Halo Sobat Selaras!
Biasanya dalam suatu perikatan atau kontrak sering terjadi wanprestasi atau cidera janji oleh salah satu pihak. Sebenarnya banyak akibat hukum karena wanprestasi, salah satunya adalah ganti kerugian.
Lalu, apa itu ganti kerugian dan mengapa wanprestasi dapat dituntut ganti kerugian? Yuk, mari kita bahas!
Baca Juga: Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum.
Ganti kerugian dalam terminologi hukum dikenal sebagai “legal remedy” yang merupakan kompensasi atau pemulihan keadaan semula atas hak yang berdasarkan kepada putusan pengadilan. Ganti kerugian terjadi akibat kelalaian atau kesengajaan maupun kesalahan yang menyebabkan salah satu pihak dalam perjanjian menderita kerugian.
Terkait ganti kerugian, peraturan perundang-undangan terbatas mengenai ganti kerugian materil daripada immaterial. Karena kerugian immaterial merupakan kerugian bersifat subjektif karena tidak memiliki nilai mutlak dan ditaksir oleh uang.
Hal tersebut dapat berupa penderitaan batin, rasa takut dan sebagainya. Biasanya gugatan dilayangkan atas ganti kerugian immateriil berdasarkan dalil perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan jenisnya, ganti kerugian dapat dibagi menjadi dua, yakni sebagai berikut:
Ganti kerugian materiil merupakan ganti kerugian yang dapat ditaksir dengan materi dalam bentuk uang, harta benda ataupun kekayaan.
Kerugian yang tidak dapat dinilai dengan materi dalam bentuk uang, harta benda ataupun kekayaan merupakan ganti kerugian immateriil uang. Ganti kerugian immateriil merupakan ganti kerugian atas manfaat yang berpotensi diterima oleh seseorang di kemudian hari dan/atau kerugian yang bersifat mencemarkan nama baik ataupun harga diri.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut KUHPer) membagi sebab timbulnya kerugian menjadi 2 yakni karena wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1240 – 1252 KUHper dan karena perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer.
Berdasarkan Pasal 1246 KUHPer, terdapat tiga tolak ukur dari ganti kerugian, yakni:
Penggantian kerugian atas ketiga hal tersebut disebabkan karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian. Apabila terdapat 3 unsur tersebut, maka berdasarkan pasal 1243 KUHPer debitur diwajibkan untuk mengganti kerugian.
Ganti kerugian terjadi karena debitur ditetapkan lalai memenuhi perjanjiannya atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 1243 KUHPer. Berdasarkan hal tersebut, ganti kerugian dapat timbul dari prestasi buruk atau wanprestasi.
Kelalaian debitur untuk memenuhi prestasi dalam perjanjian disebut sebagai wanprestasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) istilah wanprestasi merupakan keadaan saat salah satu pihak berprestasi buruk. Dikaji dari terminologi nya, kata wanprestasi berasal dari bahasa belanda “Wanprestatie” yang berarti tidak dipenuhinya kewajiban atau prestasi dalam suatu perjanjian.
Wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPer yang berbunyi:
“debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, menurut Muhaimin yang mengutip Subekti dalam buku “Hukum Perjanjian” menyebutkan bahwa terdapat 4 unsur wanprestasi, yakni:
Akibat hukum dari wanprestasi adalah penggantian kerugian kepada pihak yang dirugikan atas biaya, kerugian, dan bunga yang disebabkan oleh kelalaian, kesalahan, ataupun kesengajaan pihak yang melakukan wanprestasi.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1239 KUHper yang berbunyi:
“tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.”
Berikut penjelasan singkat mengenai ganti kerugian akibat wanprestasi. Tertarik untuk membaca artikel hukum menariknya? Kunjungi Website kami di Selaras Law Firm. We do the things professionally!
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
PNH Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Kencana, Jakarta, 2017.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>