Oleh: Anies Mahanani, S.H
Halo Sobat Selaras!
“Vonis ultra petita itu menunjukkan hukum tak tumpul ke atas”.
– Idham Azis
Kabar vonis pidana mati yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada kasus pembunuhan berencana oleh Ferdy Sambo santer terdengar seantero nusantara. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Ferdy Sambo Pidana Seumur Hidup. Lalu, apakah Hakim berwenang memberikan vonis melampaui apa yang dituntut oleh Penuntut Umum? Simak Artikel berikut ini!
Pengertian Ultra Petita
Ultra petita dapat diartikan sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang diminta. Putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan dari jaksa secara normatif, tidak melanggar hukum acara pidana.
Putusan Ultra Petita boleh dilakukan, dengan syarat dalam petitum subsidair harus tercantum permohonan Ex aequo et bono atau “Jika Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (atau kalimat yang senada dengan itu)”.
Pada prinsipnya, majelis hakim bebas dan mandiri menentukan hukuman. Tetapi tetap ada batas-batas yang harus dipatuhi. Misalnya, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada ancaman maksimum dalam pasal yang didakwakan dan tidak boleh menjatuhkan jenis pidana yang acuannya tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau perundang-undangan lain.
Pengaturan Ultra Petita
Secara normatif tidak ada satu pasal pun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut.
Baca Juga: Keakuratan Tes Poligraf Sebagai Alat Bukti di Persidangan.
Ultra petita dapat ditemukan dalam Pasal 178 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) dan Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg). Pasal 178 HIR berbunyi, “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.” Sementara bunyi Pasal 189 Ayat 3 RBg, yakni “Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon.”
Analisis Hukum
Di dalam perkara pidana, dasar pemeriksaan sidang pengadilan adalah surat dakwaan. Pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang yang didasarkan pada surat dakwaan tersebut. Oleh karena itu, pengadilan tidak dibenarkan untuk memutus hal-hal yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan.
Dalam Pasal 182 Ayat 4 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), musyawarah terakhir hakim untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Hakim di depan persidangan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa berdasarkan surat dakwaan dari Penuntut Umum. Pada hakikatnya, hakim tidak boleh merubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984.
Hakim juga dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.
Baca Juga: Kompetensi Pengadilan Dalam Menangani Perkara Perdata.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957 dan Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 ditegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada tuduhan (dakwaan).
Meskipun ada kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan. Batasan-batasan dimaksud antara lain:
- Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. Misalnya, Pasal 156a KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun. Maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. Tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun. Lihat misalnya putusan MA No. 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.
- Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya (strafsoort) tidak ada acuannya dalam KUHP, atau peraturan pidana di luar KUHP.
- Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Dalam banyak putusan, antara lain putusan MA No. 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993, Mahkamah Agung menyatakan putusan yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dapat dibatalkan. Misalkan, pengadilan tinggi menambah hukum terdakwa lebih tinggi dari yang diputus hakim tingkat pertama tetapi kurang dipertimbangkan dan dijelaskan alasan menaikkan hukuman. Putusan yang demikian dapat dibatalkan.
Putusan ultra petita bahkan dapat menjadi alasan diajukannya permohonan peninjauan kembali. Alasan tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yakni apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut. Putusan ini tentu dengan mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan.
Tetapi hakim bukanlah sekadar corong undang-undang (la bouche de la loi). Hakim juga menjadi pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam menegakkan hukum, hakim harus berusaha membuat putusannya adil dan berkeadilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Contoh Kasus Penjatuhan Vonis Ultra Petita
Pada Perkara Pidana Pembunuhan Berencana oleh Ferdy Sambo Eks anggota Polri dengan pangkat terakhir jenderal bintang dua dinilai telah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP sesuai dengan dakwaan penuntut umum.
Ferdy Sambo juga terbukti terlibat obstruction of justice atau perintangan penyidikan terkait pengusutan kasus kematian Brigadir J. Ia terbukti melanggar Pasal 49 UU ITE juncto Pasal 55 KUHP.
Pasal 340 KUHP berbunyi “Barang Siapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun,” artinya Hakim dapat memberikan vonis pidana mati sesuai dengan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 340 tersebut.
Pada Senin, 13 Februari 2023 Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberikan vonis hukuman mati yang mana lebih berat dibandingkan tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa hanya mengajukan tuntutan hukuman seumur hidup kepada Ferdy Sambo.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai, Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.
Sekalipun jaksa tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang jaksa telah memasukkan pasal itu ke dalam surat dakwaan. Jika jaksa tidak memasukkan pasal tersebut dalam surat dakwaan, tak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa. Untuk itu apa yang dilakukan hakim merupakan ultra petita karena telah memberi vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa dan sesuai dengan ancaman pidana maksimal pada pasal yang didakwakan oleh jaksa.
Sobat Selaras, mari lebih banyak membaca artikel hukum untuk menambah pengetahuan hukum. Jika Sobat Selaras mengalami permasalahan hukum, bisa menghubungi tim Selaras Law Firm! yukkk simak artikel lain di Selaras Law Firm!
Dasar Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957
Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993.
Sumber
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Sudharmawatiningsih (koordinator peneliti), Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum: Laporan Penelitian, Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, 2015.
Sumber Gambar: pixabay.com
Editor: Bambang Sukoco, S.H.