simak artikel berikut ini!

Pengertian Justice Collaborator

Justice Collaborator adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Selanjutnya justice collaborator tersebut akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya. 

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011, justice collaborator salah satu pelaku dari tindak pidana yang mengakui kejahatannya. Tapi, bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan.

Baca Juga: Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Kedudukan seorang justice collaborator merupakan saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan. Keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. 

Pengaturan Justice Collaborator

Dalam hukum nasional, justice collaborator diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dicabut sebagian dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2011 (SEMA No. 4/2011) tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Peran Justice Collaborator

Seorang justice collaborator berperan sebagai kunci yang di antaranya:

  1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian aset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara.
  2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum.
  3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Jika seorang justice collaborator berbohong dalam keterangannya, maka berbagai haknya akan dicabut dan ia bisa dituntut telah memberikan keterangan palsu. Untuk menjadi justice collaborator harus memenuhi syarat yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagai berikut:

  1. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisir.
  2. Memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius atau terorganisir.
  3. Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapkan.
  4. Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperoleh dari tindak pidana yang bersangkutan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis.
  5. Ada ancaman yang nyata atau khawatir akan adanya ancaman, tekanan secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau keluarganya.

Baca Juga: Restorative Justice Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.

Syarat untuk menjadi justice collaborator juga diatur dalam SEMA No. 4/2011, Pasal 9 (A) dan (B), sebagai berikut:

  1. Justice Collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui semua kejahatan yang dilakukannya. Tapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
  2. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan. Sehingga, penyidik dan atau penuntut umum bisa mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan aset-aset, hasil dari suatu tindak pidana.

Perlindungan Hukum Justice Collaborator

Justice collaborator juga berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum penanganan secara khusus, dan penghargaan. Penghargaan tersebut dapat berupa keringanan hukuman tersebut.

Meskipun dalam SEMA No. 4/2011 sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi penyidik. SEMA No. 4/2011 hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas.

Baca Juga: Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee.

Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dicabut sebagian dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator khususnya pada Pasal 10 dan Pasal 10A. Rumusan norma Pasal 10 adalah sebagai berikut:

  1. Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.
  2. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian yang telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara implisit mengatur hak-hak justice collaborator yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat 1 sampai 16. Salah Satunya berbunyi “Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.”

Artinya keberanian untuk memberikan kesaksian terhadap saksi pelaku dan/atau pelapor atas kesaksian maupun laporan yang diberikan perlu diberikan apresiasi. Perlindungan atas keamanan baik pribadi maupun keluarga serta ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang telah diberikan.

Nahhh, gimana sobat Selaras, sudah paham kan dengan istilah maupun pengaturan justice collaborator? Untuk mengetahui istilah hukum lainnya, sobat Selaras bisa loh langsung mengunjungi laman Selaras Law Firm atau menghubungi tim Selaras untuk berkonsultasi! yuk baca artikel lain di Selaras Law Firm!

Dasar Hukum:

Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mencabut sebagian Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, KPK, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011; Nomor: PER-045/A/JA/12/2011; Nomor: 1 Tahun 2011; Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011; Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Sumber: 

Ahmad Sofian, Februari 2018, “Justice Collaborator dan Perlindungan Hukumnya” diakses pada: https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlindungan-hukumnya/

Nurhadi, 12 Agustus 2022, “Inilah Hak yang Diperoleh sebagai Justice Collaborator” diakses pada https://nasional.tempo.co/read/1621894/inilah-hak-yang-diperoleh-sebagai-justice-collaborator

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Hukum dapat Mengancam Keberadaan Karen’s Dinner di Indonesia https://selaraslawfirm.com/hukum-dapat-mengancam-keberadaan-karens-dinner-di-indonesia/ Thu, 26 Jan 2023 11:39:33 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1559 Oleh: Anisa Fernanda

Halo sobat Selaras Law Firm!

Bagaimana nih kabarnya? Semoga sobat Selaras Law Firm yang sedang membaca artikel ini dalam keadaan sehat dan harus selalu bersemangat ya!

Pernah mendengar slogan, “Pembeli adalah raja” tidak? Tentunya sudah sangat familier bukan? 

