Oleh: Dian Dwi Kusuma Astuti, S.H.
“Saya pikir memiliki tanah dan tidak merusaknya adalah seni terindah yang ingin dimiliki siapa pun.”
– Andy Warhol.
Permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan pembangunan yang selalu membutuhkan tanah disatu pihak dan pertambahan penduduk yang begitu pesat dilain pihak menimbulkan masalah karena tanah yang jumlahnya terbatas sehingga harga tanah terus meningkat. Kebutuhan tanah yang meningkat dalam melaksanakan pembangunan, baik untuk pembangunan kepentingan umum dan kepentingan pihak swasta, berpengaruh pada kebijakan pemerintah di bidang pengadaan tanah.
Ketidak tersediaannya tanah untuk pembangunan bukan karena faktor tidak ada tanah, melainkan tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan itu telah dilekati hak atas tanah sehingga perlu usaha-usaha dalam pengadaan tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang merupakan kewajiban negara, dalam rangka pelaksanaan pembangunan infrastruktur atau fasilitas umum yang dibutuhkan oleh masyarakat di satu pihak, di lain pihak negara wajib melindungi atau menghormati hak-hak warganya, termasuk hak atas tanah. Pengadaan tanah untuk pembangunan ini sering kali meimbulkan konflik atau permasalahan apabila negosiasi gagal, terutama untuk mencapai kesepakatan mengenai penetapan lokasi, bentuk dan/atau besar ganti rugi atas pelepasan hak atas tanah.
Kewajiban perlindungan atas hak-hak para warga ini merupakan hak yang mendasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945 yakni “Setiap warga berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Konsep Pengadaan Tanah
Ada beberapa model yang dipraktekkan oleh negara-negara yang mengalami hal yang sama dengan negara Indonesia dalam pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur kehidupan warganya, sebagaimana menurut Komisi Ekonomi Sosial untuk Asia Pasifik (ESCAP) yaitu:
1. Model nasionalisasi dan pengambil alihan (Expropriation) di mana pengambilalihan kepemilikan tanah baik secara sukarela atau tidak dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kewajiban penyediaan jaringan infrastruktur dan fasilitas umum, di mana pemerintah dihadapkan pada situasi ketika tidak ada pilihan lain selain pengambilalihan kepemilikan tanah secara paksa jika negoisasi telah gagal atau menemui jalan buntu.
2. Metode Land Banking (membeli lahan yang tidak bermanfaat) ini merupakan pendekatan jangka panjang yang sifatnya komprehensif dalam rangka penyedian lahan untuk kebutuhan pembangunan, metode ini dilakukan baik secara sukarela maupun paksa, pemerintah sengaja melakukan pengambilalihan kepemilikan tanah jauh-jauh hari sebelum kebutuhan lahan muncul atau sebelum pelaksanaan pembangunan dilaksanakan, sehingga tindakan penggusuran paksa dapat ditekan. Land Banking ini atau bank tanah biasanya diterapkan pada kawasan pinggiran perkotaan yang umumnya masih berupa lahan pertanian.
Ada beberapa kelebihan yang akan diperoleh pemerintah melalui metode ini:
- Pemerintah dapatkan lahan dengan harga lahan yang relatif murah.
- Pemerintah akan lebih mudah mengatur pola pembangunan wilayah sesuai RT/RW secara keseluruhan.
- Pemerintah dapat mengendalikan harga tanah.
- Pemerintah bisa memperoleh keuntungan dari peningkatan nilai tanah.
3. Metode Land Readjusment (konversi peruntukan lahan) metode ini diadakan kesepakatan dengan para pemilik lahan atau tanah, biasanya dilakukan terhadap lahan yang semula lahan pertanian dirubah menjadi lahan perkotaan (pemukiman, fasilitas umum, industri dan lain-lain).
Untuk dilakukannya pengadaan tanah harus diwujudkan ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang menyatakan:
“Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan beberapa asas yaitu Asas Kemanusiaan, Asas Keadilan, Asas Kemanfaatan , Asas Kepastian, Asas Keterbukaan, Asas Kesepakatan, Asas Keikut sertaan, Asas Kesejahteraan, Asas Kelanjutan, dan Asas Keselarasan”.
Konsep Bank Tanah
Semakin sulitnya memperoleh tanah untuk pembangunan berbagai keperluan dan melonjaknya harga tanah, salah satu kebijakan yang dapat dijadikan solusi adalah konsep bank tanah. Menurut Prof. Maria S.W. Sumardjono, Bank Tanah merupakan setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari.
Secara umum bank tanah dimaksudkan sebagai setiap kegiatan pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaanya di kemudian hari, dengan demikian bank tanah memiliki fungsi antara lain sebagai penghimpun tanah (land keeper) atau pencadangan tanah, sebagai pengamanan tanah untuk berbagai kebutuhan pembangunan di masa akan datang (land warantee), sebagai pengendali tanah (land purchaser) dan sebagai pendistribusian tanah untuk berbagai keperluan pembangunan (land distributor).
Pada konsep bank tanah pada dasarnya menghimpun tanah dari masyarakat terutama yang ditelantarkan dan tanah negara yang belum digunakan, kemudian tanah –tanah itu dihimpun, dikembangkan dan di distribusikan kembali sesuai rencana penggunaan tanah. Jadi bank tanah juga merupakan sarana manajemen tanah dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan tanah agar lebih produktif dengan cara memperoleh tanah sebelum adanya kebutuhan.
Demikian pembahasan mengenai Sistem Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Di Indonesia, bagi sobat Selaras Law Firm yang ingin mengetahui informasi lebih lanjut bisa untuk menghubungi tim Selaras Law Firm, kami Selaras Law Firm menyediakan jasa konsultasi dan pendampingan hukum terpercaya. Nantikan artikel menarik lainnya!
Sumber:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Faridy, 2017, Penyelesaian Sengketa Pengadaan Tanah Oleh Negara, Jurnal Kajian Hukum Islam dan Hukum Ekonomi Islam Institut Agama Islam Nurul Jadid, Vol. 1 No. 1.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.