Oleh: Zainurohmah
“Setiap janji sesederhana apa pun itu, memiliki kehormatan”
– Tere Liye
Wah, sepakat banget nih sama kalimat di atas! Emang bener sih, kalo udah janji ya harus ditepati, ya kalopun ga ditepatin minimal kasih kabar lah. Ups, kok jadi curhat sih.
Ngomong-ngomong soal janji, Sobat Selaras Law Firm sudah tau belum nih apa yang dimaksud dengan perjanjian? Yuk, langsung kita bahas!
Definisi Perjanjian
Buku III KUHPerdata membahas seputar perikatan, nah salah satu pokok pembahasan dalam perikatan adalah mengenai perjanjian. Dalam Pasal 1313 KUHPerdata dijelaskan bahwa:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Dari pasal 1313 KUHPerdata, dapat dipahami bahwa perjanjian merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh individu sebagai persoon maupun badan hukum untuk saling mengikatkan dirinya dalam suatu kesepakatan.
Apabila telah melakukan kesepakatan dalam suatu perjanjian, maka melaksanakan isi perjanjian sudah menjadi kewajiban pagi para pihak yang membuat perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan asas kepastian hukum (Pacta Sunt Servanda) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1338 Ayat (1) dan (2) KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat 1: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Ayat 2: “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”
Definisi, Unsur-Unsur, dan Akibat Keadaan Memaksa
Meskipun demikian, terkadang ada hal diluar kuasa para pihak yang membuat perjanjian tidak dapat dilaksanakan yang bisa disebut dengan keadaan memaksa atau force majeure atau overmacht.
Keadaan memaksa dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dalam hal ini debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta para pihak tidak dapat menduga hal itu pada waktu membuat perjanjian.
Selanjutnya, dalam Pasal 1244-1245 KUHPerdata dijelaskan bahwa:
Pasal 1244 KUHPerdata: “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungkan kepadanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
Berdasarkan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) unsur yang bisa membuat suatu keadaan dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa yaitu harus ada halangan untuk memenuhi prestasi, halangan itu terjadi tidak karena kesalahan debitur, dan tidak disebabkan oleh keadaan yang menjadi resiko dari debitur.
Perlu diketahui juga bahwasanya hanya debitur sendiri yang dapat menyatakan keadaan memaksa atau overmacht. Ada 4 (empat) akibat yang ditimbulkan dari keadaan memaksa, yaitu:
- Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi (pada keadaan memaksa sementara sampai berakhirnya keadaan memaksa)
- Gugurnya kewajiban untuk mengganti kerugian
- Pihak kreditur tidak perlu meminta pemutusan perjanjian
- Gugurnya kewajiban untuk berprestasi dari kreditur.
Demikian pembahasan terkait “Keadaan Memaksa dalam Hukum Perikatan”.
Bagi Sobat Selaras Law Firm yang ingin mengetahui informasi lebih lanjut, yuk segera hubungi kami di SelarasLawFirm.com. Jangan lupa nantikan artikel menarik selanjutnya ya!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Busro, Achmad. 2017. Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata. 2nd ed. Yogyakarta: Pohon Cahaya.
Jamil, N. K., & Rumawi, R. (2020). Implikasi Asas Pacta Sunt Servanda pada Keadaan Memaksa (Force Majeure) dalam Hukum Perjanjian Indonesia. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 8(7), 1044-1054.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.