Penutupan perusahaan tidak selalu diakibatkan oleh adanya pailit maupun kebangkrutan, selain itu banyak sekali permasalahan lain yang menjadi sebab ditutupnya sebuah perusahaan.
Seperti halnya berkaitan dengan masalah administratif berupa legalitas perusahaan, tidak sedikit pula perusahaan yang izinnya bermasalah, sehingga mengharuskan perusahaan ditutup secara paksa karena dianggap ilegal, dan meresahkan masyarakat.
Selain itu, tahukah kalian, ternyata sebuah perusahaan atau badan hukum juga dapat dikenai hukuman secara pidana seperti kasus korupsi.
Sebagai akibat dari sanksi pidana yang dikenakan bagi badan hukum ini, terdapat beberapa perusahaan yang akhirnya memilih menutup aktivitasnya karena beberapa faktor yang timbul.
Kira-kira bagaimana bisa sebuah perusahaan dapat dikenai sanksi pidana korupsi, yuk simak penjelasan singkat berikut!
Salah satu kejahatan yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kemudahan, keuntungan, dan laba yang lebih besar, sehingga dapat mengefisienkan biaya atau modal yang dikeluarkan oleh korporasi, baik itu modal tenaga kerja, waktu, tempat dan dana.
Tujuan akhirnya adalah korporasi baik itu sekumpulan atau perorangan akan mendapatkan penghasilan lebih dari biasanya.
Menurut Sri Soedewi Masjchoen, badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu berwujud himpunan dan harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu dan dikenal dengan yayasan.
Kemudian E. Utrecht, badan hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak yang tidak berjiwa atau bukan manusia.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak dikenal bahwa badan hukum termasuk dalam subjek hukum pidana, seiring perkembangan yang ada dalam masyarakat, ternyata badan hukum (rechtspersoon) dapat juga dipidana dengan pidana berupa (reele execute) harta kekayaannya.
Sekalipun dalam Pasal 59 dan 169 KUHP ada ketentuan yang menentukan suatu perkumpulan sebagai subjek hukum yang dapat dikenai pidana, tetapi pasal tersebut ternyata tertuju kepada manusianya, yaitu siapa yang ikut dalam perkumpulan yang dimaksudkan untuk dipidana.
Jadi, sekarang ini hanya undang-undang di luar KUHP saja yang membuat ketentuan tentang dapat dipidananya korporasi atau badan hukum, yaitu salah satunya diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Dalam rumusan pasal subjek hukum yang digunakan adalah “setiap orang” (tidak ada kata korporasi) seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) namun dalam Pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa yang dimaksud setiap orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi.
Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Korporasi yaitu kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility).
Baca juga: perlindungan-hukum-bagi-perusahaan-pailit-di-masa-pandemi.
Bentuk rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dapat dirumuskan sebagai:
Sepanjang mengenai proses dalam sistem peradilan pidana, UU Tipikor telah mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, yang dinyatakan dalam Pasal 20, yaitu :
Disamping pidana pokok tersebut, juga diatur pidana tambahan terhadap Korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf a dan c yang menentukan, bahwa korporasi dapat dikenakan penindakan berupa perampasan barang.
Perampasan tersebut dapat berupa barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
Selain itu, dapat dilakukan penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Dalam Pasal 20 ayat (2) menyebutkan bahwa korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain bertindak dalam lingkungan korporasi yang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Baca juga: Perbedaan Pertanggungjawaban Firma dengan Persekutuan Perdata.
Korupsi yang dilakukan oleh badan hukum pada umumnya terjadi untuk mencapai keuntungan ekonomis dengan membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus/istimewa.
Antara lain, seperti memberi kontrak, mempercepat/memperlancar izin, dan membuat pengecualian-pengecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh badan hukum.
Badan hukum dapat dikenakan sanksi pidana atas perbuatannya yang melanggar ketentuan dalam hukum pidana dengan pemberian sanksi berupa pidana pokok berupa denda serta pidana tambahan seperti halnya penyitaan aset yang timbul dari keuntungan adanya korupsi.
