Oleh: Anies Mahanani, S.H
Halo Sobat Selaras!
Justice Collaborator merupakan istilah dalam Hukum Pidana. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun peraturan lainnya secara eksplisit tidak mengatur tentang justice collaborator dalam peradilan pidana.
Lalu, bagaimana pengaturan justice collaborator di Indonesia? Untuk lebih jelasnya, yukkk simak artikel berikut ini!
Pengertian Justice Collaborator
Justice Collaborator adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum. Selanjutnya justice collaborator tersebut akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi, pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus, dan sebagainya.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011, justice collaborator salah satu pelaku dari tindak pidana yang mengakui kejahatannya. Tapi, bukan pelaku utama yang bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan.
Baca Juga: Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Kedudukan seorang justice collaborator merupakan saksi sekaligus tersangka yang harus memberikan keterangan dalam persidangan. Keterangan tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Pengaturan Justice Collaborator
Dalam hukum nasional, justice collaborator diatur dalam Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dicabut sebagian dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2011 (SEMA No. 4/2011) tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Peran Justice Collaborator
Seorang justice collaborator berperan sebagai kunci yang di antaranya:
- Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana, sehingga pengembalian aset dari hasil suatu tindak pidana bisa dicapai kepada negara.
- Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum.
- Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Jika seorang justice collaborator berbohong dalam keterangannya, maka berbagai haknya akan dicabut dan ia bisa dituntut telah memberikan keterangan palsu. Untuk menjadi justice collaborator harus memenuhi syarat yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagai berikut:
- Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisir.
- Memberikan keterangan yang signifikan, relevan, dan andal untuk mengungkap suatu tindak pidana serius atau terorganisir.
- Bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang akan diungkapkan.
- Kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang diperoleh dari tindak pidana yang bersangkutan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis.
- Ada ancaman yang nyata atau khawatir akan adanya ancaman, tekanan secara fisik maupun psikis terhadap saksi pelaku yang bekerja sama atau keluarganya.
Baca Juga: Restorative Justice Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Ringan.
Syarat untuk menjadi justice collaborator juga diatur dalam SEMA No. 4/2011, Pasal 9 (A) dan (B), sebagai berikut:
- Justice Collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana yang mengakui semua kejahatan yang dilakukannya. Tapi bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
- Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan. Sehingga, penyidik dan atau penuntut umum bisa mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan atau mengembalikan aset-aset, hasil dari suatu tindak pidana.
Perlindungan Hukum Justice Collaborator
Justice collaborator juga berhak mendapatkan perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum penanganan secara khusus, dan penghargaan. Penghargaan tersebut dapat berupa keringanan hukuman tersebut.
Meskipun dalam SEMA No. 4/2011 sudah diatur dan sudah dijadikan panduan bagi hakim-hakim di lingkungan peradilan di Indonesia, namun SEMA tersebut tidak bisa mengikat jaksa maupun bagi penyidik. SEMA No. 4/2011 hanyalah aturan internal di lingkungan peradilan, sehingga tidak memiliki otoritas yang kuat dalam memastikan bahwa justice collaborator mendapatkan perlakuan khusus. KUHP dan KUHAP juga tidak mengatur posisi justice collaborator secara tuntas.
Baca Juga: Kekuatan Hukum Perjanjian Nominee.
Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dicabut sebagian dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan terobosan hukum dalam memberikan perlindungan kepada justice collaborator khususnya pada Pasal 10 dan Pasal 10A. Rumusan norma Pasal 10 adalah sebagai berikut:
- Saksi, Korban dan Saksi Pelaku dan atau Pelaporan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dana atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik.
- Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan atau Pelapor atas kesaksian dan atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian yang telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara implisit mengatur hak-hak justice collaborator yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat 1 sampai 16. Salah Satunya berbunyi “Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.”
Artinya keberanian untuk memberikan kesaksian terhadap saksi pelaku dan/atau pelapor atas kesaksian maupun laporan yang diberikan perlu diberikan apresiasi. Perlindungan atas keamanan baik pribadi maupun keluarga serta ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang telah diberikan.
Nahhh, gimana sobat Selaras, sudah paham kan dengan istilah maupun pengaturan justice collaborator? Untuk mengetahui istilah hukum lainnya, sobat Selaras bisa loh langsung mengunjungi laman Selaras Law Firm atau menghubungi tim Selaras untuk berkonsultasi! yuk baca artikel lain di Selaras Law Firm!
Dasar Hukum:
Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mencabut sebagian Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, KPK, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: M.HH-11.HM.03.02.th.2011; Nomor: PER-045/A/JA/12/2011; Nomor: 1 Tahun 2011; Nomor: KEPB-02/01-55/12/2011; Nomor: 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
Sumber:
Ahmad Sofian, Februari 2018, “Justice Collaborator dan Perlindungan Hukumnya” diakses pada: https://business-law.binus.ac.id/2018/02/14/justice-collaborator-dan-perlindungan-hukumnya/
Nurhadi, 12 Agustus 2022, “Inilah Hak yang Diperoleh sebagai Justice Collaborator” diakses pada https://nasional.tempo.co/read/1621894/inilah-hak-yang-diperoleh-sebagai-justice-collaborator.
Sumber Gambar: pexels.com
Editor: Bambang Sukoco, S.H.