Oleh: Adine Alimah Maheswari.
Di era globalisasi ini, masyarakat dituntut untuk dapat aktif mengikuti perkembangan arus globalisasi khususnya dalam kemajuan di bidang teknologi.
Tidak dapat kita pungkiri, perkembangan kemajuan di bidang teknologi saat ini dapat membawa kemudahan bagi kita dalam melakukan aktivitas dalam waktu yang cepat dan tanpa ada batasan jarak.Salah satunya adalah aktivitas hubungan hukum atau perjanjian kontrak secara online atau melalui media elektronik.
Yups, suatu perjanjian kontrak tersebut dilakukan melalui media atau sarana elektronik. Namun, bagaimana aturan hukum yang berlaku di Indonesia dalam memandang kegiatan tersebut? Apakah kontrak online sah dilakukan di Indonesia?
Pasti sobat juga sudah penasaran bukan? Yuk, langsung saja kita simak penjelasannya berikut ini!
Baca Juga: Perizinan Usaha Perusahaan Rintisan.
Kontrak Elektronik
Kontrak online atau kontrak elektronik adalah sebuah kontrak atau hubungan hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih, secara elektronik melalui jaringan dari sistem informasi berbasis komputer.
Banyak orang yang masih memiliki pandangan bahwa sebuah kontrak perjanjian haruslah memiliki bentuk fisik nyata pada sebuah tulisan di atas selembar kertas. Pada dasarnya, keabsahan dalam sebuah kontrak dalam suatu hubungan hukum tidak dapat diukur dari bentuk fisik perjanjian tersebut.
Padahal, menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dijelaskan, bahwa:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Kemudian, pada pasal 1320 KUHPerdata juga dijelaskan mengenai syarat sah perjanjian, yakni:
“Sepakat antara kedua belah pihak pembuat kontrak untuk mengikatkan diri dalam perikatan, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, terdapat satu hal tertentu yang ingin disepakati, dan memiliki suatu sebab yang legal dan halal”.
Dimana dalam pasal 1320 KUHPerdata tersebut, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, yang mana dapat dibatalkan apabila tidak dapat terpenuhi, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yang dapat batal demi hukum apabila syarat tersebut tidak terpenuhi.
Perjanjian dapat dikatakan sah apabila dalam perjanjian tersebut memenuhi unsur kesepakatan antara kedua belah pihak yang sedang melangsungkan hubungan hukum tersebut.
Pada hakikatnya, kedua belah pihak yang membuat perjanjian haruslah setuju mengenai hal-hal pokok yang tertera di dalam kontrak perjanjian.
Dimana dalam berlangsungnya kontrak perjanjian tersebut, harus terbebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud).
Apabila salah satu dari unsur tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian menjadi tidak sah yang berdasarkan pada menurut pasal 1321 KUHPerdata, yaitu:
“Tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Tanda Tangan Elektronik Dalam Hukum Positif
Selain itu, suatu kontrak perjanjian dalam hubungan hukum juga tidak dapat diukur dari bentuk fisik tanda tangan karena saat ini, tanda tangan elektronik juga sudah menjadi suatu hal yang sah.
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 dijelaskan bahwa:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.
Berikut ini, merupakan syarat sah tanda tangan elektronik, yakni:
- Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
- Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
- Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
- Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
- Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
- Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat kita pahami bahwa tidak ada aturan yang mengatur dan mengharuskan mengenai suatu kontrak perjanjian haruslah berbentuk dalam bentuk fisik tulisan nyata di atas selembar kertas.
Melainkan, suatu kontrak perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian yang telah ditentukan oleh aturan yang berlaku dalam undang-undang.
Dengan demikian, maka kontrak online adalah sah, serta tidak mengurangi esensi kekuatan hukum suatu kontrak perjanjian tersebut.
Hal ini dikarenakan perjanjian yang dibuat secara elektronik memiliki kedudukan hukum yang sama kuatnya, dengan perjanjian yang ditandatangani dengan kehadiran langsung oleh para pihak.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai “Keabsahan Kontrak Online di Indonesia”. Jika kamu memiliki permasalahan hukum dan membutuhkan konsultasi dengan pakar dan praktisi hukum terbaik di Indonesia, Selaras Law Firm solusinya!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
BINUS University. Mengenal Kontrak Elektronik, Click-Wrap Agreement Dan Tanda Tangan Elektronik. https://business-law.binus.ac.id/2017/03/31/mengenal-kontrak-elektronik-click-wrap-agreement-dan-tanda-tangan elektronik/#:~:text=E%2Dcontract%20adalah%20kontrak%20yang,dibandingkan%20dengan%20transaksi%20hukum%20lainnya. Diakses pada 10 Maret 2022.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.