Slogan tersebut mengisyaratkan bahwasanya pembeli harus diperlakukan sebaik mungkin layaknya seorang raja. Namun apakah semua penjual harus menjalankan bisnis sesuai dengan slogan tersebut?

Penerapan slogan tersebut sebenarnya dimaksudkan agar setiap pembeli yang mendapatkan pelayan dengan baik merasa puas, nyaman, dan ada hasrat untuk kembali untuk membeli.

Faktanya, perkembangan zaman mendorong adanya perubahan dalam dunia bisnis dan slogan tersebut agaknya sudah tidak lagi relevan sebagai sarana untuk menarik pembeli.

Karen’s Dinner adalah salah satu restoran dengan konsep pelayanan yang berbanding terbalik dengan slogan tersebut. Keunikannya membuat Karen’s Dinner semakin viral dan sukses diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika.

Sobat Selaras Law Firm pasti tahu dong kalau Karen’s Dinner sudah ada di Indonesia.

Sayangnya, dengan hadirnya restoran ini justru menuai kritik dari masyarakat sebab adanya dugaan penerapan konsep yang berlebihan. 

Lantas, apakah Karen’s Dinner cocok diterapkan di Indonesia atau justru berisiko? Bagaimanakah implikasinya terhadap ketentuan hukum di Indonesia? 

Nah agar tidak menerka-nerka lagi, mari kita bahas!

Baca Juga: Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.

Awal Mula Hadirnya Karen’s Diner di Indonesia

Umumnya sebuah restoran menyuguhkan pelayanan terbaik tetapi berbeda dengan restoran satu ini. Karen’s Diner merupakan sebuah restoran yang pertama kali didirikan pada tahun 2021 di Sydney, Australia oleh Aden Levin dan James Farrell.

Awalnya direncanakan sebagai restoran pop-up dengan jangka pendek selama 6 (enam) bulan. Namun, berkat konsep unik yang menjadi andalan membawa restoran ini semakin popular di kalangan masyarakat Australia.

Bahkan, saat ini Karen’s Diner memiliki cabang di berbagai tempat seperti Melbourne, Inggris, New Zealand, dan Indonesia.

Penggunaan nama restoran ini diambil dari nama “Karen” yang merepresentasikan wanita paruh baya dengan stereotip kasar dan merasa berhak akan segalanya. 

Karen’s Diner menggunakan konsep pelayanan yang tidak ramah dengan memaki, memperlakukan pelanggan secara kasar. Pelanggan juga diharapkan melakukan hal yang sama kepada pelayan.

Meskipun memiliki konsep yang cukup riskan tetapi Karen’s Diner memiliki aturan yang tidak dapat dilanggar oleh pelayan maupun pengunjung. Berikut aturan yang harus dilaksanakan:

  1. Tidak diperbolehkan untuk berkomentar rasis, seksi, homofobik, dan SARA;
  2. Tidak melakukan body-shaming dan pelecehan seksual;
  3. Tidak diperbolehkan merusak properti;
  4. Tidak boleh membuang-buang makanan;

Sayangnya, baru-baru ini Karen’s Diner mendapatkan respons negatif dari masyarakat Indonesia sebab melakukan pelayanan berlebihan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pelanggan merasa kalimat yang dilontarkan oleh pelayan justru mengarah kepada body-shaming. 

Konsep Karen’s Diner sebenarnya berbanding terbalik dengan budaya bangsa Indonesia yang mengedepankan sopan santun dan tidak menjadi permasalahan bilamana diterapkan berdasarkan ketentuan.

Namun dengan adanya perbedaan culture yang sangat signifikan mengakibatkan keberadaan Karen’s Diner berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan.

Karen’s Dinner Berpotensi Melanggar Hukum 

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasanya dengan konsep unik yang dimiliki Karen’s Diner berpotensi besar melanggar peraturan di Indonesia. 

Salah satu Pasal yang dapat dikenakan bilamana tidak sesuai dengan ketentuan Karen’s Diner adalah pencemaran nama baik sebab baru-baru ini diketahui pelayanan yang dilakukan justru berlebihan dan menjurus pada body-shaming.