Demikianlah penjelasan mengenai Perusahaan Sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsi Berakibat Pada Penutupan Perusahaan, semoga bermanfaat dan jangan lupa selalu update pengetahuan seputar hukum lainnya melalui website Selaras Law Firm!
Sumber:
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Drajad, Ahmad. 2015. “Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Korupsi”. Mahkamah Agung Republik Indonesia Pengadilan Negeri Medan Kelas I A Khusus. Diakses melalui https://www.pn-medankota.go.id/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=383:drajad1&catid=101:kumpulan-artikel&Itemid=101 pada 14 Maret 2022.
Sumber Gambar:
unsplash.com
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>Apakah suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dibubarkan?
Tentu saja! Bahkan, ketentuan mengenai pembubaran atau penutupan PT telah diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT).
Lalu, apa saja sih sebab-sebab sebuah PT dapat dibubarkan?
Menurut Pasal 142 ayat (1) UU PT, pembubaran perseroan dapat terjadi karena:
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 142 ayat (1) UU PT tersebut memiliki substansi yang serupa dengan Pasal 153G ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang secara khusus mengatur pembubaran perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil atau dikenal dengan Perseroan Perorangan.
Untuk pembubaran Perseroan Perorangan diatur pula mengenai prosedur pemberitahuannya dalam Pasal 153G ayat (1) UU Cipta Kerja, yakni sebagai berikut:
“Pembubaran Perseroan untuk Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh RUPS yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.”
Nah, dari keenam poin dalam Pasal 142 ayat (1) UU PT tersebut, Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan lebih detail terkait pembubaran karena keputusan RUPS, berakhirnya jangka waktu, dan pembubaran berdasarkan penetapan pengadilan. Yuk simak lebih lanjut!
Berdasarkan Pasal 144 Undang-Undang Perseroan Terbatas, dinyatakan bahwa Direksi, Dewan Komisaris, atau Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit 1/10 dari jumlah seluruh saham, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.
Kemudian, untuk dinyatakan secara sah pembubarannya, maka dapat merujuk pada Pasal 89 Undang-Undang a quo, yakni sebagai berikut:
“RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.”
Pasal 6 Undang-Undang Perseroan Terbatas berbunyi, “Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.”
Untuk jangka waktu terbatas, artinya ditentukan secara rigid berapa tahun berdirinya perusahaan tersebut. Sedangkan, dalam hal PT didirikan dengan jangka waktu tidak terbatas, maka PT itu sah secara hukum selama operasional PT masih berjalan.
Pengadilan dapat menetapkan pembubaran Perseroan Terbatas dengan alasan sebagai berikut:
Perlu diingat pula, dalam hal terjadi pembubaran Perseroan Terbatas, maka wajib hukumnya untuk disertai dengan proses likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator.
Likuidasi adalah pembubaran sekaligus pemberesan dengan cara melakukan penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, dan penyelesaian sisa harta atau utang di antara para pemilik.
Setelah selesai proses likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau Pengadilan, maka sejak saat itulah sebuah Perseroan Terbatas kehilangan statusnya sebagai badan hukum.
Lalu, bagaimana prosedur likuidasi sesuai Undang-Undang Perseroan Terbatas?
Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaranPerseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia dan pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi.
Kewajiban likuidator dalam melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi meliputi pelaksanaan:
Dalam tahapan ini, kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman mengenai rencana pembagian kekayaan hasi likuidasi.
Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan.
Likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam surat kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. Pemberitahuan dan pengumuman dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim pengawas.
Bagi Kamu yang mengalami kesulitan untuk melakukan pembubaran Perseroan Terbatas, jangan panik! Selaras Lawfirm menyediakan jasa penutupan perusahaan. Yuk konsultasikan permasalahan hukum kamu dengan konsultan hukum terbaik kami sekarang juga!!
Sumber:
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Editor: Siti Faridah, S.H.
]]>