Oleh: Anastasia Retno
Berinvestasi properti memang salah satu pilihan yang tepat. Seperti pada uraian artikel properti, berinvestasi properti sama dengan memiliki aset jangka panjang.
Sifatnya yang tetap dan tidak berpindah-pindah membuat properti mengalami kenaikan harga setiap tahunnya.
Pasalnya, menjual properti seperti properti tanah, rumah, apartemen maupun jenis properti bangunan lainnya memang menghasilkan banyak keuntungan.
Namun, tahukah kamu dalam menjual atau membeli properti terdapat aspek hukum yang wajib diperhatikan?
Yups, memperjualbelikan properti tidak semudah jenis transaksi pada umumnya. Pasalnya, jual beli properti berarti terjadi peralihan hak atas harta kekayaan seseorang yang jumlahnya tentu saja tidak sedikit.
Lalu bagaimana legalitas peralihan hak atas properti tanah dan/atau rumah atau bangunan lainnya?
Yuk, simak legalitas peralihan hak pada saat peralihan hak atau jual beli properti!
Legalitas Jual Beli Properti
Merujuk pada maksud jual beli, Yahya Harahap menjelaskan bahwa jual beli ialah suatu persetujuan yang mengikat antara penjual dan pembeli dengan berjanji menyerahkan sesuatu barang dan pihak pembeli berjanji akan membayar harga sesuai kesepakatan.
Sedangkan jual beli menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menguraikan jual beli pada pasal 26 yang mengatur bahwa:
“Jual beli merupakan salah satu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk memindahkan Hak Milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal a quo lebih lanjut mengatur bahwa perbuatan jual beli sebagai salah satu peralihan hak memiliki ketentuan yang wajib diperhatikan yaitu peralihan Hak Milik tidak berlaku kepada Warga Negara Asing (WNA).
Atas transaksi Jual Beli Properti yang mengakibatkan peralihan hak dari penjual kepada pembeli dengan cara jual beli.
Seperti pada proses transaksi jual beli lainnya, dalam jual beli properti juga terjadi proses kesepakatan yang mengikat penjual dan pembeli. Proses kesepakatan ini yang kemudian melahirkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Nah, apa yang dimaksud dengan PPJB?
Apa yang membedakan PPJB dengan jenis perjanjian lainnya?
Bagaimana kedudukan PPJB dalam transaksi Jual Beli Properti? Yuk, kita kupas tuntas PPJB di bawah ini!
Legalitas Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
Pasal 1 angka 10 dan angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (PP No. 12/2021) mengatur definisi PPJB sebagai berikut:
Angka 10:
“Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatangani akta jual beli”
Angka 11:
“Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.”
Dari pasal a quo di atas, PPJB dapat dikatakan langkah awal dalam setiap kegiatan pemasaran jual beli properti.
PPJB juga berlaku pada pemasaran setiap properti rumah pada saat bangunan rumah tersebut dalam tahap pembangunan.
Pada tahap pemasaran, sistem PPJB diberlakukan dengan tahap atas pemasaran dan PPJB. Setiap bangunan rumah pada umumnya yang terjadi saat ini yaitu perumahan atau unit apartemen dipasarkan melalui PPJB bahkan pada saat proses pembangunan properti rumah atau apartemen tersebut sedang berlangsung atau bahkan sebelum proses pembangunan berlangsung.
Syarat-Syarat PPJB Yang Wajib Dipenuhi Jika Ingin Melakukan Jual Beli Properti Yaitu:
- Status kepemilikan tanah;
- Hal yang diperjanjikan;
- PBG;
- Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
- Keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Dimana syarat tersebut dapat dipenuhi oleh orang perseorangan atau suatu badan hukum yang hendak melakukan jual beli properti.
Menyimak dari ulasan PPJB sebagai langkah awal atas setiap kegiatan jual beli properti yang menimbulkan perpindahan hak, bagaimana kekuatan hukum PPJB itu sendiri?
Apa yang membedakan PPJB dari perjanjian lainnya?
Berikut penjelasannya!
Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
PPJB memang bukan keharusan mengingat PPJB merupakan perjanjian sebagai langkah awal penjual dan pembeli. Dibuatnya PPJB juga tidak mengakibatkan perpindahan hak antara penjual dan pembeli.
Namun, bagi perjanjian jual beli seperti PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan akta otentik. Maka kedudukan hukum PPJB khususnya yang dibuat di hadapan notaris menurut Pasal 1870 KUHPerdata dapat memberikan hak bagi setiap pihak dan dijadikan sebagai bukti.
Nah, itulah ulasan singkat yang dapat dijadikan pemahaman bagi Sobat semua. Jika Kamu masih bingung dengan legalitas properti dan jenis properti lainnya? Yuk segera berkonsultasi dengan mengakses laman Selaras Law Firm sekarang juga!
Sumber:
Indonesia. (1960). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Jakarta: Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Indonesia. (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman . Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Harjono, D. K. (2016). Hukum Properti. Jakarta: PPHBI.
Sumber Gambar:
www.pexels.com
Editor: Siti Faridah, S.H.