Dalam Pasal 310 KUHP disebutkan bahwasanya:

Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta;[3]

Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta

Sedangkan dalam KUHP terbaru yang baru berlaku 3 tahun mendatang juga mengaturnya tepatnya di Pasal 433 dengan sanksi yang lebih berat yakni pencemaran lisan berupa penjara paling lama 9 bulan atau denda paling banyak kategori II yakni Rp10 juta serta pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda paling banyak kategori III yakni Rp50 juta.

Perbuatan yang termasuk pencemaran nama baik adalah penistaan, fitnah, dan penghinaan ringan.

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pelanggan adalah dengan melakukan laporan ke pihak kepolisian sebab pasal-pasal diatas termasuk delik aduan yang baru diproses ketika adanya aduan dari korban. 

Bahkan dengan hadirnya KUHP terbaru membuat keberadaan Karen’s Diner semakin terancam karena adanya pengaturan mengenai penghinaan terhadap pejabat negara sebagaimana yang termuat dalam Pasal 240.

Baca juga: Pengakuan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Karen’s Diner sebagai restoran yang diadopsi dari Negara Australia memiliki perbedaan budaya yang sangat signifikan berakibat pada terancamnya keberadaannya di Indonesia. Perkembangan menunjukkan adanya dugaan perbuatan pelayan Karen’s Diner yang berlebihan dari ketentuan dan menjurus kepada body-shaming. Pencemaran nama baik termasuk pernistaan, fitnah, dan penghinaan ringan. Bahkan penghinaan terhadap terhadap pejabat negara dapat dikenakan sepanjang dapat dibuktikan dan diadukan kepada kepolisian karena termasuk delik aduan.

Sekian pembahasan terkait “Hukum dapat Mengancam Keberadaan Karen’s Dinner di Indonesia”. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Sobat Selaras Law Firm ya! 

Apabila Sobat Selaras Law Firm ingin bertanya atau berkonsultasi hukum bisa segera menghubungi kami di Selaras Law Firm ya!

Yuk jangan lupa baca juga artikel menarik lainnya hanya  di Selaras Law Firm! So, jangan lupa juga untuk menantikan artikel-artikel menarik lainnya ya Sobat!

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber:

Alinda Hardiantoro, 2022, Ramai soal Restoran Karen’s Diner Bakal Buka di Jakarta, Apa Keunikannya?, https://www.kompas.com/tren/read/2022/11/14/130000665/ramai-soal-restoran-karen-s-diner-bakal-buka-di-jakarta-apa-keunikannya-?page=all.

Kompasiana, 2022, Kontroversi Karen’s Diner Jakarta yang Ingin Laris tapi Malah Jadi Cringe Abis, https://www.kompasiana.com/bobby18864/639c8cf0f4fbe449997e85f2/kontroversi-karen-s-diner-jakarta-yang-ingin-laris-tapi-malah-jadi-cringe-abis

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

 

 

]]>
Obstruction of Justice dalam Proses Hukum di Indonesia https://selaraslawfirm.com/obstruction-of-justice-dalam-proses-hukum-di-indonesia/ Wed, 18 Jan 2023 03:06:17 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1541 Oleh: Anies Mahanani, S.H 

Halo Sobat Selaras!

Belakangan ini seringkali kita mendengar istilah Obstruction of Justice di beberapa media dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Penanganan perkara kasus Brigadir J yang dilakukan oleh penegak hukum dianggap telah memenuhi kriteria obstruction of justice.

Apa sih Obstruction of Justice itu? Yukkk simak artikel berikut ini!

Pengertian Obstruction of Justice

Penasihat hukum Brigadir J menduga penyelidik dan penyidik telah melakukan obstruction of justice dalam perkara tersebut berupa rekayasa perkara dan menghilangkan atau merusak barang bukti. 

Delik obstruction of justice merupakan hal yang serius dan hanya bisa diakui bila seseorang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung suatu putusan pidana.

Istilah obstruction of justice merupakan suatu tindakan untuk menghalangi proses peradilan pidana. Tindakan ini berupa ancaman untuk menghalangi proses peradilan pidana atau upaya untuk menghalangi dan melakukan tindakan-tindakan yang menghalangi proses peradilan pidana.

Menurut, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy Omar Sharif Hiariej, obstruction of justice secara harfiah diartikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses hukum, baik terhadap saksi, tersangka, atau terdakwa. Obstruction of justice dilakukan dengan maksud untuk menunda, mengganggu, atau mengintervensi proses hukum dalam satu kasus.

Obstruction of justice dianggap sebagai bentuk tindakan kriminal karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum. Oleh karenanya, obstruction of justice dikategorikan sebagai salah satu jenis perbuatan pidana contempt of court atau penghinaan pada pengadilan.

Baca Juga: Restorative Justice Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.

Kriteria Tindakan Obstruction of Justice

Kita dapat melihat kriteria obstruction of justice yang berlaku di negara Amerika Serikat. Debora C. England dalam tulisannya yang berjudul “Obstruction of Justice” menyampaikan ada beberapa kriteria tindakan yang dapat digolongkan sebagai obstruction of justice:

  1. Aiding a suspect, yakni membantu tersangka dengan memberikan informasi terkait proses penyidikan yang sedang dilakukan. Pembocoran informasi ini dapat menghalangi proses peradilan karena berkat informasi tersebut tersangka dapat menghilangkan atau merusak barang bukti bentuk tindakan lain. Contoh yang tergolong ke dalam aiding suspect adalah menyembunyikan tersangka.
  2. Lying, adalah tindakan dari saksi atau tersangka yang berbohong atau memberikan informasi palsu kepada penyidik (penegak hukum) pada saat dilakukannya pemeriksaan saksi atau tersangka baik secara tertulis maupun secara lisan.
  3. Famous Obstructions, dilakukan bersekongkol atau bersama sama membantu pelaku tindak pidana untuk dapat mengelabui aparat penegak hukum seperti mengambil barang bukti dan menghilangkan barang bukti.
  4. Tampering With Evidence, yakni perbuatan merusak barang bukti atau alat bukti. Menyuap saksi untuk dapat merekayasa suatu peristiwa pidana juga termasuk ke dalam jenis ini.

Obstruction of justice dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melemahkan pembuktian agar tidak terjerat putusan tertentu. Secara normatif, tindakan ini sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam KUHP dan hukum pidana khusus.

Pengaturan Obstruction of Justice

Di Indonesia, tindakan obstruction of justice telah diatur dalam Pasal 221 KUHP dan Pasal 21 Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, dalam aturan-aturan tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit apa obstruction of justice itu.

Beberapa kriteria yang disampaikan di atas diatur dalam KUHP, antara lain; Pasal 221 ayat (1), Pasal 231 dan Pasal 233. Pada Pasal 221 ayat (1) kesatu KUHP diatur tentang perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau memberikan pertolongan kepada pelaku untuk menghindari penyidikan.

Baca Juga: Mengenal Extra Ordinary Crime.

Pasal 221 (1) ke 2 menyatakan: Barang siapa yang melakukan perbuatan menutupi tindak pidana yang dilakukan, dengan cara menghancurkan, menghilangkan dan menyembunyikan barang bukti dan alat bukti diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Lalu, Pasal 231 ayat (1) dan (2) KUHP mengatur tentang penarikan barang sitaan yang dititipkan atas perintah hakim. Apabila terhadap barang sitaan tersebut, pelaku merusak, menghancurkan, membuat tak dapat dipakai barang yang disita, diancam pidana penjara paling lama empat tahun.

Pasal 233 KUHP juga mengatur obstruction of justice dalam hal ada tindakan yang dilakukan oleh seseorang berupa merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, menghilangkan barang bukti berupa akta-akta, surat-surat yang tujuannya untuk membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang. Perbuatan pidana ini diancam pidana penjara paling lama empat tahun.

Pengaturan obstruction of justice dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP sesungguhnya tidak membedakan siapa pelaku, apakah masyarakat sipil atau aparat penegak hukum seperti penyidik, advokat, atau penuntut umum. Sebagian pakar berpendapat belum ada pasal yang mengatur tentang obstruction of justice yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam KUHP.

Unsur-Unsur Obstruction of Justice

Ada tiga unsur perbuatan yang dapat dikatakan memenuhi tindakan obstruction of justice, yaitu:

  1. Tindakan tersebut menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings)
  2. Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings)
  3. Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).

Di peradilan di Amerika, terdapat tambahan satu syarat untuk dapat memenuhi unsur obstruction of justice, yaitu pelaku harus dapat dibuktikan memiliki motif, seperti motif ingin bebas dari tuntutan, motif ingin pengurangan masa tahanan, dan lain-lain. Tanpa adanya maksud, seseorang tidak dapat dijatuhi sanksi pidana berdasarkan Pasal 221 KUHP.

Nahhh, gimana sobat Selaras, sudah paham kan dengan istilah obstruction of justice? Untuk mengetahui istilah hukum lainnya, yuk baca artikel lain di Selaras Law Firm!

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dr. Febby Mutiara Nelson, 2022, “Telaah Obstruction of Justice dalam Perkara Brigadir J”, diakses di  (https://law.ui.ac.id/telaah-obstruction-of-justice-dalam-perkara-brigadir-j-oleh-dr-febby-mutiara-nelson/).

Kristianto Purnomo, 2022, “Obstruction of Justice” dan “Extrajudicial Killing”, diakses di (https://nasional.kompas.com/read/2022/09/02/12005891/obstruction-of-justice-dan-extrajudicial-killing-di-kasus-ferdy-sambo-apa).

Sumber Gambar: pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Pelaku Tindak Pidana Tidak Dikenakan Sanksi Pidana: Kok Bisa? https://selaraslawfirm.com/pelaku-tindak-pidana-tidak-dikenakan-sanksi-pidana-kok-bisa/ Mon, 09 Jan 2023 10:49:58 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1515 Oleh : Anisa Fernanda

Halo sobat Selaras Law Firm?

Bagaimana kabarnya? Semoga sehat dan harus selalu bersemangat ya sobat.

Sedikit flashback yuk! Mungkin dari kita masih ada yang ingat dengan kejadian di tahun 2009 yang dialami oleh nenek Minah. 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan hukuman penjara dengan masa percobaan 3 bulan dan biaya perkara atas perbuatannya mencuri 3 buah Kakao. 

Hukuman yang dikenakan memang sudah sesuai rumusan peraturan perundang-undangan.

Namun apakah sudah sesuai dengan ideologi bangsa? Mengingat keadilan merupakan hak setiap warga negara termasuk pelaku kejahatan.

Perkembangan masyarakat mendorong pembaharuan Hukum kearah yang lebih mengedepankan keadilan bagi seluruh pihak (korban, pelaku, dan masyarakat). 

Pengesahan RKUHP pada tanggal 6 Desember 2022 menjadi tonggak sejarah dalam hukum di Indonesia yang telah lama menggunakan hukum warisan peninggalan kolonial Belanda.

Salah satu pembaharuannya adalah adanya konsep pemaafan hakim (rechterlijke pardon) yang menjadi jawaban atas permasalahan hukum seperti pada kasus Minah yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa pengenaan sanksi pidana sepanjang memenuhi ketentuan.

Lalu bagaimana pengaturannya? 

Agar tidak menerka-nerka lagi. Yuk simak pembahasannya!

Baca Juga: Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan

Pengertian Pemaafan Hakim (Rechterlijke Pardon)

Pemaafan Hakim (Rechterlijke Pardon) merupakan suatu konsep yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberikan pemanfaatan atau pengampunan kepada pelaku tindak pidana meskipun telah terbukti bersalah dengan syarat-syarat tertentu. 

Syarat Pemberian Pemaafan Hakim (Rechterlijke Pardon)

Pasal 54 ayat (2) KUHP baru menyebutkan bahwasanya yang menjadi dasar pertimbangan untuk tidak dijatuhkannya pidana adalah sebagai berikut:

  1. Ringannya perbuatan
  2. Keadaan pribadi pelaku
  3. Keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana
  4. Dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan

Sehingga seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah memenuhi persyaratan tersebut mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghapusan pidana yang semestinya dijalankan.

Baca Juga: Hukum Waris menurut Kompilasi Hukum Islam.

Asas-asas Pemberian Pemaafan Hakim (Rechterlijke Pardon)

Menurut Barda Nawawi Arief asas “rechterlijk pardon” mengandung pokok pikiran sebagai berikut :

  1. Mencegah absolutisme pemidanaan dengan menyediakan “klep atau katup pengaman” 
  2. Bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas 
  3. Implementasi atau integrasi dari nilai “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila
  4. Implementasi “tujuan pemidanaan” dalam syarat pemidanaan

Namun dalam memberikan maaf “rechterlijk pardon” harus diimbangi dengan asas “culpa in causa” atau asas “actio Iibera in causa“.

Asas tersebut memberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggung-jawabkan tindak pidana si pelaku patut dipersalahkan (dicela) walaupun ada alasan penghapus pidana.

Kewenangan hakim untuk memaafkan (tidak memidana) diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun ada alasan penghapus pidana.

Selaras dengan bunyi pasal 56 KUHP, dimana seseorang yang telah sengaja menyebabkan keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana maka harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Perbandingan Pengaturan Pemberian Pemaafan Hakim (Rechterlijke Pardon) di Negara Lain

1. Negara Portugal

Di Negara Portugal terdapat perlakuan pemaafan apabila memenuhi beberapa persyaratan, yakni :

  1. Delik yang diancam pidana penjara selama maksimum 6 bulan atau denda tidak lebih dari 120 denda harian
  2. Sifat melawan hukumnya perbuatan dan kesalahan si pelaku sangat kecil.
  3. Kerusakan/kerugian telah diperbaiki, apabila ganti rugi belum dilaksanakan maka ditunda selama 1 tahun
  4. Alasan pencegahan tidak menghalangi dispensasi pidana ini

2. Negara Belanda

Syarat diperolehnya rechterlijk pardon di Negara Belanda yakni apabila pidana yang dilakukan pelaku tergolong ringan, pelaku bersikap sopan di pengadilan, dan suatu delik yang dilakukan ada unsur kekhilafan pada keadaan-keadaan tertentu

3. Negara Perancis

Negara ini memiliki Lembaga Pemaafan Hakim dibawah naungan Lembaga Yudisial.

Baca juga: Waris menurut Hukum Perdata.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejatinya Indonesia telah berupaya melakukan pembaharuan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa. Pengesahan RKUHP menjadi wujud nyata dalam menyeimbangan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh pihak (korban, pelaku, masyarakat). 

Konsep pemaafan hakim (rechterlijk pardon) yang termuat dalam pengaturan KUHP baru pada dasarnya telah diterapkan di beberapa Negara seperti Portugal, Belanda, dan Prancis. Sedangkan di Indonesia untuk memperoleh pemaafan hakim harus memenuhi beberapa persyaratan dan pengenaannya harus mempertimbangkan beberapa asas. Dengan adanya konsep ini memungkinkan seseorang yang seharusnya dikenakan sanksi pidana terbebas dari tanggung jawabnya sepanjang memenuhi persyaratan.

Sekian pembahasan terkait “Pelaku Tindak Pidana Tidak Dikenakan Sanksi Pidana: Kok Bisa?”. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi Sobat Selaras Law Firm ya! 

Apabila Sobat Selaras Law Firm ingin bertanya seputar konsep pemaafan hakim atau berkonsultasi hukum bisa segera menghubungi kami di Selaras Law Firm ya!

Yuk jangan lupa baca juga artikel menarik lainnya hanya di Selaras Law Firm!

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Marisi Hasibuan, Sahat, Kebijakan Formulasi Rechterlijke Pardon dalam Pembaharuan Hukum Pidana, Jurnal Hukum Progresif, 9(2), 111-122

Sumber Gambar:

www.pexels.com

Editor: Bambang Sukoco, S.H.

]]>
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara https://selaraslawfirm.com/kejahatan-terhadap-keamanan-negara/ https://selaraslawfirm.com/kejahatan-terhadap-keamanan-negara/#respond Thu, 08 Dec 2022 13:08:40 +0000 https://selaraslawfirm.com/?p=1440 Oleh: Adib Gusti Arigoh

Halo Sobat Selaras

Pada hakikatnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana sebagai reaksi terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. 

Formulasi delik yang terdapat dalam KUHP sejatinya ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum perorangan atau individu, masyarakat, serta kepentingan hukum negara. Terlebih jika delik tersebut merupakan kejahatan yang mengancam negara.

Baca Juga: Recidive Dalam Perkara Pidana.

Lalu, apa itu kejahatan terhadap keamanan negara? Yuk, kita bahas!

Pengertian Kejahatan terhadap Keamanan Negara

Merujuk kepada terminologinya, kejahatan  terhadap keamanan negara atau separatisme berasal dari kata separatis dan isme yang berarti aliran.

Separatis adalah suatu gerakan yang bersifat mengacau dan menghancurkan yang dilakukan oleh gerombolan pengacau yang bertujuan untuk memisahkan diri dari ikatan suatu negara. 

Cakupan Tindakan Hukum terhadap Kejahatan Keamanan Negara 

Kejahatan  terhadap keamanan  negara adalah tindak pidana yang digolongkan “menyerang kepentingan hukum negara Indonesia” sehingga delik ini dijerat oleh asas perlindungan nasional aktif serta asas nasional pasif. 

  • Asas nasional aktif

Asas nasionalis aktif berarti suatu delik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di dalam dan/atau diluar wilayah hukum Indonesia tetap dikenakan aturan hukum pidana Indonesia. Dengan kata lain hukum positif akan  berlaku bagi setiap WNI dimanapun ia berada. 

Sebagai contoh adalah kejahatan terhadap keamanan negara dan  terhadap martabat presiden (tercantum dalam bab I dan II Buku II KUHP) , yang mana terhadap semua kejahatan ini tidak diperlukan syarat apapun, artinya apabila ada warga negara Indonesia melakukan kejahatan diluar wilayah negara Indonesia, maka ia langsung dapat dikenakan aturan pidana Indonesia.

  • Asas nasional pasif

Pada dasarnya asas nasional pasif memuat prinsip bahwa aturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap WNI atau bukan WNI yang melakukan tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 angka 1,2, dan 3, Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP.

Contoh Kejahatan terhadap Keamanan Negara

  • Pemberontakan bersenjata

Terdapat banyak tindak pidana yang termasuk kejahatan terhadap keamanan negara, salah satunya adalah  pemberontakan bersenjata. Pemberontakan diatur dalam Pasal 108 ayat (1) angka 2 KUHP. 

Pada intinya unsur dari pemberontakan adalah kegiatan dengan maksud menentang kekuasaan yang telah berdiri di Negara Republik Indonesia, melawan atau menggabungkan diri dengan gerombolan bersenjata untuk melawan kekuasaan tersebut dan turut serta melakukan nya.

Pemberontakan bersenjata adalah tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh gerombolan orang – orang bersenjata untuk melawan kekuasaan yang sah. Pemberontakan bersenjata dilakukan dalam daerah kekuasaan yang sah.

Kegiatannya berupa menghimpun senjata-senjata yang bertujuan untuk menimbulkan kegiatan – kegiatan untuk melakukan perlawanan terhadap anggota aparat keamanan dan Pemerintah yang absah.

Tujuan dari pemberontakan bersenjata adalah melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mendirikan atau membentuk negara yang terpisah diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  • Makar

Penegakan hukum pidana terhadap di indonesia cenderung sangat keras terhadap sejumlah perbuatan yang selintas dipandang sebagai makar, perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana keras karena dikualifikasikan sebagai kejahatan yang mengancam negara (Misdrijven tegen de veiligheid van den staat).

Soesilo berpendapat bahwa makar adalah penyerangan, yang biasanya dilakukan dengan perbuatan kekerasan, apabila orang baru melakukan perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) saja ia belum dapat dihukum. Supaya ia biasa dihukum ia harus sudah mulai melakukan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). 

Membunuh ataupun merampas kemerdekaan dari kepala negara adalah contoh dari perbuatan makar. Hal tersebut diatur dalam Pasal 104 KUHP yang berbunyi: 

“Makar dengan maksud membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Selain itu, tindakan yang bermaksud untuk melepaskan diri dari wilayah pemerintahan yang sah juga merupakan suatu tindakan makar. Berdasarkan pasal 106 KUHP, makar diartikan sebagai berikut:

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara paling lama dua puluh tahun.”

Berikut penjelasan singkat terkait kejahatan terhadap keamanan Negara. Kunjungi website kami di Selaras Law Firm untuk membaca artikel hukum menarik lainnya! We do things professionally!

Sumber:

Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Eddyono, Supriyadi Widodo. (2016). Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang Sah dalam R KUHP. Jakarta.

Sumber Gambar:

unsplash.com

Editor: Siti Faridah, S.H.

]]>
https://selaraslawfirm.com/kejahatan-terhadap-keamanan-negara/feed/ 0